KEMATIAN YANG ABADI DALAM PUISI KEKAL KARYA AGUSTINUS THURU



Oleh  Yohanes Sehendi - Dosen di Universitas Flores, NTT

Kekal abadi
Engkau pulang
Ke tanah leluhur
Batu mesbah
Menulis namamu
Kekal dan abadi adanya

Tak akan kembali
Pada rumah yang fana
Sebab kekal sudah
Perjalananmu
Meski kutangkap senyum
Pada separuh  mimpi yang tersisa

Kekal sudah
Tak perlu  tangis
Agar luka tersembuhkan
Sebab pada akhirnya
Semua  pun kekal
Saat giliran tiba

Denpasar, 15 Pebruari 2019


 Selamat siang Pak Agus. Persembahan Pak Agus pada pagi ini untuk komunitas RSK berupa puisi "Kekal" telah saya nikmati. Puisi terdiri atas 3 bait, 18 baris/larik. Setiap bait terdiri atas 6 baris.

Secara keseluruhan puisi ini gampang dimengerti. Tidak ada kata-kata yang sulit dimengerti. Isi puisi menggambarkan "realitas fakta." Tentang kematian yang abadi, kekal. Realitas fakta adalah realitas atau kenyataan yang dapat dicerap pancaindra.

Yang kurang muncul dalam puisi ini, juga sebagian besar puisi Pak Agus, adalah kehadiran "realitas fiksi."

Realitas fiksi adalah realitas atau kenyataan imajiner yang "diciptakan" sang penyair. Realitas fiksi itu, sesuatu yang sebetulnya tidak ada, namun seolah-olah ada dalam pikiran pembaca karena diciptakan penyair.

Realitas fiksi itu diciptakan penyair lewat metafora, bahasa simbol, perbandingan, dan lain-lain.

Tentang realitas fiksi itu mari kita ambil contoh baris puisi Sapardi Djoko Damono "Aku Ingin." Kita kutip beberapa baris puisi tersebut:

/Aku ingin mencintaimu dengan sederhana / Seperti kata yang tak pernah diucapkan/ kayu kepada api yang menjadikannya abu/.

Realiras fiksi dalam larik-larik puisi di atas adalah:
/... kata yang tak pernah diucapkan /kayu kepada api yang menjadikannya abu/.

Realitas fiksi yang diciptakan Sapardi adalah "kata yang diucapkan kayu kepada api, yang menjadikannya abu."

Kehadiran dua realitas dalam sebuah puisi membuat puisi itu berbobot. Itulah yang disebut ilmuwan sastra A. Teeuw sebagai ketegangan, ketegangan antara dua dunia, dunia  fakta dan dunia fiksi. Kalau realitas faktanya terlalu kuat, maka puisi itu mirip berita atau ungkapan pikiran dan perasaan belaka. Kalau realitas fiksinya terlalu kuat, maka puisi itu tidak mudah ditangkap maksudnya (puisi gelap).

Hal itu dikemukakan A. Teeuw dalam bukunya berjudul "Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra" (1984).

(Yohanes Sehandi).

Comments