IBU - PROSES KREATIF MENULIS SASTRAWAN MUHAMMAD THOBRONI (3)




OLEH MUHAMMAD THOBRONI, SASTRAWAN KALIMANTAN UTARA

IBU| PROSES KREATIF MENULIS SAYA (3)

Tak saya pungkiri, buku ini adalah yang paling menggetarkan bagi saya: mulai sejarah awalnya, penulisannya hingga penyebarannya.

Awalnya, calon seleb medsos tersebut menjadi mandor penerbitan besar. Saya sebut besar ya nggak ada alasan lain kecuali sebab gedung kantornya yang besar, menggarap proyek bukubuku dalam skala besar, melibatkan banyak anak muda yang pintar-pintar, tawadhu-tawadhu dan khusyu'-khusyu' selama berkarya. Saya harus menyampaikan, sebagian besar orang yang pernah bekerja di gedung besar itu sekarang telah menjadi orang besar, atau setidaknya bakal calon orang besar. Nama-namanya sangat familier dan karya-karya mereka kini menjadi "racun" yang nyata bagi pemikiran kita semua. Tentu saja, di antara mereka yang paling terkenal adalah Iqbal Aji Daryono Mintarjo Narswatmojo Muhamad Zaid Su'di Sudaryanto Spd dan sebagainya.

Entah kenapa, mandor di gedung besar tersebut mendadak punya ide revolusioner: bikin penerbit sendiri. Namanya juga sungguh revolusioner: hayyun, yang juga hasil dari pergelutan revolusionernya xixixix saya datang jauh ke padepokan sekaligus gua pertapaannya di bantuuuuul....sangat jauh dari kota. Perjalananan ke tempat bertapanya dikelilingi barisan tebu. Saya sempat berpikir, jangan2 ini sarang barisan tani indonesia, underbow pki yang terkenal itu. tapi pikiran buruk serupa doktrin traumatis yang terus diwariskan keluarga saya itu saya tangkis. Orang ini, ya mandor ini, yang sudah memensiunkan dirinya dari gedung dan proyek besar dan pilih bertapa tersebut, adalah santri tulen dan kader muhammadiyah sejak dalam perut ibunya. meski sekarang sering menyamar sebagai abangan, atau semacam liberal abal-abal xixixxiixi  saya berpikir begitu, sebab mandor tersebut saya rasakan tak mampu lepas dari ibunya, sebagai anak biologis dan anak ideologis xixixi terlebih, ketika mandor tersebut menyodori saya sebuah judul calon buku: ibu.

Sepanjang jalan pulang, saya terus menangis berurai air mata. saya mendadak teringat ibu saya. ya gara-gara mandor sialan tersebut. saya tidak pernah kembali ke kota dan memutuskan langsung pulang kamping: menjenguk ibu. kurang gila apalagi, bahkan belum jadi buku pun, buku ini langsung mengubah pikiran saya.

Menulis buku ini saban malam, jemari saya selalu bergetar hebat. degub jantung tak beraturan. istri saya yang sering mendampingi, dalam arti sebenarnya, duduk di samping saya, sesekali memeluk dan mencium saya, menenangkan gejolak jiwa saya gara-gara menulis naskah buku ibu tersebut. saya kerap tertidur di atas key board dengan wajah sembab, dan ketika bangun, saya lihat istri saya bergantian mengetik di keyboard tersebut. saya tidak sadar kapan berpindah tidur beralas sajadah.



Buku ini terbit dengan judul berbeda. seperti anda baca, judul tersebut bukan saya yang bikin, tapi mandor revolusioner yang pikiran dan jiwanya entah di mana. saya yakin, isi buku ini sebenarnya sesuai keinginan menggelegak jiwanya terhafap sang ibu, tapi memperalat saya untuk menulisnya.

Saya sering mendatangi pameran buku, dan diam-diam menangis berurai air mata melihat serombongan abg berebut membeli buku tersebut. pada kesempatan lain, dalam pameran berbeda, seorang guru membeli selusin buku tersebut. "Saya harus bagikan buku ini kepada anak-anak dan murid saya!" Saya menyimak celetukannya kepada penjaga stand. penjaga stand tersebut pasti tak kenal bahwa lelaki muda yang berlari keluar gedung pameran garagara menangis adalah sosok yang menulis buku tersebut. Di kesempatan berbeda, saya menyaksikan seorang bapak, mungkin berkepala lima dan berdasi, duduk di depan meja penjaga stand pameran. "Penerbit buku ini gimana sih? Buku bagus begini harus dicetak banyak, distock yang banyak di pameran. Saya mau beli 444 eksemplar buku!" omelnya. Saya bertanya, "Banyak betul pak?"
"Iya, bahkan saya rencana mau beli lagi kalau stok masih banyak. Yang sekarang mau saya bagi buat karyawan dan keponakan saya. Biar mereka ingat, mereka sekarang adalah ibu-ibu mereka. Harus ingat!" ia terus mengulang-ulang "harus ingat".  saya buruburu pamit dengan menahan tangis. Penjaga meja stand sudah tiba dan saya menumpahkan air mata di luar gedung.

Mandor yang menerbitkan buku tersebut dan memberinya judul adalah artis medsos yang sekarang anda kenal. Anda kenal?

Comments