POLITISI, PUISI DAN KOPI | KOLOM | MUHAMMAD THOBRONI | AMBAU.ID | ZONA LITERASI | ARIF WIBAWA | GUNUNG KIDUL



Oleh Muhammad Thobroni 

(peternak kelinci dan pecinta kebun) 


Di mata banyak orang, politik adalah hal buruk. Bahkan busuk. Mereka yang terjun ke dunia politik, yakni politisi, pun dihantam imbasnya. Meski mereka yang bekerja di dunia politik tak hanya politisi. Sebagian mereka ialah administrator, konseptor dan eksekutor pekerjaan teknis di lapangan. Tapi, diamini semua pihak, mereka yang paling banyak dikecam ialah politisi. Khusus lagi yang dikutuk sejarah sebagai anggota dewan. Atau lebih dikenal sebagai wakil rakyat. Atau anggota legislatif. 


Padahal banyak di antara mereka yang berprestasi. Lewat kiprah mereka di bidang masing-masing. Sebagian menekuni bidang karitatif dan advokatif. Sebagian lagi melayani bidang edukasi dan literasi. Bahkan ada pula yang punya ekspresi indiidual dan sosial  yang istimewa: berpuisi. Menulis dan menerbitkannya. Membaca dan memanggungkannya. Satu di antaranya ialah Arif Wibawa, politisi dan penyair dari Gunung Kidul. 


Saya dikirim buku puisi terbarunya. Berjudul Lautan Aksara. Diterbitkan Penerbit Dziqron tahun 2021. Buku puisi ini memuat 116 judul puisi. Jumlah puisi yang lumayan banyak. Terlebih ini puisi kurasi. Bukan puisi dokumentasi yang semua ditulis. Dan semua dimuat, dan lantas diterbitkan begitu saja. Puisi di buku ini dikurasi oleh penyair tersohor: Mahwi Air Tawar. Tentu puisi pilihan dalam buku ini secara estestik lumayan terukur. Meski oleh Arif Wibawa, diakuinya dalam Kata Pengantar, puisi-puisi "tidak ditulis dalam waktu-waktu khusus". Mungkin kesibukan yang padat. Atau seluruh hidupnya memang "sudah puisi".


Arif Wibawa juga mengaku "iseng, enjoy dan tanpa beban" dalam berpuisi. Mungkin maksudnya, menulis puisi ialah hal yang menyenangkan. Hal yang manfaat dan juga berkat. Tidak ada tendensi meski dia seorang politisi? Lagi pula, apa menulis puisi bisa memberi nilai lebih bagi dirinya? Terlebih dia bertarung dari dapil dan daerah yang jauh dari pusat kota. Apalagi dikaitkan dengan harapan puisi memberi daya dorong intelektual. Atau, katakanlah transformasi sosial. 


Dari lebih 100 judul puisi, saya tertarik mencermati gayanya berpuisi tentang kopi. Meski dalam puisinya juga banyak muncul tentang keresahan dan kegelisan. Tapi, di akhir zaman, atau zaman akhir begini, banyak orang juga menyimpan keresahan dan kegelisahan. Tidak harus menunggu jadi anggota dewan. Apalagi menunggu jadi penyair atau sastrawan lebih dulu. Keresahan dan kegelisahan punya semua orang. Atau boleh dimiliki semua orang.  


Seorang politisi menulis puisi tentang kopi. Mengapa? Ternyata dia coba berdialog melaluinya. Ya, coba meraba hati dan jiwa kopi. berbincang tentang apa saja. Bisa dialog tentang manusia. Tentang diri sendiri atau oran lain. Atau justru tentang aku dan kamu. "Mengapa hanya ada satu cangkir:   Bisakah kau bawakan satu lagi untukku? Agar kita bisa berbagi rasa. Berbagi kehangatan." ujar Arif Wibawa dalam judul Cangkir yang Sendiri. Puisi ini semacam kutukan terhadap keegoisan. Atau ketakutan atas kesendirian. Sekaligus harapan hadirnya liyan. Atau kerinduan tentang kebersamaan dan kekompakan. Pemikiran semacam itu tentu aneh. Umumnya politisi rindu kemenangan. Juga hasrat penaklukan dan kekuasaan. Untung saja pemikiran ini ekspresi puisi seorang penyair. Siapa sih yang meragukan keanehan penyair? Kalau tidak jasadnya, ya kadang pemikirannya. Saya tidak bicara jiwa dan ruhnya. 


Dalam puisi lain berjudul Sepahit Kopi, Sesepet Teh, keanehan itu juga dapat dipahami. Arif Wibawa menyatakan, "Tidakkah rasa pahit akan lebih lezat, jika kau dan aku tak saling berpaling, dalam suka pun dalam duka?" bukankah sungguh aneh mengajak orang lain menikmati sesuatu yang pahit sebagai hal lezat? Puisi ini cenderung provokatif dan agitatif. Meski diakhiri tanda tanya. Terasa lebih menghentak dan menggedor. Sangat bertenaga! 


Politisi menulis puisi ternyata memberi diksi yang berbeda. Tidak berkesan curhat galau menye-menye. Meski mengandung dialog kreatif dan kritis. Kopi hadir lewat cangkir. Resap melalui tenggorokan. Menghangatkan pikiran dan imajinasi. Dan mengepulkan asap spiritual kepada siapa saja. Kepada apa saja. 


Brangsong Mei 2022

Comments