MENELUSURI RELEVANSI SOSIAL DALAM CERPEN "ZIARAH" KARYA MUHAMMAD THOBRONI



Oleh Nurul Azianah Azis - Nunukan,  Kalimantan Utara

MENELUSURI RELEVANSI KEHIDUPAN SOSIAL DALAM CERPEN "ZIARAH" KARYA MUHAMMAD THOBRONI


Pada buku cerpen Ustadz Misterius bagian cerpen “Ziarah” karya  Muhammad Thobroni (2018) menggambarkan seorang tokoh utama yang bernama Arif. Ia adalah seorang santri sekaligus siswa di madrasah tsanawiyah. Dalam kesehariannya di pesantren, arif sangat senang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler seperti sepak bola, silat, hingga majalah pesantren. Salah satu hal  yang juga sangat menarik minat arif ialah kegiatan ziarah yang rutin dilaksanakan setiap tahun. Sudah 3 tahun arif dipesantren, dan sudah 3 tahun pula ia harus menunggu agar memiliki kesempatan dan waktu yang tepat untuk bisa mengikuti kegiatan ziarah itu. Arif sangat tertarik terhadap cerita-cerita ziarah yang didengarnya, mulai dari "bertemu" gusdur hingga wali-wali dan para ulama. Butuh setidaknya 500 ribu untuk bisa mengikuti kegiatan itu. Sungguh sebuah angka besar untuk ukuran kantong arif. Setelah gagal ikut ditahun pertama, arif kemudian mengumpulkan rupiah demi rupiah ditahun berikutnya. Malang, ia kehilangan kesempatan itu untuk kedua kalinya setelah uang yang ia simpan raib di ambil pencuri. Tahun ketiga adalah kesempatan berikutnya. Uang yang dikumpulkannya dirasa sudah lebih dari cukup. Sampai ia menerima telepon dari sahabatnya basyir yang butuh dana mendadak karena bapaknya meninggal dikampung. Arif tak dapat menolak, ia kemudian ke bank untuk menarik uang, mengantar sahabatnya kebandung. ia lalu memutuskan untuk pulang kampung sebentar sebelum kembali kepesantren. ia tak ikut ziarah lagi tahun ini, uangnya telah dipinjamkan pada baasyir dan sisanya ia belanjakan untuk oleh-oleh sanak keluarga. hari itu minggu, Ia kembali ke pesantren dengan lelah, dan tertidur pulas. Teman-temanya yang baru datang dari ziarah selama tiga hari terpana melihat arif yang tertidur disana. Jika itu arif, lantas siapa anak yang menangis dan berdoa diatas makam sunan ampel kemarin? arif tak perduli. ia sedang tertidur dan bermimpi bertemu dengan sunan kalijaga dan sunan bonang.

Dari cerita pendek tersebut. terdapat sebuah masalah sosial yang sangat erat dengan kondisi yang sering kita jumpai hari ini. Masalah tersebut ialah tentang faktor ekonomi. dimana sebagian masyarakat yang kurang mampu masih harus berjuang 2 hingga 3 kali lipat lebih besar dari orang-orang yang hidup berkecukupan. Juga dalam prakteknya, segala keinginan mereka bisa saja terhambat dan bahkan tak tercapai tanpa usaha yang sangat keras. Arif adalah representasi dari kelompok masyarakat kelas menengah hingga ke bawah, yang harus berupaya ekstra untuk mendapat apa yang ia mau. Kondisi ekonomi ini dipengaruhi oleh faktor penghasilan masyarakat yang rendah, sehingga hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan tapi bukan keinginan. Hal demikianlah yang memicu terjadinya kriminalisasi ditengah masyarakat, dimana faktor ekonomi menjadi pendorong utama. Untungnya, hal tersebut tak terjadi dalam kehidupan arif yang penuh kesabaran dan ketaqwaan.

Hal ini mengingatkan pada sejumlah kasus masyarakat dengan ekonomi kelas menengah yang berhasil meraih keinginan mereka. Salah satunya adalah miskat , seorang pemulung yang dengan penghasilan 15-30 ribu rupiah perhari yang berhasil naik haji. Miskat menahan lapar dan hanya makan 2 kali sehari dengan biaya 3-5 ribu rupiah. Lain lagi dengan nenek marsinem yang harus berjuang mengumpulkan pundi-pundi rupiah selama 30 tahun dari hasil usahanya berjualan Bunga kenanga. usaha marsinem berjualan menggunakan sepeda dan menempuh 20 kilometer dalam sehari tak sia-sia. Ia berhasil mengumpulkan uang naik haji dengan tekad dan usaha yang gigih. Marsinem dan Miskat hanyalah 2 dari banyak contoh di luar sana. Beberapa orang yang tak terlahir dari keluarga kaya dan pendapatan yang tak cukup banyak, namun berhasil meraih keinginan mereka untuk lebih mendekatkan diri pada yang kuasa. Kecintaan mereka pada agama membawa mereka pada jalan  berliku namun dengan akhir yang indah.

Di dalam cerita tersebut, Arif juga adalah sosok yang sangat baik. kesabaran dan ketaqwaannya dalam mengumpulkan uang juga patut di apresiasi. Tapi meninjau dari sisi tersebut, pribadi arif yang terlalu mengorbankan diri atas penderitaan orang lain juga harus sedikit dikendalikan. Hal ini tentu akan memberi dampak yang buruk dalam perjalanan hidupnya kelak. Arif harus belajar sedikit lebih mencintai dirinya sendiri sebelum menolong orang lain. Bukan karena menjadi baik itu tak boleh, tapi karena segalanya punya porsi masing-masing. Jika arif, marsinem, atau miskat dan orang lain diluar sana bisa sangat perhitungan terhadap diri mereka dalam mencapai impiannya, seharusnya pernintaan dari orang lain juga harus dipertimbangkan secara matang.

Tapi apapun itu, dari cerita arif kita belajar bahwa rezeki takkan pernah tertukar. karena meskipun gagal, usaha manusia takkan pernah sia-sia. kesabaran arif dalam mengumpulkan uang dan kebaikannya untuk menolong orang lain membawa arif pada pencapaian dengan cara yang berbeda. Secara fisik, ia mungkin gagal berziarah, tapi ketenangan batin membuat ia dan orang-orang disekitar arif merasa bahwa sosoknya hadir disana. Terkadang kita merasa bahwa usaha kita gagal, tapi tuhan selalu memberi cara untuk menghargai usaha kita. Tak harus dengan hadiah yang sama, tapi dengan hadiah lain tapi cukup untuk membayar segalanya.

Nurul Azianah Azis, penulis tinggal di Nunukan, Kalimantan Utara

#kaltaramembaca #kaltarabersastra #ubtjaya

Comments