Oleh Muhammad Thobroni, tinggal di Kota Tarakan, Kalimantan Utara
Buya Syafi'i Ma'arif 27 Mei 2022 silam. Semacam gerak serentak, media sosial riuh dengan ungkapan duka. Saya beberapa kali ingin pula membuat status duka. Atau flyer ucapan belasungkawa atas kepergiannya. Tapi setiap mengetik huruf, tak lama saya menghapusnya. Saya kerap tak sanggup menahan duka siapapun yang meninggal dunia. Terlebih saya pernah mengalami beberapa perjumpaan dengan yang bersangkutan. Hingga trauma dan kepahitan sungguh terasa.
Begitu pula dengan kepergian Prof. Dr. Syafi'i Ma'arif. Mantan Ketua Umum PP. Muhammadiyah, dosen UNY dan cendekiawan muslim terkemuka di Indonesia.
Entah tahun berapa, lupa tepatnya, saya pernah berjumpa Buya Syafi'i, begitu khalayak memanggilnya. Lewat cara yang tak disengaja.
Kala masih remaja saya kerap silaturahim ke rumah Mbah Dauzan Faruq di Kauman, Yogyakarta. Di rumah tuanya itu, Mbah Dauzan mendirikan dan mengelola sendiri program Majalah dan Buku Bergilir. Disingkatnya sebagai Mabulir. Mbah Dauzan membeli atau mencari buku dan majalah dari mana saja. Lantas dilabeli dengan identitas Mabulir. Dan diberikan kata-kata mutiara untuk memberi semangat pembaca. Mbah Dauzan juga menyampulinya.
Saya kerap diajak Mbah Dauzan keliling. Kadang mengedarkan bacaan Mabulir ke mushola, masjid, bahkan komunitas apa saja. Kerap pula beliau mengajak berkunjung ke penerbit atau penerbitan. Lokasi kunjungan itu kadang ditentukan beliau sendiri. Atau sudah punya data kenalan untuk menemuinya. Tak jarang Mbah Dauzan bertanya apakah ada kenalan penerbit atau penerbitan yang dapat dikunjungi.
Atas usulan saya, Mbah Dauzan pernah saya temani ke kantor majalah kuntum. Mungkin ini agak mengherankan. Beliau sesepuh yang tinggal di Kauman. Tapi tidak memiliki akses ke penerbitan Kuntum, majalah terbitan PP IRM. Kebetulan saya sering mengirimkan tulisan ke majalah tersebut. Dan juga berkunjung untuk berdiskusi, tepatnya menimba ilmu kepada salah satu redakturnya yakni Mas Sutris. Di kantor Kuntum saya mengenalkan Mbah Dauzan. Dan meminta Sutris memberikan beberapa eksemplar majalah Kuntum edisi lama yang masih tersisa.
Saya juga pernah mendampingi Mbah Dauzan ke sebuah penerbit. Lupa namanya. Dulu kantornya di dekat Jalan Kusumanegara. Sebuah penerbit besar menurut saya. Saya mengenal seorang pegawai di sana. Sebab pernah mengambil hadiah buku. Buku itu diberikan selepas saya meresensi buku terbitan penerbit besar tersebut. Resensi dimuat koran besar dengan menggunakan nama seorang senior asrama. Saya kurang percaya diri dengan usia yang masih sangat belia.
Giliran Mbah Dauzan mengajak saya ke kantor Suara Muhammadiyah di Jalan Ahmad Dahlan, Yogyakarta. Di sana, rupanya beliau mengadakan janji temu dengan seseorang. Karena saat berjumpa, orang tersebut telah menunggu. Dan langsung berdiri begitu tiba.
"Anda masih muda sekali. Harus banyak membaca ya. Bagus sekali Anda bersama beliau mencari dan mengedarkan bacaan, " Ujar tuan rumah yang menyambut kami. Telapak tangannya diarahkan ke mBah Dauzan. "Tapi Anda sendiri harus rajin membaca, ya!" pesan tambahan rupanya masih ada. Saya tersenyum dan mengangguk. Senang sekali mendapat wejangan menarik. Mesk belum mengenalnya. Sama sekali.
Selepas pamit, saya membantu Mbah Dauzan membawa beberapa eksemplar majalah Suara Muhammadiyah dan buku-buku. Sambil mendorong sepeda kami yang boncengannya penuh bacaaan, mbah Dauzan bersuara, "Beliau Pak Syafii Ma'arif." Saya hanya mengiyakan Mbah Dauzan. Saat itu saya tidak bertanya lanjut.
Rupanya sosok yang menyambut kami itu tokoh. Sebab saya menemukan namanya muncul menulis artikel kolom di media cetak. Juga beberapa kali mengikuti acara di seputaran kampus UGM. Saya belum kuliah tapi kerap diajak senior ke acara di kampus. Juga berkunjung ke kios koran di pojok bunderan UGM. Hingga saya berkesempatan membaca tulisan Buya Syafii.
Sudah agak lama saya di bangku kuliah. Dengan pengalaman akademik dan nonakademik yang beragam.
Saya telah mengetahui bahwa Buya Syafi'i mengajar di jurusan sejarah di kampus saya Universitas Negeri Yogyakarta .Dulunya IKIP Yogyakarta. Dari cerita kawan dan senior di kampus, cara mengajar kuliahnya menarik. Dan asyik. Saya pun menyusup ikut kuliah di kelasnya. Tak peduli mata kuliah apa. Tapi yang kuliah banyak sekali. Pasti dosen idola, pikir saya. Saya diam sepanjang waktu di antara deretan bangku duduk mahasiswa yang terkesima dengan gaya dan materi yang diajarkannya. Buya Syafi'i memulai kuliah dengan menunjukkan sebuah buku novel. Dan menceritakanya kepada mahasiswa.
Hingga kelas bubar, saya tidak pula mengenalkan diri ulang. Bahwa saya pernah sowan beliau bersama Mbah Dauzan di kantor Suara Muhammadiyah. Alasan tidak mengenalkan diri tentu saja takut ketahuan saya bukanlah mahasiswa resmi di kelasnya.
Tapi, saya suka dan terkesan dengan gaya mengajarnya. Egaliter. Membuka tanya. Dan ada ruang diskusi. Bahkan cenderung perdebatan dengan mahasiswa.
Perjumpaan lain saya dapatkan dalam sebuah kesempatan yang tiba-tiba. Seorang senior kampus yang sedang studi di luar negeri, mendadak telpon. "Aku di Indonesia. Janjian dengan Prof Syafi'i Ma'arif di rumahnya! Ayo ikut. Kita naik taksi saja! " Ujar senior tersebut.
Tanpa ba-bi-bu dan basa-basi, saya mengiyakannya untuk ikut serta.
Kami numpang taksi yang melaju ke rumah Buya Syafi'i. Malam telah lepas isya. Kami tiba di depan rumah beliau yang sudah dibuka pintunya. Dan lampu yang terang benderang. Menunjukkan beliau sudah menunggu.
Bu Syafii sedang menyuguhkan teh panas. Ketika terdengar suara teng teng di luar rumah. Komplek Perumahan Nogotirto macam berubah hiruk-pikuk. Semerbak harum bumbu menyeruak ke ruang tamu.
"Kita makan dulu ya. Ada mie nyemek di depan. Sudah saya pesankan, " ujar beliau lekas.
Saya hanya diam. Ketika senior saya agak setengah memaksa mau menerima tawaran mie nyemek itu. Senior saya itu memang lincah komunikasi. Langsung saja disambut tawaran mie nyemek. Buya syafii sambil terkekeh bilang, "Ini legenda!" Beliau berdiri ke depan pintu mana gerobag mie nyemek di dekatkan. Tak lama mie nyemek disuguhkan. Dan saya menyaksikan Buya Syafi'i berbincang hal ringan dengan senior saya.
Saya lebih banyak diam sepanjang keduanya berbincang. Menyimak saja. Saya juga tidak mengenalkan diri lebih jauh selain nama. Tidak juga mengenalkan ulang ke beliau bahwa saya beberapa kali berjumpa beliau dan mengikuti kegiatan beliau di kelas atau luar kelas.
Bahkan saya juga tetap diam lebih banyak saat senior saya melakukan wawancara resmi. Saya menyimak saja bincang serius keduanya.
"Beragama harus kuat secara ritual. Tapi juga harus rasional. Harus banyak membaca. Agar wawasan bertambah luas. Dan memperkaya sudut pandang," ujar Buya Syafi'i kepada saya. Senior saya sedang sibuk dan fokus membuat dan merapikan beberapa catatannya. Saya mengucapkan terimakasih kepada Buya.
Kami berdua diajak masuk ke perpustakaan pribadinya. Buya mengambil bbberapa buku untuk ditunjukkan senior saya. Mungkin sebagai bahan bacaan tambahan untuk proyek yang sedang dikerjakan. Buya juga menunjukkan medali. Entah penghargaan apa dari luar negeri. Posisi saya agak jauh di pojok perpustakaan. Saya berdiri menghadap rak bukunya yang penuh bacaan dan penghargaan.
"Tumpukan buku hanya akan menjadi museum tidak memberi manfaat lebih. Kecuali kita membacanya untuk menambah wawasan. Dan memperkaya khazanah keilmuan. Anda masih muda. Harus rajin membaca dan menulis. Agar ada diskusi dengan orang banyak lewat tulisan, " seru beliau dari jauh. Beliau masih sibuk melayani perbincangan dengan senior saya. Dan rupanya Buya Syafi'i diam-diam memperhatikan sikap saya.
Sekian perjumpaan yang pendek waktunya. Namun begitu banyak kesan dan wasiatnya. Lebih terasa berat bagi saya sekarang. Selepas beliau wafat. Dan saya teringat kembali nasihat-nasihatnya.
Beliau adalah guru. Sebenar-benarnya guru. Sesejati-sejatinya guru.
Saya baru merasa sekarang, inspirasi Buya lewat lisan, tulisan dan amalan. Terutama selepas saya sadar banyak hal saya lakukan sekarang berkat warisan inspirasi yang Buya berikan. Mencintai buku. Menyebarkan buku dan mengajak orang mencintai buku. Menulis buku dan membagi ilmu.
Terimakasih, Buya.
31 Mei 2022
Comments
Post a Comment