PESANTREN, KUBURAN DAN HEALING PENYAIR | MUHAMMAD THOBRONI | KOLOM | AMBAU.ID | ZONA LITERASI | BINHAD NURROHMAT| JOMBANG



Oleh Muhammad Thobroni

(Penjaga Kandang Kelinci dan Pecinta Kebun) 


Pesantren merupakan sebuah model pendidikan khas Indonesia. Di dalam pesantren kyai dan bunyai mengajarkan ilmu. Dengan dibantu para ustadz seiring bertambah santri. Sehingga di pesantren juga ada kitab sebagai pegangan pembelajaran dan sumber ilmu. Namun pesantren tidak melulu mengajarkan ilmu secara teoritik. 


Di pesantren, para warga juga coba mengamalkan ilmu dalam bentuk amal dan laku. Mereka menjalani ajaran agama Islam bersumber kitab suci dan sunnah Nabi. Kyai sebagai pusat panutan para santri dalam menjalani amalan hidup sehar-baik. Terutama dalam hal ibadah maghdah dan akhlak sehari-hari. Mereka ingin menjadikan pesantren sebagai model ideal penerapan gaya hidup nabi beserta para sahabatnya. Yang diteruskan para ulama beserta para murid selepasnya. Tradisi diwariskan dari generasi ke generasi untuk menekan potensi pergeseran dan perubahan nilai. 


Itu menjadikan pesantren sebagai komunitas yang eksklusif. Setidaknya bagi pandangan mereka yang berada di luar pesantren. Meski warga pesantren sendiri tidak berniat demikian. Mereka hanya ingin mengamalkan laku hidup sesuai ajaran agama dan contoh ideal utusan Tuhan dan para sahabat. Sisi lain, mereka menjaga diri dari terbukanya ruang terlalu lebar untuk berinteraksi dengan masyarakat di luar pesantren. 


Kehidupan di luar pesantren menjadi sumber masalah serius bagi proses pembelajaran santri dan pengamalan ajaran agama sehari-hari. Kyai memastikan ada pembatasan interaksi dengan dunia luar pesantren. Sebab di luar pesantren terdapat panggung musik, pementasan tari, tayangan fllm, dan hal lain yang diyakini dapat melalaikan santri dari proses belajar. Perempuan berpakaian tidak lengkap menutup aurat juga dianggap dapat mengancam potensi masuknya dosa lewat jalur pandangan mata. Bahkan diamini dapat menodai kesucian hati. Hal semacam itu juga kabarnya dianggap dapat mengganggu konsentrasi santri yang sedang fokus hafalan kitab suci Al-Quran dan hadits Nabi. 


Anggapan dan pandangan luar seperti itu mempengaruhi terbentuknya pandangan dalam dari warga pesantren. Begitu juga sebaliknya. Apa yang terjadi dalam kehidupan dalam pesantren juga mempengaruhi penilaian mereka yang berada di luar pesantren. Hubungan luar dan dalam lantas menjadi sangat dinamis bahkan cenderung kompleks.


Masyarakat luar pesantren beranggapan warga yang hidup dalam pesantren ialah "kelompok orang suci". Sebaliknya mereka yang tinggal dalam pesantren berusaha keras menjaga dan mempertahankan praktek kehidupan dan budaya agama se ideal mungkin. Terlebih ada tuntutan bahwa sebagai warga pesantren yang "dikenal suci" perlu mendakwahkan nilai dan ajaran yang mereka yakini. Juga sekaligus keinginan memberi teladan dan role model bagi masyarakat luar pesantren. 


Menilik pola kehidupan dan praktik kebudayaan di pesantren semacam itu kemungkinan dapat membuat banyak orang berprasangka. Bahwa kehidupan di pesantren sangat kaku bahkan "angker". Apa-apa dilarang. Tidak dibolehkan. Kebebasan hilang. Kemerdekaan dan kemanusiaan menjadi barang yang harus diperjuangkan. 


Banyak orang kemudian coba mencairkan situasi terkait kebudayaan dalam dan luar pesantren. Salah satunya dicetuskan Gus Dur (GD), santri dan anak Kyai yang lama tinggal bersama keluarga modern Muhammadiyah di Yogyakarta. GD juga belajar di sekolah modern dan formal di Yogyakarta. Menurut GD, pesantren ialah subkultur. Pandangan semacam ini coba menetralisir hubungan luar dan dalam yang kaku dan cenderung mengeras. Dengan pandangan tersebut, kehidupan pesantren tidak dipisahkan secara dikotomis dengan non pesantren. Kebudayaan pesantren tidak terpisah dan berhadapan vis a vis dengan kebudayaan luar pesantren. Kebudayaan pesantren "menjadi bagian penting" Kebudayaan umumnya meski memiliki ciri dan pola yang unik dalam praktiknya. 


Bagaimana seorang penyair tinggal dalam kehidupan pesantren? Tidak mudah menjelaskan situasi rumit ini. Meski kadang seolah ditampakkan mudah dan remeh. 


Bagi orang luar pesantren, penyair masih dipandang sebagian orang sebagai "sosok unik" bahkan "cenderung aneh". Hidupnya "di atas angin". Rambutnya gondrong tidak terawat. Pakaian seadanya menempel di tubuh. Dan bau badan yang kurang sedap sebab waktunya dihabiskan untuk fokus merenung, berimajinasi dan menulis puisi. Bila ada waktu longgar mereka manfaatkan untuk berteriak-teriak sendirian di hutan atau kebun untuk berdeklamasi dan membaca puisi.


Gambaran paling sederhana dan mudah dari kondisi penyair dalam pandangan sebagian orang ialah tokoh Aria Dwipangga dalam film serial Tutur Tinular. Bahkan dalam bentuk drama radio pun orang telah dapat menyimpulkan. Bahwa penyair itu "orang yang suka berteriak sendiri dengan gaya bicara dipenuhi nada dan irama, suka berbicara penuh bunga bahkan cenderung berbusa-busa, dan juga gemar mengelabui wanita". Ini masih lumayan, kadang masih ada anggapan serupa orang dengan gejala sakit jiwa alias "gila". Dilihat dari penampilan fisik dan gaya kelakuannya.


Sementara sisi lain, dalam lingkungan pesantren penyair juga dianggap sebagai seniman. Seni bagian sebagian orang pesantren, dan juga para agamawan umumnya, masih dipandang secara "terpisah dengan agama". Seni ialah kebudayaan yang sekuler. Bohemian. Hura-hura. Bahkan kadang dicap liberal. Dan juga atheis. Meski makna atas istilah tersebut adalah hal yang berbeda-beda. Dan secara filosofis tidak mungkin menyatu seharusnya. Tentu saja, Seni yang dimaksud di sini bukanlah seni dalam konteks "kesenian Islam". 


Dapat dibayangkan betapa beratnya menjadi seorang penyair yang hidup di dalam pesantren. Bagi seorang penyair yang lahir dan besar di pesantren sedangkan jiwa dan imajinasinya ingin ekspresi Seni dan puisi ke luar pesantren. Terlebih juga untuk penyair yang hadir dari luar pesantren dan memasuki kehidupan dalam pesantren. Butuh energi besar untuk proses "penyatuan". 


Penyair tidak mungkin bertahan secara kaffah. Tidak mungkin pula menyerah kalah. Penyair dalam situasi tersebut bukan hanya dituntut adaptasi. Tapi juga butuh kekuatan melakukan negosiasi budaya. Butuh kemampuan dialog kebudayaan. Dengan lingkungan sekitar. Dan terutama dengan dirinya sendiri. Tidak mudah dilakukan. Kecuali oleh mereka yang sudah lihai. Sudah makrifat secara spiritual. Dan makrifat secara estetik.


Butuh "siasat kebudayaan" yang tepat agar penyair dapat "bertahan hidup". Terutama adalah dapat berterima dengan kehidupan pesantren. Dan juga berterima dalam lingkungan luar pesantren. Di pesantren, mungkin, penyair lebih pilih suntuk di kamar sembari baca buku atau kitab. Kamar menjadi ruang yang privat dan aman. Penyair masih terlihat melakukan amal sholih. Sekaligus mengurangi potensi munculnya anggapan su'ul adab. Sebab tidak mungkin penyair laki-laki mendadak masuk kompleks asrama putri tanpa alasan jelas. Atau serta-merta penyair perempuan nimbrung majelis para Kyai yang sedang asyik bermusyawarah. 


Jalan lain yang aman dilakukan ialah khusyu di kandang. Dan berdialog dengan ingonan semacam burung. Layaknya dilakukan salah satu nabi yang diimani yakni Nabi Sulaiman yang pintar dialog dengan banyak binatang. Bercengkrama dengan binatang juga menyegarkan pandangan dan pikiran. 


Tapi mungkin justeru dengan lingkungan semacam itu jiwa penyair bergejolak. Menggelegak bagai magma siap meledak. Tubuh bisa dipenjara tapi pikiran tidak. Jasad bisa dikerangkeng tapi imajinasi tidak. Penyair butuh healing untuk keluar dari cengkeraman keterkekangan. Tapi apa yang harus dilakukan penyair untuk healing? Ke mana dan di mana seorang penyair dapat healing secara aman menurut aqidah dan akhlaq pesantren sekaligus memberi support kreatif bagi bertumbuhnya imajinasi kreatif? Membaca buku puisi Binhad Nurohmat berjudul Nisan Annemarie dapat ditemukan jawabannya: kuburan. Buku Nisan Annemarie diterbitkan tahun 2020 oleh Penerbit Divapres di Yogyakarta. 


Ke dan di kuburan ialah jalan healing bagi Binhad. Paling aman dan nyaman. Aqidah dan akhlaq terjaga. Bahkan semakin kuat dan kokoh. Sebab mendatangi kuburan ialah sebuah cara untuk selalu ingat kematian. Seseorang menyadari jalan hidup manusia bakal singgah di tempat ini. 


Nisan Annemarie memuat puluhan judul puisi yang eksplisit nenyebut diksi "kuburan", "nisan" dan "nama orang yang telah mati". Secara implisit hampir semua puisi di dalamnya menyuarkan hawa maut. Aroma kematian begitu kuat. Tapi bukan kematian yang ditakutkan! 


Justru lewat puisi-puisi dalam Nisan Annemarie manusia diketuk untuk menyambut kematian dengan riang gembira. Tapi khusyu dan sakral. 


Pergi dan singgah di kuburan adalah juga upaya penyegaran. Lahir dan batin. Badan dan jiwa. Dengan jalan-jalan atau begadang di kuburan. Dengan merenung dan mengenang. Tentang sejarah yang silam dan akan datang. Tentang tulang-belulang dan rangka tubuh yang belum hilang. 


Banyak tokoh telah pergi. Tapi mereka hidup kembali dalam puisi. Binhad "menghidupkan" mereka. Dari jasadnya di bawah gundukan tanah. Dan jiwanya diangkat ke dalam kata. Sebagian mereka menjadi kisah bahagia dan tawa. Sebagian jadi kisah sedih. Bahkan ironi. 


Ya, memang semacam itulah jalan puisi. Jalan penyair dalam mencari jalan pulang dan pergi. 


Brangsong, Mei 2022

Comments