IQBAL, ABAHNYA DAN SEJARAH YANG DITULISNYA



Oleh Muhammad Thobroni

(Penjaga Kandang Kelinci dan Pecinta Kebun) 


Setiap anak yang lahir ke dunia dianugerahi keunikan. Unik secara pribadional. Individual. Dan personal. Tapi, anak juga sekaligus mendapatkan nikmat lingkungan sosial yang khas. Tidak semua hal dari nikmat tersebut berpengaruh langsung terhadap tumbuhkembang seseorang. Meski secara teori dapat diterima ada hal yang turut serta mengkontruksi perkembangan hidupnya. 


Iqbal ialah contoh baik di antara anak-anak Indonesia. Dia ciptaan Tuhan yang unik. Makhluk Tuhan yang istimewa. Setiap anak di dunia pasti mendapatkan cerita pada masa kecilnya. Entah lewat ayah, ibu, kakek, nenek, paman, bibi, guru, tetangga atau "pacar masa kecilnya". Tapi, tidak semua yang mendapatkan cerita tersebut lantas dijadikan bahan belajar sejarah. Dan menuliskannya dalam ratusan tulisan. Dan diterbitkan dalam bentuk buku.


Kecuali Iqbal. 


Saya dikirim dua judul buku karya Muhammad Iqbal, nama lengkapnya. Sebuah buku berjudul Menyulut Api di Padang Ilalang. Dan sebuah lagi berjudul Bermula dari Cerita Abah. Keduanya diterbitkan pada tahun 2022 oleh penerbit Pojok Cerpen dan Tanda Baca dari Yogyakarta. Buku Menyulut Api di Padang Ilalang merupakan metamorfosis skripsinya. Dan Bermula dari Cerita Abah yang dikurasi dari ratusan esainya yang berserakan saking banyaknya. 


Buku Menyulut Api di Padang Ilalang belum menarik perhatian. Sebab terlalu teoretis dan cenderung akademik. Sementara saya hari-hari ini agak enggan berpikir. Saya ingin beristirahat sejak. Terlebih dari membaca hal-hal yang "lumayan serius". Saya sungguh trauma dengan banyaknya "orang muda yang mati mendadak". Ya, memang, "kebanyakan mikir" tidaklah menjadi satu-satunya akar masalah kematian mereka. Terlebih bukunya bicara tentang sejarah. Pelajaran yang dari dulu sungguh menghantui. Kadang saya heran mengapa banyak teman gandrung dengan sejarah. Apakah mereka candu romantisme? 


Saya tertarik dengan buku Bermula dari Cerita Abah. Tapi, rupanya saya salah sangka. Saya hanya tahan membaca buku ini pada bagian pengantar penerbit dan penulisnya. Dan langsung menuju tulisan berjudul Bermula dari Cerita Abah. Judul sebuah esainya yang juga dijadikan judul buku. Lagi-lagi saya terjebak. Di sinilah Iqbal berhasil mempernainkan saya sebagai pembaca. 


Sepanjang tulisan itu Iqbal lancar menjelaskan sejarah politik, keislaman dan keindonesiaan. Hanya sedikit yang "berkisah" dan "bercerita". Yakni pada bagian ayahnya Iqbal yang harus lari ke sawah, ngumpet ke bawah kolong, atau memperalat istri untuk menemui tamu. Dan menolak permintaan mereka! Ya, semua ini memang bukan cerita dongeng belaka. Semacam asal-usul nama sebuah kota. Atau legenda yang diciptakan untuk kebutuhan glorifikasi. 


Ini cerita siasat politik. Yang muncul dalam situasi politik. Yang seluruh sendi kehidupan masyarakatnya dikendalikan politik. Politik dijadikan panglima. Meski kepentingan dan kebutuhannya bisa untuk apa saja. Sebagian di antara mereka memilih "berpolitik tapi tidak berpolitik". Sebagian lagi memilih "tidak berpolitik tapi berpolitik". Keduanya bukan ambigu politik. Atau politik "mencari aman". Bukan. Sama sekali bukan. 


Situasi dan kondisi macam mana yang menyebabkan seorang bocah mengenang peristiwa-peristiwa kecil dari masa kanak-kanaknya? Bahkan selepas dia merantau jauh keluar kampung dan pulaunya. Berkelana hinggap dari satu "pelajaran sejarah" satu ke pelajaran sejarah lainnya? Menyambungkan sanad ilmiah dan sanad amaliah ke beragam guru dan ahli? Bahkan selepas dia punya kekasih, tapi peristiwa-peristiwa masa kecil masih terus menghantui? Menjadi bahan diskusi dan refleksi. 


Pastilah dia seorang yang istimewa. Punya kekuatan mengolah problem psikologis dan sosiologisnya menjadi pergulatan intelektual yang dahsyat. Juga pergolakan spiritual yang pekat. Bolak-balik dalam pertarungan budaya pemikiran yang kompleks bahkan cenderung ekstrim. 


Tradisional dan modernitas tidak mendorongnya ke alam pikir dikotomis. Kebudayaan pesisir dan pedalaman yang berperang dalam diri tidak mencetaknya menjadi jumud dan primordial. Iqbal keluar dari cengkeraman masa silam. Meski demikian, dia tidak meninggalkannya. Dia membawanya turut serta. Dan menggendongnya ke mana-mana. 


Tak ayal lagi, hal-hal demikianlah yang membuat pembaca dapat menerima dan memaklumi beragam topik dalam ratusan esainya. Dia mungkin bakal dituduh "overthinking". Sebab apa-apa dipikirnya. Masalah agama, bangsa, negara. Juga masalah remeh-temeh di sekitarnya. Bahkan mungkin orang-orang yang terkait masalah tersebut pun tak memikirkannya? 


Tapi, ada yang paling menarik dari ratusan tulisan Iqbal. Dia banyak mengorbitkan diksi-diksi "baru" dalam tulisannya. Hal itu membuktikan akar sejarah kebudaannya. Yang memadukan Kalimantan, Melayu, keislaman dan bahasa "pesisir sekaligus pedalaman" serta "pedalaman sekaligus pesisir". Selain untuk penyegaran tulisan, hal itu juga dapat menyegarkan situasi kebudayaan "yang begitu-begitu" saja. 


Brangsong, Mei 2022

Comments