KEMATIAN BANG SULE | CERITA PENDEK | MUHAMMAD THOBRONI | AMBAU.ID | ZONA LITERASI | KALIMANTAN

 



Cerpen Muhammad Thobroni


Lelaki kerempeng itu bernama Sule.  Karena senior, kami memanggilnya Bang Sule. Rambutnya gondrong serupa lakon Wiro Sableng Si Pendekar Kapak Sakti Naga Geni 212. Tubuhnya kecil mungil. Tapi, tas ransel besar terpanggul di punggungnya. Kami sering heran, kok ia sangat kuat memanggul tas ransel yang terlihat berat itu. Kami juga tidak pernah mengerti apa isi sebenarnya dari tas ransel tersebut. Mungkin isinya alat perlengkapan demonstrasi. Maklum, ia aktivis di kampus kami. 


  Niki, teman sekelasku, sangat mengidolakannya. Setiap Bang Sule menghampiri kerumunan kami, Niki yang paling ramai.


“Eh, coba lihat Bang Sule itu keren, kan?” tunjuknya. Tanpa ragu ia segera tertawa terkikik-kikik. 


Sebenarnya, Niki tidak sendirian karena memang banyak mahasiswi  yang gandrung dengan Bang Sule. Maklumlah, Bang Sule orang yang menarik. Ia bukan hanya unik secara penampilan. Ia juga ramah. Senyum selalu mengembang di bibirnya. Sebagai senior, ia tak ragu berbaur dengan kami.


“Eh, jadi mahasiswa itu harus berpikir kritis!” ujarnya. Ketika itu, kami masih seminggu lepas dari penjara OSPEK.


“Apaan tuh, Kak?” celetuk Ella, yang wajahnya culun.


“Ah, kamu ini La, kritis saja nggak paham. Gimana mau jadi intelektual? Hahahahaha….” Seru Miming. Memang, meski baru beberapa waktu berteman, kami sudah akrab. Saling mengolok. Saling menyindir. Bagi kami, itu bagian dari cara menyuburkan persahabatan. Kadang-kadang memang rawan. Apalagi kami berlatar suku bangsa yang beragam. Anik keturunan Jawa, Ella Toraja, Miming Bugis, Suli Dayak, Tuti Banjar, dan sebagainya. Bila salah memahami maksud guyonan, bisa  saja menjadi benih pertengkaran. Tapi, untungnya kami punya Bang Sule.


“Sudahlah. Kita ini kan bersaudara. Bila bukan saudara sekandung, ya saudara se-RT, se-RW, sedesa, sekecamatan, sekabupaten, sepropinsi, sebangsa, setanah air, atau bahkan seketurunan Bapak Adam dan Ibu Hawa. Usah kita ribut gara-gara masalah sepele,” nasihatnya kepada kami.


“Yeeee Bang Sule cakep, deh!” sahut Suli. Ia rupanya tidak menyimak nasihat Bang Sule, tapi memperhatikan wajah Bang Sule yang baby face. Kami tertawa ngakak. Bang Sule kelimpungan. Wajahnya memerah. Tak menyangka mendapat serangan mendadak. 


Bang Sule memang penuh sosok kontroversial. Dalam dirinya seperti menyimpan sesuatu yang paradoks. Tubuhnya kerempeng. Kecil mungil. Tapi jangan tanya nyalinya. Dalam aksi-aksi demonstrasi di kampus ia berdiri paling depan. Berbeda dengan teman-temannya, ia tak pernah pasang topeng di wajahnya. Padahal, banyak temannya memakai helm penutup wajah.


“Buat apa kita menutup wajah? Kita ini kan memperjuangkan kebenaran? Idealisme? Tunjukkan diri kita apa adanya! Mengapa harus takut?” serunya suatu saat. Ia tersinggung karena ada teman yang menasihatinya agar menggunakan helm pelindung kepala.


“Setidaknya Bang, kepala Abang tidak pecah gara-gara terkena pentungan!” tegur Sopyan, junior bimbingannya. Beda dengan Sule, Sopyan memang selalu berhelm setiap aksi demonstrasi.


“Ah, kamu ini Sopyan, jangan samakan Abang dengan dirimu. Biar Abang ini tidak berhelm, tak bakal ada pentungan dapat menyentuh Abang. Abang ini sudah dijaga! Hahahahahaha” 


Ya, begitulah Bang Sule. Selalu menanggapi segalanya dengan gurau, meski tidak menghilangkan inti masalahnya. Kata-katanya sering filosofis penuh makna, meski disampaikan dengan bahasa sederhana. Maklum, ia pecinta buku sejati. Kosnya saja seperti toko buku. Penuh sesak dengan bacaan. Bahkan, lebih banyak buku daripada pakaiannya. 


Meski demikian, ia berbeda dengan aktivis kampus lain. Ia tetap rapi. Rambut gondrong bersisir rapi. Baju klimis karena bekas setrika. Celana pun tidak berlobang di segala tempat, serupa para aktivis kampus lainnya.


Tapi di luar itu semua, yang mengherankan kami sebenarnya adalah siapakah sebenarnya pacar Bang Sule? Atau, apakah dia pernah jatuh cinta? Apakah Bang Sule pernah mengungkapkan rasa cintanya? Siapakah wanita beruntung yang mendapatkan cintanya tersebut?


Pernah kami membawanya ke kantin kampus. Kami berusaha memancing-mancingnya untuk bicara soal cinta.


“Bang Sule sudah punya pacar?” Ella bertanya. Kami memang minta Ella yang bertanya dulu.


“Abang ini jomblo sejati. Pecinta kesendirian. Bukankah manusia itu lahir sendiri dan akan mati sendiri?”


“Ah, Bang Sule, Bang Sule. Kami ini juga jomblo. Makanya kami ingin menawarkan diri kepada Bang Sule. Pilihlah di antara kami ini, siapa yang akan Bang Sule jadikan pacar. Kami siap sedia kok Bang. Kami juga telah bersepakat, siapapun yang Abang pilih, kami yang lain akan mendukungnya.”


“Bagaimana bila aku memilih kalian semua?”


“Benarkah, Bang? Jangan begitulah, Bang. Pilihlah satu di antara kami untuk menjadi kekasih Abang. Apa kata dunia, Bang Sule yang menawan ini tak punya kekasih hati? Bang Sule kesana-kemari memperjuangkan nasib orang lain, tetapi untuk memperjuangkan cinta Bang Sule pun tak sanggup. Payah!” Niki mulai menyerbu dengan kata-kata sadisnya.


Bang Sule terdiam. Wajahnya merah padam. Tapi ia berusaha tetap tenang. Mulutnya coba tersenyum. 


“Jangan paksa Abang melakukan apa yang Abang tak sanggup!”


“Apa? Maksud Bang Sule? Jadi Bang Sule ini impoten?” kami serentak berseru.


“Hahahahhaa kalian ini memang terlalu. Sudahlah. Tunggu saja tanggal mainnya. Kelak saatnya kalian akan tahu siapa kekasih pujaan hatiku.”


Perbincangan siang itu berhenti tanpa hasil. Bang Sule tetap bertahan. Kami tak mampu menggodanya. Bahkan, untuk sekadar membuka diri terhadap cinta pun sepertinya tak ada daya. 


Bang Sule memang tertutup soal kisah cintanya. Hampir-hampir tidak pernah kami mendengar siapa kekasihnya. Bila saja Bang Sopyan tidak bercerita, mana mungkin kami mengetahui sejarah kisah cintanya.


“Bang Sule juga manusia. Bahkan sangat manusia. Ia juga kenal rasa cinta. Biar bagaimana bergayanya beliau, ia tetap punya cinta,” tutur Bang Sopyan.


“Memangnya siapa kekasih Bang Sule?” serentak kami melontar tanya.


“Bukan siapa, tapi apa!”


“Maksud Bang Sopyan?”


“Ya, Bang Sule itu mencintai apa, bukan siapa?”


“Haaaaa, maksud Bang Sopyan mencintai makhluk bukan manusia? Serupa kucing, kambing, ayam atau apa?”


“Bukan!”


“Ha, jangan-jangan hantu! Bang Sule mencintai genderuwo, kuntilanak, atau justeru tuyul?”


“Ah, kalian ini, masak Bang Sule mencintai tuyul! Itu namanya pedofilia alias minat seksual pada anak pra-puber, hahahahaa….”


“Lantas?”


“Halah, kalian ini dikerjain kok ya ikut saja. Bang Sule sebenarnya sering mengamati anak gadis Budhe pemilik warung “Hijau” di belakang kampus kita.”


“Ha, anak gadisnya yang cantik, seksi montok alias semok itukah?”


“Iya, Bang Sule rajin makan di warung itu. Sebenarnya ia punya tujuan tertentu. Moduslah bahasa anak sekarang. Tapi ini rahasia ya, jangan disebarkan, dapat menimbulkan kegegeran nanti.”


“Oh, rupanya Bang Sule punya selera khusus ya? Gadis semok anak pemilik warung itu rupanya saingan kita!” seru Niki.


“Hahahahaa, bukan, bukan. Bang Sule memang rajin membawakan martabak untuk gadis itu. Sering mengirimi pulsa gratis juga. Malah, tak tanggung-tanggung, lebaran lalu ia memborong tujuh kerudung beda warna dari tujuh toko berbeda! Bayangkan! Ia berikan semua kerudung itu untuk anak gadis Budhe pemilik warung “Hijau” itu.


“Mantap. Berarti Bang Sule serius jatuh cinta kepada anak gadis Budhe!”

“Ah, kalian ini salah, Bang Sule tidak mencintai anak gadis Budhe, tapi mencintai Budhe!”


*********


Itulah sepenggal kenangan kami tentang Bang Sule. Kini Bang Sule telah pergi. Kecelakaan di tanjakan Gunung Amal telah merengut nyawanya. Selamat jalan Bang Sule!


Kampung Enam, 2013




++++++++++++++++++

Muhammad Thobroni merupakan seorang penulis masyhur di Indonesia. Lahir di Jombang 25 Agustus 1978. Menghabiskan masa kecil dan remajanya di Surabaya dan Yogyakarta. Lulus pendidikan tinggi S1 di Universitas Negeri Yogyakarta, S2 di perguruan tinggi yang sama, dan sedang menyelesaikan S3 di Universitas Negeri Semarang. Dia telah bekerja sebagai editor lepas di penerbit  dan menjadi guru Madrasah di Yogyakarta. Ketika lulus Magister, dia menjadi dosen di STKIP PGRI Pacitan, Jawa Timur. Menjadi dosen linguistik dan sastra. Dia juga mengajar kuliah dasar-dasar pendidikan. Dari Pacitan, dia berpindah ke Kalimantan menjadi dosen di Universitas Borneo Tarakan. Sebuah perguruan tinggi negeri di perbatasan Indonesia-Malaysia. Dia mengajar kebudayaan Indonesia, dasar-dasar pendidikan, linguistik dan juga sastra. 

Di Kalimantan, dia mengenalkan budaya literasi kepada anak-anak di daerah terluar, terdepan dan tertinggal (3T). Sebagian mereka anak-anak nelayan dan tenaga kerja asing di luar negeri atau buruh migrant. Dia mengajarkan anak-anak mencintai seni dan budaya. Mengajak mereka mencintai buku dan menjadikan tulisan sebagai ekspresi diri pikiran serta perasaan masyarakat. Murid-muridnya sekarang telah menjadi politisi, guru, dosen, penulis, pengusaha, seniman, sastrawan, pedagang, dan profesi lain. 

Thobroni telah menulis banyak karya di media cetak dan online. di media cetak karyanya pernah dimuat Kompas, Republika, Pelita, Bernas, Kedaulatan Rakyat, Sabili, Kuntum, Suluh, Majalah Sastra Pesantren, dan sebagainya. Di media online, karyanya pernah dimuat di situs NU Online, Batimbang.com, dan Ambau.id. Dia menulis banyak buku antara lain Mukjizat Sedekah (2008, Galangpress), Mukjizat Tahajud (2009, Galangpress), Indahnya Puisi (Insan Madani, 2009), Asyiknya Prosa Fiksi (Insan Madani, 2009), Kisah Si Sawa (Azka Press, 2008), Kisah Si Tokek dan Si Cicak (Ganeca Excact, 2008), Kumpulan Dongeng Teladan Islami (Wahana Islami, 2009), Merekayasa Kecerdasan Anak sejak dalam Kandungan (bersama Aliyah A. Munir; Cakrawala, 2010), Benarkah 2012 Zaman Akan Berakhir? Menjawab Keresahan Ramalan Kiamat Menurut Agama-agama, Kepercayaan dan Sains (Wahana Insani, 2010), Buku Pintar Berdakwah Panduan Menjadi Mubaligh Kondang (Penerbit Pinus, 2010), Nasihat Hidup dari Para Kekasih Allah (Wahana Insani, 2010), Cendekiawan Muslim dan Penemuan-penemuan Paling Brilian dari Dunia Islam (Titan, 2010),  Resep Anti Susah (Wahana Insani, 2011),  Seorang Pelacur dan Seekor Anjing Kumpulan Kisah Religi (Cakrawala, 2011), Mendongkrak Kecerdasan Anak Melalui Bermain dan Permainan (bersama Fairuzul Mumtaz, Kata Hati, 2011), Belajar dan Pembelajaran (bersama Arif Mustofa; Arruz Media, 2012), Buku Puisi Sei Kayan (Anom Pustaka, 2017), Buku Cerita Pendek Ustadz Misterius (Anom Pustaka, 2018). Buku puisi berjudul Sei Kayan (edisi revisi, Penerbit Tidar, 2019), Sei Bahau (Penerbit Tidar, 2019), Sei Sesayap (2019), dan Sei Sembakung (2019). 

Tulisannya juga dalam bentuk artikel ilmiah dapat dibaca secara online di berbagai jurnal dan prosedding. 


Untuk berdiskusi dapat melalui email: thobsatu@gmail.com

Comments