PROSES KREATIF MENULIS: KEMBALI KE SARANG | MUHAMMAD THOBRONI | AMBAU.ID | ZONA LITERASI | KALIMANTAN



Dalam tiga hari ini, saya memutuskan kembali ke sarang. Ya, akhir pekan yang indah bagi saya hanyalah menekur di pojok sarang itu. Di kelilingi buku-buku yang disusun di rak-rak tak beraturan. Tak berapa lama, di atas lantai dan pula tikar rotan yang saya beli di sebuah pasar bernama pasar kebun sayur di Kota Balikpapan Kalimantan Timur itu bakal berserakan buku dan kertas aneka rupa. 


Jumat-Sabtu-Ahad merupakan masa-masa yang seharusnya mengesankan bagi saya untuk menepi. Ya, pojok sarang itu layaknya muara. Ruang tempat saya menepi sekaligus menyepi. Letak gubuk saya di atas gunung menghadap jurang dan juga kerlap kerlip kota pada malam hari serta suara burung-burung di pagi sangat memanjakan jiwa raga saya untuk tunak dan tumakninah merenungi perjalanan hidup.


Di muara eh pojok sarang itulah saya kerap menyusun debu demi debu, noda demi noda yang tumpah pada serakan kertas-kertas putih di sekelilingnya. Debu-debu dan noda-noda yang dipungut itu lantas dipindah dan ditempelkan ke atas huruf-huruf yang tertera pada keyboard mesin ketik yang saya beli murah di sebuah pasar besar di ibu kota Jakarta. 


Tak hanya buku yang terserak di depan, belakang dan samping kanan-kirinya, namun juga entah sejak kapan segelas kopi bangka atau toraja atau bali atau aceh atau temanggung atau kendal atau rembang atau bengkulu atau kopi dari kota manalagi yang diseduh di gelas jumbo itu dan memang sengaja saya beli setiap berangkat keluar sarang lalu membeli 11-12 bungkus beragam ukuran untuk memastikan lumbung kopi di rumah  selalu aman tanpa terpengaruh inflasi atau pergolakan nilai tukar rupiah di luar rumah. 


Setiap orang yang menduga menu unjukan di dekat saya hanyalah segelas jumbo kopi pasti terkecoh sebab di dekat tumpukan buku itu juga tersedia beberapa cangkir kecil unjukan milo, kopi jantan, kopi tongkat ali, atau racikan akar-akar, daun-daun, atau buah muda macam kurma muda yang dibeli istri saya yang selalu ingat dengan kesukaan suaminya yang kerap bersarang pada setiap akhir pekan jumat-sabtu-ahad. Istri itu juga sudah sangat hapal bagaimana harus menyelesaikan semua urusan yang dapat mengganggu kenyamanan suasana hati suaminya saat bersarang di akhir pekan. Istri saya dengan dibantu anaknya biasanya langsung mengambil alih operasional komunikasi via hp seperti SMS, telpon, whatsapp, Dan segala macam. Keduanya sudah sangat lincah menjawab setiap sapaan dari temanteman pemilik HP tersebut. Misalnya segera dijawab oleh anaknya bahwa "maaf, yang punya sedang istirahat." atau, "maaf yang punya sedang tidak ingin diganggu." Jawaban itu tentu agak berbeda dengan jawaban standar yang disediakan HP seperti "sedang rapat", "sedang di bioskop" apalagi "sedang bermesraan". Pada aplikasi FB dan whatsapp pun keduanya telah lincah berbahasa di grup-grup yang dimiliki oleh lelaki pemilik HP tersebut. Misalnya di grup pekerjaan kantor, si anak biasa membagi info-info penting terkait dunia pemilik laki-laki pemilik HP seperti info regulasi, info lomba, info lowongan penerbitan tulisan, dan sebagainya. Anak itu tak mungkin membagi semacam artikel pengobatan, artikel motivasi apalagi artikel ceramah keagamaan tertentu di grup-grup yang diikuti lelaki pemilik HP. Secara bergantian, keduanya, yakni ibu dan anak tersebut kadang menimpali chat di grup whatsapp alumni atau grup whasapp yang chatnya kadang-kadang mensyen lelaki pemilik HP tersebut. ibu dan anak-anak tersebut, meski lebih lincah anaknya dalam memainkan HP, namun keduanya telah cukap gesit memainkan jemari mereka pilih emoticon, gift atau stiker yang cocok. Misalnya, ketawa tepingkal-pingkal, senyum malu, atau gift bola dunia.


Kadang, lelaki pemilik HP tersenyum di pojok sarangnya. Sebab, saya pun ikut memandang dan membaca komunikasi yang dilakukan ibu dan anak tersebut via mesin ketik di hadapan saya. 



Comments