SEBUAH MASJID DI DEKAT PERTIGAAN TERMINAL CANGKIRAN | MUHAMMAD THOBRONI | CERPEN | AMBAU.ID | ZONA LITERASI



Oleh Muhammad Thobroni


Kami tidak sedang terburu waktu. Oleh sebab itu, meski jarum jam telah menunjukkan pukul 10.45 WIB, kami memutuskan tetap berangkat ke Gunung Pati. Masih ada sisa waktu 1 jam lebih 15 perjalanan untuk tiba di tujuan tepat pukul 12.00 WIB. 


Ini hari Jum'at. Kaliwungu-Boja-Gunung Pati merupakan jalur favorit saya. Suasana sejuk. Dengan kelokan, tanjakan dan turunan yang asyik. Dan keindahan hutan jati, pinus, karet juga kembang tebu yang tak pernah habis dinikmati. Dan sangat penting lagi: jalur ini enak dinikmati dengan kelajuan motor antara 20-40 km/jam. Memang tetap ramai karena jalur antar kota bahkan antar provinsi bagi yang lanjut via Limbangan-Temanggung-Grabag hingga masuk gerbang Tempel. Tapi, kendaraan boleh saling menyalip dan antri jalan sembari bersiul ringan. 


Belum ada 10 menit Revo melaju pelan, kami tiba di seberang Masjid Protomulyo. Jalan tol garapan rezim sedang dipamerkan di atas jalur Kaliwungu-Boja. Pemancar suara yang dipasang di puncak menara berjumlah delapan. Genap dengan jumlah arah mata angin. Dengan volume, ecco dan bass yang tepat, murottal Surat Al Kahfi terdengar nyaring. Bisa dinikmati sembari melaju. Macam sedang melakukan muroja'ah hafalan surat pendek. 


Saya memelankan Revo yang sebenarnya sudah pelan. Tapi halaman masjid masih sepi. Baru 3 motor saja tampak di halaman parkir. Terdapat 1 motor penjual mainan anak, 1 motor penjahit permak keliling dan 1 tidak jelas. Tapi sepertinya milik seorang marketing perusahaan. Seorang anak muda berpenampilan necis. Sedang melepas sepatu dan kaos kaki. Sembari bersandar ke tiang beranda masjid. Belum ada satupun mobil diparkir di halaman. Seorang marbot tampak menata kotak amal kecil yang nanti diedarkan berdasarkan shof jama'ah. 


Revo batal berbelok menyeberangi jalan Kaliwungu-Boja. Dan berjalan kembali dengan kecepatan sedang. Melintasi terowongan jalan tol Batang-Semarang. Di bawah tol sudah makin ramai. Mirip rest area tradisional. Sudah pasti inisiatif rakyat. Ada es degan, mie ayam, gelaran rujak buah, dan es tebu. "Sudah ramai ya? Dulu masih semak belukar. Itu ada gerobak pecel lele dan sate madura juga. Berarti kalau malam ramai ya? " Celetuk istri saya dari jok belakang. 


Jalur Kaliwungu-Boja ternyata lumayan ramai. Tidak seperti biasanya. Banyak lulusan SMP sedang keluar masuk gerbang SMA Kaliwungu. Beberapa remaja akhir juga berseragam rok abu-abu juga tampak menenteng map. Mungkin pembagian rapot atau ijazah. Wajahnya tampak sumringah. 


Jalanan lumayan padat merayap juga disebabkan angkutan umum pick up yang disulap jadi angkutan publik. Banyak anak sekolah dan bakul sayur mengandalkan angkutan pick up sehari-hari. Ke sekolah atau pasar. Mereka ngetem menunggu penumpang di tepi jalan depan SMA Kaliwungu. Pickup lawas dan agak berderit-derit bunyinya juga tampak menerobos kepadatan. Muatannya sampah dari kota dan akan dibawa ke tempat pembuangan akhir di tengah hutan Darupono. 


Dan ada lagi sumber kepadatan hari ini: truk-truk pengangkut tanah urug. Dari tebing dan pegunungan yang dikeruk dengan alat berat. Dibawa ke lokasi penimbunan tambak untk kawasan industri. Atau timbunan sawah untuk kapling dan perumahan. Bisnis property memang sedang jadi idola baru pemburu cuan. Para pemilik tanah juga mulai banyak yang gagal menghadapi godaan ganti untung. Merea butuh dana pelunasan haji, bayar hutang, tomboki kebutuhan anak, atau sekadar bersenang-senang menikmati usia tua. Contoh bersenang-senang menikmati hari tua ialah nongkrong di warung ramesan dengan penjual perempuan yang lincah bercerita kepada pelanggannya. Hingga pelangan lupa habis berapa cangkir kopi, berapa banyak mendoan dan berapa biji kerupuk diambil dari kotak blek seng bertulis "berkah"  atau "rohmat".


Sebelum perempatan Kedungsuren, terdapat masjid lumayan besar. Juga megah. Padahal pemukiman dikelilingi hutan jati. Tapi banyak keturunan warganya yang merantau ke Taiwan dan Hongkong. Jangan meragukan militansi mereka dalam beramal jariyah. Bapak dan ibu para pejuang devisa itu tinggal angkat telpon. Dan dalam sekejap panitia pembangunan sudah bisa berbelanja besi ulir dan semen bertruk-truk. 


Halaman masjid lumayan luas. Semakin banyak orang sadar pentingnya membangun masjid yang sekaligus jadi "rest area". Banyak pelaju dengan beragam keperluan butuh tempat istirahat. Tapi yang aman dan nyaman. Selain istirahat lelah pegang setir, juga untuk melemaskan otot dan ketegangan otak. Dan tentu saja mendirikan sholat. Atau sekadar wudhu dan buang air. Beberapa masjid juga punya kesadaran keamanan dengan memasang CCTV untuk antisipasi kriminalitas. Bagusnya mereka tak perlu memasang pagar rapat atau mengunci pintu masjid. Mereka yang singgah bisa selonjoran atau berbaringan sejenak. 


Di seberang masjid dekat Kedungsuren ini menariknya karena dilengkapi kompleks pasar durian. Baunya harum menusuk hidung mereka yang melintas jalur Kaliwungu-Boja. Ada juga angkringan sederhana sekedar menghangatkan tubuh dengan kopi hitam yang diambil dari kebun kopi di Patean, dataran tinggi Kendal bagian selatan. Sayangnya istri saya tidak terlalu suka dengan durian. Singgah sholat Jum'at di masjid Kedungsuren jelas bukan pilihan terbaik. Tidak mungkin saya tinggal istri tersiksa dengan bau durian yang menusuk dalam jangka waktu 1 jam saat saya jum'atan. 


Saya mempercepat laju Revo. Tapi harus tetap hati-hati. Karena bisa saja ban Revo meletus atau bocor. Banyak lubang jalan atau aspal yang terkelupas menyebabkan batu tajam dengan mudah mengancam ban motor yang aus. Meski ban Revo kondisi baru, kami harus tetap waspada mengingat berat badan kami berdua kerap menjadi sumber kebanan dan harus singgah langganan tambal ban. 


Kami berhasil melewati Boja bagian kota. Ada masjid kecil di sebelah kanan jalan. Masjid MTA dan didekatnya lagi ada masjid milik LDII. Saya hendak belok ikut sholat jum'at. Ternyata parkiran penuh hingga ke tepi jalan besar. Banyak mobil box juga bingung hendak menepi parkir. Masalah lain: warung-warung di sekitar masjid rupanya tutup. Saya kehilangan pilihan untuk dapat memutuskan Jum'atan di masjid itu. 


"Dekat terminal Cangkiran saja ya! " ujar saya kepada istri yang dari tadi sibuk baca Waqi'ah. Dia akhir-akhir ini sering baca Waqi'ah untuk menenangkan pikiran dan hatinya. Dia baca tanpa shuhuf karena sudah hapal sejak kecil. Karena tidak ada sahutan dan istri masih menyelesaikan bagian akhir Waqi'ah, saya lanjutkan saja perjalanan. Saya yakin tidak sampai 5 menit kami masih sempat masuk masjid dekat pertigaan cangkiran dan mendengar khatib salam. Dan benarlah! Melewati batas kota Kendal-Semarang, tugu di pertigaan Cangkiran sudah tampak dari jauh. 


Dari arah Kaliwungu lurus jalur kiri melewati pertigaan itu kita bisa ke Semarang kota atau Gunungpati dan Ungaran. Pertigaan ke kanan kita bisa ke arah Limbangan atau Sumowono lewat jalan alternatif. Pertigaan ini lumayan ramai. Lebih mirip kota kecil di pinggir kota Semarang. Tepat di pojok pertigaan terdapat terminal Cangkiran. 


Saya membelokkan Revo ke arah kanan. Menyeberangi jalan dan masuk ke halaman Alfamart. Masih sangat longgar halamannya. Halaman Indomaret yang baru saja kami lewati sudah sangat penuh. Lokasinya persis sebelum masjid. Saya yakin pilihan masuk dan singgah Alfamart ialah pilihan tepat. Jadi tidak perlu bertanya apalagi berdiskusi dengan istri lebih dulu. Beberapa kali singgah Alfamart atau Indomaret, saya perhatikan istri saya lebih nyaman. Ada camilan dan minuman. Juga popmie dan kopi panas. Meski lidah saya kurang berselera dengan kopinya yang berada lumayan asam. Saya suka kopi dengan rasa pahit yang kaffah. 


Istri saya turun dari jok revo. Langsung masuk Alfamart mungkin ingin lekas mencari suhu dingin. Dia menuju koleksi kopi gelas dan mengambil satu. Lantas dituangi air panas dari termos yang tersedia di sudut meja. Dia juga ngambil sepotong roti sari dan dua botol la mineral. Pastinya satu untuk saya. 


Sembari memantau perkembangan jama'ah sholat jum'at di masjid sebrang, saya bersabar menunggu istri di  Alfamart. Ada tiga kursi ditata mengelilingi meja. Tidak sebanyak jumlah kursi dan meja di Alfamart atau Indomaret di jalur pantura yang bisa 3-5 meja. Saya lepas jaket dan sarung tangan. Meletakkan jadi satu dengan tas dan kunci revo di atas kursi bagian tengah. Ketika istri selesai melayani teller yang terus menawari kebutuhan lain dan bertanya "masih ada lagi bu ? " Atau "mau donasi Bu? " Atau "bawa tas plastik sendiri Bu? ", dia langsung keluar ke tempat saya berdiri menunggu. Dia juga beberapa kali menatap keluar lewat dinding kaca tembus pandang. Dan menyaksikan saya gelisah menunggu dirinya yang masih berdiri sabar di depan meja teller. 


Saya melipat ujung celana. Sembari menunggu truk lewat untuk menyeberangi jalan. Menuju tempat wudhu. Seorang satpam mengarahkan jari telunjuk. Dan saya mengikuti seorang bocah yang tampaknya juga mengarah tempat wudhu. 


Saya melepas sepatu sandal. Alas kaki yang praktis. Tidak mudah ditembus angin. Tidak gampang dimakan air. Karena bahannya karet. Bentuknya bagus seperti sepatu bermerk BATA lainnya. Tapi ini versi karet. Jadi biar dilempar atau dinjak orang pun tak khawatir. Saya beli di bakul lapak motor tiga roda merk TOSSA tepi sawah di jalan tembus Srogo-Pegandon. Harganya Rp 35.000 dapat dua pasang. Saya beli tidak pakai tawar menawar. Penjualnya korban PHK satpam di pabriknya. Harga sepatu juga sangat murah. 


Lepas antri wudhu, saya naik tangga. Shof di lantai bawah penuh sesak. Sebagian jama'ah berdiri antri menunggu shaf longgar. 


Enak juga di lantai atas. Tiang masjid ada empat. Cor beton bulat seukuran batang jati umur 35 tahun. Jadi lumayan kokoh. Atapnya dibuat mirip joglo Jawa tapi lebih modern. 


Lantai atas bagian tengah depan dibiarkan berlubang dan tidak dicor dek. Jama'ah lantai atas dekat lubang dapat melihat khatib dan imam di lantai bawah. Selain itu, lantai atas juga dilengkapi salon booster yang dipasang di  delapan titik dinding. Suaranya jernih nyaring dan merdu. Tampaknya jenis salon yang biasa digunakan untuk karaoke keluarga, atau cover lagu atau paket podcast. 


Delapan salon dipasang mengelilingi dinding berselang-seling dengan kipas angin berdaya putar besar. Suara angin menderuderu. Dan baling-baling serupa berputar dengan kecepatan 90 km/jam. Hampir tak tampak berapa jumlah baling-baling tiap kipas anginnya. 


Saya memilih duduk disamping tepat tiang kanan belakang. Saya kurang bersahabat dengan angin kencang. Gampang meriang, bersin dan batuk. Untungnya tubuh saya  dihalangi tiang kokoh yang berukuran selingkar tangan orang dewasa. Serangan angin dari kipas angin bagian belakang lumayan jauh. Jadi aman. 


Saya tidak tahiyyat masjid. Shaf penuh sesak. Bahkan banyak jama'ah tidak duduk di garis shaf. Tapi duduk berkerumun seperti orang nobar bioskop misbar di lapangan zaman dulu kala. Situasi ini bakal berubah drastis saat iqomah dikumandangkan. Jama'ah otomatis menata dan merapikan diri sesuai harus shaf. Sebagian jama'ah inisiatif lebih merapatkan jarak antar jama'ah. Jarak yang longgar langsung diisi jama'ah dari baris belakang yang maju ke garis shaf depannya. 


Jama'ah memang tidak lagi harus menjaga jarak 1 meter antar mereka. Meski spanduk dan banner besar di dinding depan dan pagar  pembatas lubang lantai masih menyerukan protokol kesehatan: jaga jarak, pakai masker dan cuci tangan. Meski status pandemik belum sepenuhnya dicabut dan diganti endemik. Namun pemerintah sudah mengumumkan dibolehkan kehidupan normal baru dengan menekankan kewaspadaan. 


Mungkin sebab itulah, di lantai atas ini, jumlah jama'ah bermasker hanya 21 orang dari 200an jama'ah. Saya hitung cepat berdasarkan jumlah jama'ah di baris shaf depan saya persis, dikalikan jumlah shaf dari depan hingga belakang ujung. 


Corak ratusan jama'ah di lantai atas ini juga khas dan unik. Secara usia, lebih 90 persen jama'ah merupakan anak, remaja, dan pemuda maksimal usia 45 tahun. Hanya 1-2 jama'ah berusia 50 an tahun dilihat dari uban rambut, ukuran postur tubuh menggembung, dan posisi duduk kerap berubah-ubah mirang-miring. Saya pastikan tidak ada lansia apalagi yang agak sakit-sakitan sebab tangga naik lantai atas lumayan panjang, berkelok-kelok dan terjal. Jadi lumayan merepotkan meski lansia harus dibantu orang lain.


Data semacam itu agak berbeda dengan masjid di kampung saya. Mungkin 90 persen jamaahnya ialah lansia. Saya dengan mudah menyimak bunyi batuk bersahutan berselang-seling dengan suara bersin. Hanya sedikit remaja usia sekolah dan anak-anak yang banyak duduk di tangga beranda bahkan teras rumah warga. Merekalah para laskar yang siap bergembira merayakan pesta pembagian nasi bungkus, jajan dan minuman kaleng! 


Di masjid kampung saya, generasi muda usia kerja sudah berada di luar negeri atau luar pulau atau luar kota. Mereka merantau meninggalkan zona nyaman di bawah ketiak ibunya. Membaur bersama banyak orang lintas suku, agama, ras dan antar golongan. Mereka berani tarung dan mengubah diri dari golongan jago kandang menjadi sosok berani yang keluar yang keluar dari kandang jago. Mereka jadi semacam pendekar bukan pilih tanding. Yang pilih menguji kesaktian kanuragan timbang duduk merenung di sudut-sudut padepokan sembari membayangkan diri sebagai paling sakti. Padahal pecundang. Seakan suhu padahal cupu. 


Mungkin inilah yang menjelaskan kenapa jama'ah masjid di pertigaan terminal Cangkiran ini banyak generasi muda. Banyak mereka yang bekerja di warung, toko, swalayan, pabrik, terminal bis, dan perusahaan swasta di sekitar masjid. Sebagian mereka tampak masih berseragam sopir dan kondektur atau timer bus Trans Jateng. Sebagian memakai hem panjang berdasi layaknya marketing executive atau manajer di kantornya. Banyak tas ransel disandarkan ke dinding atau tiang. Tas berukuran kecil atau selempang diletakkan di samping atau depan pemiliknya. Mungkin isinya nota tagihan atau daftar retur barang dari retail. 


Khatib menjelaskan hikmah idul adha dan ibadah haji. Seraya memotivasi jama'ah untuk dapat berqurban dan beribadah haji. Khatib juga mendoakan jama'ah agar diberikan kesehatan dan kemampuan untuk mewujudkannya. Sangat menyentuh sekali khutbah jum'atnya. Mengingatkan saya lama antrian di beberapa kota 50 bahkan 65 tahun baru bisa berangkat haji sejak daftar. Usia boleh daftar haji 12 tahun dan usia boleh berangkat haji maksimal 65 tahun. Silakan dihitung sendiri dengan kalkulator peluang berangkat haji secara normal. Banyak orang berfikiran untuk cepat berangkat haji jadilah petugas haji! Ada juga yang beranggapan jadi TKI ke Timur Tengah memberi peluang lebih besar ibadah haji. 


Meski khutbah menyinggung pentingnya ibadah qurban, namun Khatib tidak membahas masalah merebaknya penyakit PMK akhir-akhir ini. Di masjid kami relatif aman. Sebab hewan qurban diternak sendiri. Pencari rumput dan perawatnya jama'ah masjid yang butuh pekerjaan tapi tidak punya kualifikasi dan kompetensi bekerja di pabrik. Kami juga menanam indigofera, tricantera dan odot. Secara berkala kesehatan ternak dipantau seorang sarjana peternakan yang dibeasiswai kas masjid. Dia juga yang komunikasi dan koordinasi dengan dinas Peternakan dan pertanian, serta dokter hewan untuk memastikan ternak kami sehat wal afiat. 


Saya menyimak khutbah sembari mengamati kepala jama'ah. Hanya 7 orang saja yang memakai songkok alias penutup kepala. Karena itulah saya dengan mudah dapat melihat warna rambut beragam: hitam, putih, hitam putih atau pirang. Sebagian jama'ah potongan rambut normal lurus klimis 2-4 cm. Ada yang belah tengah sisirannya, ada pula yang dominan samping kanan kiri. Mungkin standar perusahaan. Ada juga gaya potong rambut jambul, bahkan dikuncir. 


Ketika imam uluk salam menandai sholat berakhir, saya berdoa singkat untuk orang tua dan kebaikan dunia akhirat. Banyak jama'ah yang masih bertahan wiridan bareng imam.  Sebagian sudah mengubah posisi duduk bersandar tiang atau dinding. Sebagian selonjoran kaki. Sebagian langsung menyalakan medsos khawatir ketinggalan perubahan dunia. 


Saya menuruni tangga yang longgar. Sebelah saya seorang mas-mas berseragam warung ayam geprek. Ternyata dari tangga ini pandangan bisa lebih jauh dan luas. Saya jadi bisa memandang bahwa Alfamart dan Indomaret bukan hanya dua yakni di tempat istri saya menunggu dan seberangnya! Tapi jumlah Indomaret dan Alfamart itu ada delapan! Berdiri menyebar di sekitar pertigaan: sepasang Indomaret Alfamart di jalur arah  Boja-Kaliwungu, sepasang Indomaret Alfamart di jalur Boja-Limbangan dan dua pasang di jalur Boja-Gunungpati. Berjejer dan berseberangan.


Tak heran ada yang berseloroh hubungan Indomaret dan Alfamart serupa pasangan kekasih yang sedang marahan. Ada juga yang mengatakan mirip tetangga yang sulit akur. Bahkan ada yang menyamakan dengan senior atau sesepuh organisasi yang neng-nengan gegara masa silam yang belum tuntas. Kebanyakan urusan politik tapi kebanyakan lagi masalah asmara. 


Fenomena Indomaret dan Alfamart memang unik. Mereka menjamur dan merajai bisnis ritel di jalanan antar kota atau kota kecil di kecamatan. Mereka sangat mudah dilihat dan ditemukan lewat warna khas dan ikonik yang terpampang di papan nama: MERAH-BIRU-KUNING. 


Di halaman hingga tepi jalan masjid, anak-anak bergembira menerima distribusi nasi kotak, kue dan es teh bungkus! Saya ikut senang dan bahagia. Saya juga disodori berkat jum'atan itu dan saya terima, tapi lantas saya teruskan ke mas-mas ojol di belakang saya. Dia tiba belakangan dan berkat sudah habis. Wajahnya senang sekali menerima berkat sembari merunduk kepala. 


Ketika tiba menemui, istri saya langsung mengajak ke Warmindo. Ini juga fenomena lain.  Warung ini merajai bisnis kuliner kelas bintang lima harga kaki lima. Jujugan dan andalan kaum mahasiswa yang masih bergantung beasiswa dan kiriman orang tua. Makanya hampir semua pilihan belanja harus ada label: tarif pelajar atau harga mahasiswa! 


Raja bisnis kuliner ini mudah dijumpai sekitar kampus dan sekolah. Sekarang merembet hingga Pinggiran kota. Dulunya tahun 1990an, Warmindo lebih dikenal sebagai warung burjo. Kebanyakan pegawai dan pemiliknya dari Kuningan Jawa Barat. Mereka sering dan hampir setiap lebaran selalu mudik bareng dengan menyewa banyak bis wisata di Yogyakarta. Meski bernama Warung Burjo alias Bubur Kacang Ijo (Hijau) tapi mereka juga menjual indomi tante (tanpa telor) bahkan mendoan! Ada juga minuman favorit: soda gumbira! 


Saat ini tampaknya Warmindo sebagai jelmaan bisnis kuliner baru yang menekankan kolaborasi dan inovasi. Mereka masih menjual menu zaman burjo, tapi sudah ada juga menu angkringan yang dulu khas hanya ditemui di gerobag di pinggir-pinggir jalan Yogyakarta. Penjualnya banyak orang Klaten Jawa Tengah. Warmindo juga dilengkapi menu nasi goreng Magelangan yang dulu mudah dijumpai malam hari di sekitar kawasan kos-kosan di Yogyakarta. Ada juga menu ramesan ala warteg asli Tegal Jawa Tengah. Dan jangan lupa, Warmindo juga siap bersaing dengan kafe modern sebab dilengkapi free wifi dan tempat nongkrong mahasiswa diskusi serta garap tugas akhir sembari nyeruput kopi khazanah Indonesia. 


Warmindo terdekat lokasi kami tepat di samping alfamart. Saya langsung menangkap warna ikonik yang sudah saya kenal sejak remaja awal: MERAH-KUNING-HIJAU. 


Saya benar-benar tertegun. Dan langsung setuju ke Warmindo. Sebab selain mengisi perut yang keroncongan dan perjalanan juga masih panjang, saya pun punya kesempatan menyusun ulang puzzle masa silam! 


Sekaran, Juni 2022

Comments