MUHAMMAD THOBRONI | SUATU PAGI SINGGAH SARAPAN PECEL GEBLEK DI DEPAN PASAR PAHING KALORAN | CERPEN | AMBAU.ID | ZONA LITERASI



Oleh Muhammad Thobroni


Orang-orang sudah melangkah kaki keluar mushola. Pulang ke rumah masing-masing. Saya sudah selesai memanaskan mesin Revo. Dari jauh jarum jam menunjuk pukul 05.30 WIB. Tepat. Tidak kurang tidak lebih. 


Sudah saya perkirakan sebelum menyalakan mesin. Mesin harus sudah panas, atau dirasa panas, atau dipaksa panas, tepat pukul 05.30 WIB. Kebetulan istri saya juga telah mengunci pintu dari luar. Suara pintu jati yang ditarik sangat keras. Hingga suaranya glodakan.  Pastilah terdengar bukan hanya ke tetangga sebelah. Tapi ke sudut kampung yang jauh. 


Kami memang memutuskan berangkat sejak hari masih petang. Targetnya tepat matahari terbit kami telah tiba di gerbang kota Boja. Kota kecil di luar kota semarang. Tapi secara administrasi masih masuk kabupaten Kendal. 


Karena itulah sejak sebelum subuh kami sudah bersiap. Dan persiapan kami putus sejenak saat subuh didirikan. Dengan harapan pagi benar kami telah mulai melakukan perjalanan. 


Kami berencana sarapan di Boja. Mungkin saat tiba di sana hari sudah mulai agak terang. Meski matahari baru tampak malu-malu. Maklum sekitar Boja dan Singorojo memang masih banyak tertutup rimbunan daun jati. Batang jati menjulang sepanjang jalan. 


Bahkan sejak keluar dari Protomulyo di Kaliwungu Selatan, kami sudah harus melintasi hutan jati. Lain waktu saya ceritakan beberapa hal menarik seputar kawasan ini. 


Singkatnya, kami mengendarai Revo tidak terlalu laju. Mungkin kisaran 20-40 km/jam. Bukan saya tidak mampu berkendara secara lincah. Atau ngebut. Saya sudah pernah terjerumus ke sebuah jurang dangkal di seputar pakem jalan Kaliurang yogyakarta. Ngebut dan kecelakaan kecil sudah pernah menjadi bagian dari kenakalan masa remaja. 


Saya jalankan Revo tidak terlalu laju sebab pagi masih lumayan gelap. Meski akhirnya perjalanan jadi lumayan merinding sepanjang waktu. Padahal ada penerangan PLN di beberapa titik jalan. Tapi sebagian besar memang penerangan lewat kendaraan masing-masing. Saat lampu kendaraan mati ya wassalam. Pengemudi harus menggunakan ketajaman mata di tengah kegelapan. Setiap makhluk nocturnal. 


Pelan dan menikmati sekali perjalanan kami. Saya banyak bercerita kepada istri. Tentang apa saja. Misalnya kisah penciptaan Adam dan hawa. Serta kisah cinta mereka. Kalau istri saya diam, saya berinisiatif tanya. Tanya apa saja. Yang penting pertanyaan yang tidak masuk akal. Misalnya apa dia pernah dengar cerita bahwa tukang tambal ban di Kaliwungu itu ternyata kelima anaknya jadi dosen semua? Pokoknya istri saya bisa fokus perjalanan. Bukan fokus memandang kiri kanan jalan yang masih hutan belantara. 


Kami sungguh beruntung bisa tiba di kota Boja. Jalanan sedikit ramai. Banyak orang sedang menuju ke pasar di pinggir hutan. Kami langsung menuju warung langganan. Tutup! Apes. Saya menghela nafas panjang. 


"Mungkin penjualnya libur. Zaman sekarang pedagang pun tak kalah dengan pegawai. Malah justru jadwal liburnya bisa lebih banyak karena bisa atur waktu sendiri. Ini kan hari Jum'at, " hibur istri saya. 


Lumayan menenangkan. Terlebih ketika istri saya kembali berkata, "Kita lanjut saja. Aku lumayan sehat."


Sebenarnya lebih pada diri saya. Dalam hati lumayan dongkol sebab gagal minum kopi. Ini pasti perjalanan yang bertambah berat untuk saya. Harus pegang setir 1 jam lagi. Lewat jalanan yang punya tanjakan dan turunan curam. Plus tikungan-tikungan tajam. Dan jangan lupa suhu dingin yang menghantui! Kami akan terus melakukan perjalanan lewat pegunungan Ungaran yang tinggi itu. 


Dalam hati saya berharap tidak masuk angin! Tapi baru saja masuk gerbang Kecamatan Limbangan, saya langsung bersin! Alamattt....


Pokoknya nekat saja. Gas terus. Perjalanan harus dilanjutkan. Apapun yang terjadi. Bismillah. Dan yakin saja. Tak usah banyak sambat. 


Selepas berjibaku sepanjang hampir satu jam. Dan diselingi bersin. Plus meminggirkan motor ke tepi jalan. Karena rupanya istri didera ngantuk berat. Masalah tambahan. Wah bisa lambat tiba di Yogyakarta bila begini rupa caranya. Tujuan akhir kami memang ke Yogyakarta.


Sekira 30 menit perjalanan naik turun gunung Ungaran, kami mulai agak senang. Kami teringat punya langganan nasi pecel. Letaknya di sekitar barak militer di Bantir. 


Revo melompati pelan polisi tidur. Memang jalanan di sepanjang barak itu di lengkapi polisi tidur. Sebabnya banyak kendaraan militer sering keluar masuk kompleks barak. Juga para prajurit yang harus berlatih. Atau jogging dan berlari kecil untuk menjaga kebugaran. Khawatirnya banyak kendaraan lalu lalang. Sementara sopirnya ngantuk atau kelelahan. Atau malah ngebut. Bisa-bisa menyebabkan kecelakaan! Sudah benar ada polisi tidur! Agar mereka yang lewat punya akhlak berlalu lintas. Setidaknya hormat sedikit mereka lewat depan barak militer. 


Halaman luas di depan barak itu masih sepi. Kosong melompong. Bahkan cenderung sunyi. Biasanya halaman luas itu digunakan untuk parkir kendaraan militer atau tamu. Atau sekadar singgah istirahat para pelaju. Tak heran banyak lapak kuliner di sekitar lokasi itu. Termasuk bakulan lontong pecel. 


Biasanya selepas subuh penjual lontong pecel sudah bersiap buka lapak. Mereka tidak berjualan di warung permanen. Atau gerobak yang dibiarkan bermalam saat penjual pulang rumah. Mereka berjualan dengan pick up yang sudah dimodifikasi. Sehingga "warung" itu mudah ditata. Digeser atau dipindahkan.


Pick up itu biasanya tepat di depan gerbang barak. Dan hanya berjarak 3 meter dari tepi jalan. Tanpa penghalang apapun. Jadi dari jauh pun pasti keliatan. Meski kabut turun dari atas bukit, dari jarak 100 meter pun pickup tersebut bisa terlihat kasat mata. Sudah jelas pick up itu tak ada di tempat biasanya! 


Saya coba membuka kaca helm. Khawatir kaca kotor dan menutup jarak pandang. Rupanya memang tidak jualan? Meski kaca sudah kuangkat dari menutup wajah, dan pandangan keliling sekitar, tetap saja tak tampak apapun. Jangankan pickup, batang hidung penjualnya pun tak kelihatan. Biasanya si suami sudah sibuk menggoreng mendoan. Dan isterinya menata daun pisang untuk pincuk. 


Sekali lagi saya lemas. Agak lama Revo saya pinggirkan. Tapi nihil yang didapatkan. 


Disini saya akui ketangguhan istri saya. Saya puji-puji dalam hati kesabarannya. Dia menyalakan kontak Revo. Dan juga starternya sehingga mesin mengeluarkan suara nyala yang sangat halus. Maklum, Revo ini mahal biaya perawatannya.


Bila memandang saya tak juga bergeming, istri saya berkata, "Sudah. Ayo kita lanjutkan perjalanan. Sebentar lagi kita tiba di Sumowono."


Harapan kembali menyala. Mungkin dengan kecepatan 20 km/jam saja pasti tiba di Sumowono. Tidak muluk-muluk. Tak harus berbentuk nasi pengisi perut. Sekadar teh tawar panas pun cukuplah. Sekadar menghangatkan tenggorokan dan perut. Terlebih-lebih hampir seluruh tubuh menggigil kecil. Suhu mungkin telah capai 25 derajat. Sudah agak terang juga. 


Istri saya naik ke jok belakang Revo. Saya bergegas menarik pelan kabel gas. Dan benar. Tak sampai 10 menit, belokan Pasar Sumowono telah nampak. Saya menyusuri jalanan seputar pasar dengan perlahan saja.


Busyet. Nasi padang tutup. Ramesan tutup. Jaisan tutup. Lapak kuluban tutup. Bakso solo tutup. Mie ayam tutup. Rocket chicken juga tutup. Masih ada harapan terakhir: warung lumayan. Letaknya persis depan pasar. Biasa untuk jujugan pelintas kota yang lewat. Dan tutup! 


Mungkin hari Jum'at ini benar-benar ujian untuk kami. Ujian kesabaran! 


"Kita terus saja ya. Seketemunya di jalan ya berhenti. Terpenting sesuatu yang panas!" ujar saya pelan. 


Saya tidak meminggirkan Revo. Terlebih sampai harus menghentikannya. Sembari melirik spion kiri dan kanan. Istri saya tampak diam. Pandangannya macam kosong. Tapi tangannya terasa pegang erat-erat jaket saya. Saya benahi jaket agar terasa lebih longgar. Dan memudahkan pegangan istri saya. Juga agar telapak tangannya tidak dihantam angin dingin dari depan. 


Dari Sumowono Revo saya gas agak kencang. Sudah tak ada lagi harapan sarapan secepatnya selepas ini. Yang ada hanyalah jalanan sempit. Diselingi turunan panjang dan curam. Dari arah Sumowono, hampir tak ada tanjakan terjal selepas ini. 


Entah berapa ratus tikungan. Juga jurang yang tampak di bawah pegunungan Ungaran. Hamparan semak, ilalang, dan hutan kopi. Juga sedikit teh dan cengkeh. Ada juga kebun milik tetangga. Tampak lebih hijau dan segar di mata.


Para lelaki lelaki dewasa telah keluar rumah. Tangan mereka memegang sabit atau parang panjang. Pundak mereka memikul cangkul. Berangkat ke hutan atau tegalan. Di sepanjang jalan, para perempuan telah meramaikan halaman rumah. Rambutnya masih tampak basah. Betapa tangguh mereka! Sudah mandi keramas sepagi ini. Dengan suhu dingin yang angkanya menekan daya tahan tubuh orang kota macam saya. 


Kami segera tiba di pertigaan Kaloran. Tepat di depan kantor kecamatan. Sebatang beringin tua berdiri kokoh. Macam tak goyang dihantam zaman. Revo berbelok arah dan ambil belokan sebelah kiri. 


Pangkalan ojek masih sepi. Toko besi masih tutup rapat. Hampir semua toko dan warung belum dibuka pemiliknya. Biasanya kami lewat sini sudah ramai jam segini. Mungkin karena hari Jum'at. 


Ada kios kecil yang masih buka! Kios pulsa! Mungkin mereka buka 24 jam. Melayani penduduk yang tinggal di pelosok desa. Khawatir ada yang kehabisan pulsa. Sementara hiburan mereka satu-satunya ialah main whatsapp dan facebook saja. 


Kios itu terang-benderang. Di ruang lapaknya, juga sampai halamannya. Bahkan hingga tepat pinggir jalan dipasang lampu 24 watt. Sangat menyala! 


Dan dari pantulan cahaya lampu di halaman kios pulsa, tampaklah ada setitik harapan! Entah menjual apa saja! Kami akan berhenti, membeli dan memaksanya berjualan air panas! 


Dengan yakin saya belokkan motor ke lorong. Gerobak kecil itu tepat di sudut gerbang lorong. Tapi masih ada celah untuk lewat motor. Saya standarkan Revo. Lepas helm dan jaket. Tas selempang saya letakkan di tepian meja mungil di belakang gerobak. Sepasang anak muda buru-buru bangkit dari bangku. Mungkin mereka sudah lama pacaran di situ. Hanya ada satu mangkuk kecil bekas bubur sumsum. Mungkin dimakan berdua! 


Saya menjatuhkan pantat ke bangku kayu. Lumayan luas jadi alas. Sangat nyaman di pantat. Punggung dan kepala saya sandarkan ke dinding ruko. 


"Hanya sedia bubur-buburan. Sumsum, mutiara, salak ketan, bubur ganepo... " istri saya mendekat. Belum lepas jaket, tas dan helmnya! Dia siaga dan gesit! Demi melihat saya masih diam, dia melanjutkan, "Ada pecel kenikir, kecipir, dan kembang turi... " Wajah saya rasanya berubah lebih cerah! 


"Tapi pakai geblek... " tambah istri saya. 


Saya mengernyitkan dahi. "Apa itu?"  

Saya penasaran, "Lontong? Itu yang dipotong kecil-kecil kotak-kotak warna putih?"


"Mirip lontong tapi bukan lontong. Mirip irisan kupat tapi bukan kupat. Macam gemblung tapi bukan gemblung! "


Sebab tak paham benar, saya anggukkan kepala saja. Pikir saya, asalkan halal dan masih bisa dicerna dalam perut, ya sikat saja. Terlebih masih ada harapan tambahan cita rasa sambal pecel! 


Pecel geblek sudah jadi. Menutupi kenikir, kecipir dan kembang turi. Pola pecelnya tidak umum. Biasanya nasi atau lontong di dasarnya, dan ditimbun beragam dedauan atau bebungaan plus guyuran sambal pecel. Tapi ini kebalik. 


Alhamdulillah. Wasyukurillah. 'Ala nikmatillah... 


Pecel geblek ini uwenak.. Alias enak banget.. Atawa enak sekali! Geblek nya tidak tawar. Berasa ada sesuatu? Mungkin mirip gemblong? Sedikit asin atau cenderung gurih. Tapi tidak menyuar. Pas di ujung lidah. Tingkat kekenyalan juga lebih rendah. Tidak serupa gemblong yang sungguh liat. Sambal pecelnya juga lebih lembut. Tekstur kacang tanah tidak terasa. Tapi jelas rasa kacangnya menghantam! Ada sedikit pedas menyeruak di sela rasa kacang yang pekat. Pedas lombok yang khas. Pasti dipanen langsung dari tegalan dataran tinggi. 


Sayang sekali saya tidak mengambil gambar pecel geblek. Ini kecelakaan kecil yang agak merusak keindahan pagi di depan pasar Kaloran, Temanggung. 


Brangsong, Juni 2022

Comments