HARI BUKU, BUKU NIKAH DAN BUKU TABUNGAN | KOLOM | MUHAMMAD THOBRONI | AMBAU.ID | ZONA LITERASI



Oleh Muhammad Thobroni

(Penjaga Kandang Kelinci dan Pecinta Kebun) 


Hari ini, 17 Mei, diperingati sebagai Hari Buku Nasional. Sementara Hari Buku Internasional diperingati saban 23 Mei. Entah sudah berapa kali berulang perayaan hari buku dilakukan di dunia. Juga dirayakan digegapgempitakan di Indonsia. 


Seperti biasa, saban perayaan "hari besar" apa saja, beragam ekspresi gembira dikeluarkan. Ada yang membagikan kaos tentang buku. Ada yang membuat kartu ucapan selamat. Ada yang berikirim give away. Ada yang lebih heroik dengan membuat poster digital menyeru ini-itu. Dan ada yang sangat dahsyat yakni bertwibboon ria. Orang memasang dan memajang gambar diri dalam bingkai bertema hari buku. 


Tapi ada suara sumbang di tengah perayaan hari buku. Khususnya di Indonesia. Ada yang menyatakan bahwa buku yang telah mampu mengubah secara revolusioner hidup pribadinya ialah buku menikah. Tentu penyataan ini satire belaka. Kalaupun pernyataan verbal belakang, dan tidak butuh tafsir, pun harus diterima lapang dada. Sebab pernyataan seseorang bisa jadi berdasar pengalamannya pribadi. Yang kemungkinan berbeda dengan pengalaman liyan. 


Suara sumbang lain berteriak bahwa buku yang mampu mengubah drastis perjalanan hidupnya ialah buku tabungan. Teriakan sumbang ini barangkali cenderung nyinyir. Tapi andai pun itu benar non tafsir pun perlu diterima pikiran terbuka. Kenyataannya banyak orang di Indonesia lebih butuh buku tabungan daripada buku bacaan. Tentu buku tabungan yang punya saldo. Dan saldonya cukup diambil untuk kebutuhan hidup sehari-hari diri dan keluarganya. Bukan buku tabungan yang ketika didatangi depan mesin ATM berbunyi, "Maaf, saldo Anda tidak mencukupi!"


Hari buku nasional dan internasional dirayakan berarti mengandung semangat kegembiraan. Kegembiraan terkait apa? Semakin banyak buku terbit, misalnya. Tambah banyak buku berkualitas, mencerahkan dan revolusioner, misalnya. 


Kegembiraan bisa saja terkait perkembangan penerbit. Misalnya penerimaan naskah lancar dan tidak over deadline semua. Naskah yang masuk berkualitas dan potensial laris manis. Editor bekerja serius menghadirkan dan mematangkan naskah sehingga enak dibaca dan perlu. Pembaca semakin kaya sudut pandangnya. Menambah wawasan dan tidak seragam semua isi bukunya, mulai topik, judul, sudut pandang, bahkan warna sampulnya. Ini kegembiraan yang luar biasa. Memang harus dirayakan! 


Sumber kegembiraan lain bisa saja terkait nasib penulis. Apalah artinya buku dan dunia perbukuan tanpa penulis. Penulis bisa bergembira misal royalti, honor, atau uang beli naskah putusnya cukup untuk sehari-hari. Sehingga mereka tak lagi banyak berpikir keluarganya nanti siang makan apa. Atau sedang jalan mudik lebaran saja tak mampu belanja tiket. Atau malah justru terlantar di jalanan sendirian sebab mudik sendiri tanpa anak istri dan sialnya kehabisan bekal! Bila sudah membaik kesejahteraan penulis, hari buku sangat layak dirayakan! 


Perayaan hari buku apalagi yang tampak menggembirakan? Daya beli buku masyarakat meningkat, misalnya. Sebaran buku dari perdesaan dan perkotaan. Dari pesisir hingga pedalaman. Tak peduli usia balita atau lansia. Semua pernah baca buku. Minimal pernah lihat sampul buku! Ini sungguh patut dirayakan! 


Mungkin dengan menyaksikan kondisi perbukuan hari ini, banyak orang nyesek tiada henti. Penerbit besar banyak yang kolaps bahkan kukut. Penerbit kecil yang berusaha besar, mengalami "stunting" atau malah mati kekurangan gizi. Bahkan sebagian mati saat dilahirkan. Buku sedang proses terbit tapi penerbit mendadak mati oleh banyak sebab. 


Pajak tinggi terhadap penerbit dan penulis. Memang sebenarnya pajak tinggi tidak masalah. Biaya produksi tinggi bukan persoalan. Ketika jumlah pemasukan lebih besar dari pengeluaran. Penerbit, penulis, distributor, reseller atau resensator masih kuat nongkrong di kafe. Atau ramai-ramai mojok di bawah pohon talok. Sembari pesta makan sate klathak. Setidaknya penulis masih mampu belanja buku bekas sebagai bahan belajar. 


Regulasi perundangan dan lembaga terkait perbukuan juga tambah banyak. Ini juga menjadi kegembiraan yang patut dirayakan. Meski ada juga yang bertanya apa saja yang sudah dikerjakan mereka agar perbukuan Indonesia makin maju dan berkualitas? 


Kehadiran zaman digital belum banyak membantu dunia perbukuan. Baik dalam terapan kebijakan. Atau dalam praktek perbukuan sebagai industri kreatif. Bahkan perbukuan dalam konteks gerakan sosial dan karitatif. Malah tampaknya zaman digital dituduh sebagai sumber bunyi lonceng kematian perbukuan. 


Banyak buku digratiskan. Mudah disebarkan dengan murah dan cepat. Penulis tidak mendapat royalti dan honor. Akhirnya penulis terjun nyambi apa saja. Jadi peternak kelinci atau malah mengisi waktu luang dengan banyak main layangan dan nyumet mercon. Sebagian lagi sanggup prihatin. Dan hidup sebagai penulis ala kadarnya. Mengetatkan ikat pinggang. Dan menutup lubang sebab lebih besar pasak daripada tiang. Tapi bagaimana pun itu semua juga patut dirayakan? 


Buku, penulis dan penerbit masih tetap kuat. Meski mereka harus melatih diri sendiri. Membebaskan diri dari belas kasihan negara. Hari buku tetap layak dirayakan. Meski di tengah musim badai. Begitu pun dengan buku menikah dan buku tabungan. Keduanya tetap layak diperjuangkan. 


Penulis dan penerbit sejahtera adalah dambaan semua. Distributor, agen dan reseller sejahtera adalah harapan semua. Negara dan rakyat mengenal buku juga mimpi semua. 


Tapi bisakah hari buku dipastikan tetap dirayakan sebagai kegembiraan dan kebahagiaan? Dan bukan hari buku yang ditangisi, diratapi atau malah diperingati sebab mati suri. Kematian memang bisa datang kapan saja. Termasuk pada dunia perbukuan. Tapi yang diharapkan adalah kematian yang baik. Menyenangkan, menggembirakan dan membahagiakan. 


Kegembiraan dan kebahagiaan memang tidak datang begitu saja. Semua harus diperjuangkan. Agar musim panen buku segera tiba. Dan layak dirayakan. 


Hari buku tak pantas diratapi. Terlebih harus diletakkan sebagai momen diperingati. Hari yang diperingati hanya pantas untuk sesuatu yang telah pergi dan mati. 


Brangsong, Mei 2022

Comments