MUHAMMAD THOBRONI | SAMPAH, TEMPAT SAMPAH, DAN TEMPAT PEMBUANGAN SAMPAH | KOLOM | AMBAU.ID | ZONA LITERASI


Oleh Muhammad Thobroni

(Penjaga Kandang Kelinci dan Pecinta Kebun) 


Banyak sekali yang diadakan oleh manusia di muka bumi. Sebagian yang diwujudkan itu memang penting. Sebagian tidak penting. Ada yang diperlukan. Ada pula yang tidak diperlukan. Sebagian memang kebutuhan. Sebagian lagi tidaklah benar-benar kebutuhan. 


Sebagian hal tidak penting, dan juga tidak dibutuhkan manusia, akhirnya dijadikan sampah. Yang menjadikannya sampah ialah dirinya sendiri. Juga mungkin tubuh dan jiwanya sendiri sebagai manusia. Dia merasa sesuatu tidak penting dan mungkin juga tidak dibutuhkannya. Tapi telanjur diwujudkannya. 


Ada pula sesuatu dijadikan sampah oleh orang terdekat. Di rumah, bisa saja sesuatu dijadikan sampah oleh suami, istri, ayah, ibu, anak, kakek, nenek, paman, bibi, atau sepupu. Bisa juga sesuatu disampahkan oleh anak angkat, anak pungut dan anak tiri. Bisa juga oleh anak asuh.


Kadang sesuatu berubah "status" jadi sampah dilakukan oleh tetangga, RT, RW, lurah, camat, bupati, gubernur, bahkan raja. Mungkin saja dan sangat terbuka peluang sesuatu jadi sampah oleh tangan dingin dan mulut licin agamawan, motivator, bisnismen, makelar, tokoh publik, atau rupa-rupa lainnya. 


Sebagian sampah itu jelas ada manfaatnya. Meski sampah, dia tetaplah makhluk Tuhan yang ada hikmahnya. 


Sesuatu yang organik mungkin distigma sampah. Orang menjadi jijik terhadapnya. Tapi ditangan ahli, sampah organik mwnjadi bernilai dan berharga. Begitupun sampah anorganik. Sebagian orang menstereotipenya sumber masalah. Tapi sebagian lain melihatnya emas berlian. Plastik, besi, barang bekas, dan sebagainya telah mengubah tidak sedikit orang jadi kaya-raya. Bahkan lebih kaya tinimbang mereka yang meremehkan barang rongsokan nya. Di antara mereka yang jeli melihat sampah anorganik sebagai sumber saldo ATM ialah para pemulung. 


Dulu-dulu, sampah tidak menjadi sumber masalah. Kakek nenek kita sedari zaman baheula, punya mekanisme dan SOP sederhana membereskan masalah sampah.


Mereka cukup menyapu dedaunan. Memungut rerantingan. Dan potongan dedahanan. Serta mengangkat bebatangan. Lantas mengumpulkannya di sebuah sudut atau titik di halaman depan atau kebun belakang. Cukup dikeringkan sebentar sembari menikmati terik matahari atau menghitung musim kemarau yang tak kunjung pergi. Lalu membakarnya penuh khusyu sembari membayangkan diri membakar dosa-dosa. 


Tak  ada rasa takut percikan api mengenai dinding kayu jati. Atau bara terbang terbawa angin lantas hinggap di keraj kandang. Karena itulah mereka berani dan nekat membakar sampah dekat rumah. Bahkan sejarak kurang dari semeter pembakaran sampah dengan tiang rumah kayu. Mereka tidak melihat ada masalah. Setidaknya "masalah"  tersebut mungkin jauh dari kategori sesuatu yang layak disebut masalah. 


Nasib berubah kala musim hujan tiba. Dan perginya tak kenal prakiraan masa dan cuaca. Hujan sepanjang tahun adalah anugerah sekaligus musibah. Apakah kakek nenek menganggapnya masalah? Tidak. Sampah yang membusuk itu lama kelamaan jadi humus. Entah kenapa orang zaman dulu punya ide dijadikan pupuk alam. Mungkin mereka lihat sekilas banyak kecambah tumbuh dari bebijian di timbunan bekas sampah busuk. Lantas bertunas. Dan tumbuh subur seiring musim hujan yang panjang. 


Tapi sesuatu yang disebut dan dianggap sampah benar-benar terjadi di zaman sekarang. Saya macam tidak melihat kekuatan dan keperkasaan manusia zaman now menghadapi sampah. 


Di rumah-rumah, orang pilih hidup simpel. Sampah dimasukkan tong atau kaleng bekas cat. Atau dibungkus dengan sekian kantung plastik. Diletakkan dekat gerbang. Atau dibuatkan gantungan di pagar besi. Lantas secara rutin dan terjadwal, para petugas sampah dengan mobil dinas datang menjemput "rombongan sampah".


Karena itu tiap rumah sebaiknya dan harus punya tempat sampah. Begitupun sekolah, masjid, mushola, perpustakaan, kantor, gardu, toko, mall, swalayan, ruang mesin ATM, dan sebagainya. Jangan lupa warung, kafe,  restoran, warkop, pasar, tempat wisata, dan sebagainya juga dilengkapi tempat sampah. 


Sampah-sampah itu lantas dikumpulkan berdasarkan RT. Dikumpulkan lagi berdasarkan kelurahan. Bahkan dapil alias daerah pemilihan. Dan oleh truk yang lebih besar dibawa ke tempat pembuangan sampah. 


Mendadak sekarang banyak orang bingung dengan sampah. Banyak pemimpin stres memikirkan sampah. Tentu sampah yang dianggap sebagai masalah. Kalau sampah yang berpeluang jadi emas berlian semua orang juga banyak yang berebutan! 


Manusia bertambah banyak. Lahan makin "menyempit". Pemukiman bertambah padat. Tiap RT, RW, Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten, Provinsi dan negara memiliki garis batas wilayah. Sementara mulut dan perut manusia terus menggilas dan mengganas. Menggulung dan menggiling tiada henti. Sampah pun menggunung di pojok kampung, perumahan, pasar, alun-alun, kota, bahkan hutan. 


Onggokan sampah yang tak kunjung didistribusikan dan dilaksanakan redistribusi menjadi polisi kehidupan. Orang-orang marah banyak sampah menjadi gunungan. 


Mereka geram karena sampah dapat menyerang kesehatan tubuh manusia. Baunya mengganggu pernapasan. Ulat dan lalat merusak pemandangan mata. Sampah bukan hanya bahaya untuk orang perorang. Tapi juga kesehatan badan orang di sekitarnya. Anak-anak jadi tidak merdeka belajar. Guru-guru jadi bertambah pusing menyelesaikan berkas administrasi sembari menghirup bau busuk. 


Sampah juga akhirnya merusak emosi dan kesehatan mental. Orang-orang jadi mudah marah. Semacam sumbu pendek. Gampang tersulut. Sebab mata, telinga, hidung, semua tersumpal sampah. Sampah jadi racun intelektual bagi para pemikir. Bagaimana hendak menghasilkan riset brilian bila diganggu sampah? 


Sampah juga dapat memicu pertengkaran suami istri dan anak. Mengganggu keharmonisan rumah tangga. 


Lantas banyak orang coba optimistis. Khususnya jelang musim coblosan. Sampah itu urusan mudah! Tak usah dibikin susah! Ada uang, sains dan teknologi. 


Musim coblosan diketahui berlaku sepanjang waktu. Tapi, uang, sains, dan teknologi macam tak berdaya menghadapi sampah? 


Brangsong, Mei 2022

Comments