KAUM URBAN YANG KALAH BERTARUNG DALAM PUISI SOBAT TANI KARYA ASPAR PATURUSI



Oleh: Yohanes Suhendi - Dosen di Universitas Flores, NTT

Saya senang membaca puisi-puisi lama Abah Aspar Paturusi, sastrawan senior Indonesia yang punyai talenta dalam menulis untuk hampir semua "genre" karya sastra. Napas kreativitasnya panjang dan konstan, sejak mahasiswa sampai kini berumur 76 tahun.

Mari kita nikmati sebuah puisi lamanya yang baru saja diposting di atas, berjudul "Sobat Tani." Ditulis pada 1 Juni 2011, tanggal bersejarah, yakni peringatan Hari Lahir Pancasila.

Lewat puisi yang terdiri atas 5 bait, dan bait terakhir hanya satu baris, Abah Aspar mengangkat tema besar yang selalu dan tetap aktual sampai kapan pun, yakni tentang kaum urban yang kalah bertarung di kota, dan terpaksa harus kembali ke desa menjadi petani, pilihan awalnya sebagai orang desa. Penyair bersimpati pada sikap tersebut, dengan memandangnya si kaum urban yang bertobat itu sebagai "sobat."

Bait pertama dengan sangat indah dan pas Aspar Paturusi membuat sebuah kontras, tinggalkan kota, kembali menjadi petani:
/kau tinggalkan gemerlap kota/kau tancapkan benih padi/kau tanam sepi di hati/.
Tidak hanya gaya perbandingannya mengena, tetapi juga rima dan irama yang padu.

Mengapa si kaum urban kembali ke desa jadi petani? Karena dia galau kota, tak tahan deru mesin, asap dan debu, dan rimba beton, yang berakibat pada "macetnya cita-cita" awalnya tentang kehidupan surga-dunia di kota. Ia kalah, gagal total menjadi orang kota.

Apakah si urban berhasil menjadi petani di desa? Belum tergambar dalam puisi ini. Yang digambarkan penyair Abah Aspar dalam ke-3 sampai ke-5 adalah dorongan semangat dan tekad kuat untuk menjadi petani sukses di desa. Karena "alam pertanianlah" yang membuatnya: /teduh wajahmu membuatku iri/, meskipun: /kulihat kulitmu tambah hitam/.

Puisi-puisi Aspar Paturusi, termasuk puisi ini, bentuknya sederhana, diksi sederhana, tetapi "memuat" kandungan makna dan nilai yang universal.

Puisi Aspar tidak hanya menunjukkan realitas faktual, tetapi juga juga realitas fiksi lewat bahasa simbol, gaya perbandingan, dan metafora. Ciri khas puisi tetap terjaga, yakni terjadinya ketegangan antara dua dunia, dunia fakta dan dunia fiksi. Ketegangan antara dua dunia inilah yang membuat puisi selalu menarik dan penasaran untuk dibaca dan dikaji.

Hehehe, pernyataan penting yang terakhir ini, merupakan  hasil kesimpulan saya atas pendapatnya ilmuwan sastra A. Teeuw dalam bukunya "Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra" (1984).

(Yohanes Sehandi)

Comments