KARENA AKU MENGENALMU SEPERTI AKU MENGENAL DIRIKU: CORETAN DIAN GARINI LITUHAYU, SAMARINDA




Seorang laki-laki tertangkap. Seisi kampung sangat riuh. Lelaki yang ditangkap masyarakat itu lelaki sederhana, seorang suami dan seorang bapak bagi dua orang anaknya. Dia pemilik toko roti di kampung yang omzetnya biasa saja. Kadang tokonya ramai, kadang tokonya sepi.

Massa menangkap lelaki pemilik toko roti itu menjelang subuh saat keluar dari kompleks pelacuran. Rupanya masyarakat sudah mengincar posisi dan kebiasaan si lelaki sebelum mereka menangkap lelaki itu, tanpa pemberontakan yang berarti. Lelaki itu tak mengelak ketika ditangkap dan dipukuli sebagai pezinah. Kerumunan massa menjadi lebih beringas ketika seorang saksi mata menyampaikan bahwa dia menunggu berhari-hari untuk memastikan bahwa lelaki yang mereka tangkap itu yang membawa karung besar setiap malam, keluar dari rumah penduduk. Massa menghakiminya bukan saja sebagai pezinah, tapi juga pencuri. Malang sekali bagi lelaki itu tak ada kesempatan baginya bicara dan sekedar membuat dirinya mampu membela dirinya.

Di halaman rumah petinggi desa, lelaki itu didudukan dibawah sinar matahari yang mulai tinggi, tanpa air. Entah sudah berapa tonjokan menghiasi wajahnya. Entah sudah berapa tendangan mendarat di tubuhnya. Petinggi desa keluar dari rumahnya dan duduk ditempatnya sambil menerima penduduk yang datang menyeret lelaki tersebut.

Semua suara yang riuh mendadak senyap. "Selamat pagi saudara-saudara, apa kesalahan lelaki ini sehingga kalian menangkap dan memukulinya?" Lelaki yang disebut, tampak kuyu dan pasi. Seorang lelaki keluar dari kerumunan dan berteriak, "Dia ini pezinah Tuanku, dia ini pencuri. Kami sudah mengintainya beberapa malam dan kami tidak asal menuduh. Kami punya bukti dan saksi, dia ini pezinah dan pencuri. Setiap hampir subuh dia keluar dari kompleks pelacuran. Dan sebelumnya dia terlihat menggendong karung mencurigakan setiap malam.."

Petinggi kampung mengangguk. "Siapa saksinya?" Beberapa orang lelaki dewasa keluar dari kerumunan dan mengangkat tangan mereka.

"Apa kalian melihat sendiri hal yang dituduhkan tadi?" Tanya petinggi kampung dengan tatapan tegas.

"Ya benar.." serempak mereka menjawab. Didekatinya lelaki yang didudukkan di tengah halaman, layaknya pesakitan.

"Apa kamu mendengar apa yang dituduhkan itu wahai tukang roti?" Lelaki itu tidak langsung menjawab.

"Apa yang mereka lihat, tidak seperti yang mereka lihat Tuan.." wajahnya menahan sakit, airmatanya menetes perlahan. "Angkatlah Quran diatas kepalaku, aku tidak berbuat seperti yang mata mereka lihat.."

Lelaki petinggi kampung itu menatap lekat wajah si tukang roti dan bertanya sekali lagi, "Maksud kamu apa wahai tukang roti, bahwa yang mereka saksikan akan perbuatanmu bukan perbuatan buruk?" Petinggi kampung mengangkat nada suaranya, "Apa kamu punya saksi?"

Si tukang roti itu mengangguk, "Panggilkan istriku, dialah saksiku. Dia tahu apa yang aku lakukan setiap malam sehingga aku pulang menjelang subuh.."

Petinggi kampung memanggil salah satu lelaki dari kerumunan dan memintanya mencari rumah si tukang roti dan membawa istrinya ke tempatnya berdiri. Lelaki yang disuruhnya itu bergegas pergi.

Kerumunan orang bergeser ke tempat teduh, ketika matahari naik tinggi, sudah terik menggigiti kulit dan rambut diatasnya. Si tukang roti masih duduk di tengah halaman dalam angin dan debu gurun yang pekat dan panas. Menjelang tengah hari, lelaki suruhan petinggi datang, bersama seorang perempuan yang tergopoh-gopoh berjalan mendekati kerumunan orang.

"Wahai istri tukang roti, apakah kamu tahu, suamimu ini ditangkap penduduk sekitar sini karena menjelang subuh baru keluar dari kompleks pelacuran, bahkan bermalam malam dilakukannya. Penduduk yang lain melihatnya menggendong karung  besar dengan gerak gerik mencurigakan.." Petinggi kampung bertanya kepada istri si tukang roti yang masih terengah-engah karena berjalan setengah berlari.

"Yang penduduk lihat dengan mata mereka bukan yang dilakukan suamiku.." jawab perempuan itu tegas. Semua mata di kerumunan itu tertuju padanya.

"Yang kalian lihat, hanya yang ingin kalian lihat, sesuai dengan isi hati dan pemahaman kalian saja.." perempuan itu duduk bersimpuh mendekati suaminya yang duduk dengan tangan dan kaki terikat. Diambilnya ujung selendangnya menghapus debu, darah dan air airmata di wajah lelakinya itu.

Petinggi kampung bertanya kembali, "Wahai istri tukang roti, mengapa kamu begitu yakin suamimu itu tidak bersalah? Laki-laki ini bisa saja telah menjadi pengkhianat dalam rumah  tanggamu dengan penjadi pezinah. Dan bisa saja dia telah memberimu nafkah yang kotor, berasal dari pencurian. Mengapa kamu begitu membelanya. Sudah ada saksi dan bukti bahwa suamimu bukan lelaki yang pantas dibela.."

Perempuan itu berdiri. Dipandanginya satu persatu wajah penduduk yang berkerumun di tengah halaman. Dipandanginya wajah petinggi kampung dengan  tatapan lekat yang tak remah dalam deraan panas tengah hari. "Aku yang membukakan pintu baginya setiap menjelang dinihari! Aku yang melihat senyumnya setiap kali dia bercerita, seorang lagi batal menjadi pendosa karena melacur, karena uang dari pelanggan yang mestinya dia dapatkan sudah diganti oleh suamiku dari hasil dia berdagang roti di pagi hari."

Perempuan itu mulai terisak. Langit yang terang dengan matahari tengah hari yang terik pasti bukan paduan rasa nyaman yang menguatkan.

"Aku yang menaikkan gandum diatas punggungnya untuk dibagikan pada orang-orang miskin di pinggiran kampung yang tak punya apapun untuk dimakan meskipun saat berbuka.." perempuan itu berlari memeluk lelaki si tukang roti dan mengambil botol air dari dalam tasnya dan meminumkannya seteguk demi seteguk. Selesai si tukang roti minum, diteguknya pula air dalam botol tersebut.

Petinggi kampung bertanya kembali, "Wahai istri tukang roti, aku tak bisa percaya begitu saja kata-katamu. Bisa jadi karena kamu cinta, makanya kamu membelanya. Bisa jadi kamu malu menjadi janda, sehingga kamu bisa mengarang cerita.."

Perempuan istri si tukang roti tak langsung menjawab. Dia duduk dan menunduk. "Alasan apapun menjadi basi ketika rasa percaya kalian sudah tidak ada. Untuk aku jelaskan pun kalian tak akan percaya. Lelaki ini adalah Tuhan untukku. Tanyakan, carilah orang-orang yang telah ditolongnya dengan seluruh uang dan harta yang dititipkan Allah pada kami.." Ditariknya nafas panjang dan tak lagi mengeluarkan satu suara.

Kerumunan orang dengan wajah penuh tanya satu persatu, menyaksikan kukuhnya istri si tukang roti menjadi pembela bagi suaminya yang tak jelas lagi raut wajahnya karena lebam dimana-mana. Menyisakan petinggi kampung dan beberapa lelaki yang menjadi saksi berdiri mendekat. Berbicara satu dengan yang lainnya mereka berdiskusi, entah dengan pilihan ringan atau berat diksi. Seorang saksi kemudian  mengusulkan benar-benar mencari, apa yang diminta istri si tukang roti.

Petinggi kampung masuk ke dalam rumahnya dan membiarkan para lelaki saksi dan pimpinan rombongan penduduk tadi berpencar mencari bukti dan menyelidiki. Kesepakatan mereka, bahwa dzolim menuduh jika mata hanya melihat apa yang mereka lihat. Curiga dan rasa benci mewarnai tuduhan mereka. Dan itu bukan sikap yang terpuji. Mereka sepakat mencari.

Lelaki pesakitan itu masih duduk di tengah halaman rumah bersama istrinya menemani. "Kamu duduklah di bawah pohon, terlalu terik matahari disini.."  pinta si tukang roti pada istrinya. Istri si tukang roti menggeleng. "Engkau yang akan melindungi aku dari panasnya api neraka dan membebaskan aku dari ikatan panas nafsu dunia, aku tidak akan meninggalkanmu. Biarkan aku menunggu disini.." perempuan itu menangis kembali.

Perhatian kerumunan seketika buyar kearah suara derap kaki kuda yang bergerak mendekati halaman rumah petinggi kampung. Turun dari kuda kuda itu beberapa orang perempuan dan lelaki. Seorang perempuan mendekati petinggi kampung.

"Lelaki ini membuat aku berhenti menjual diri. Lelaki ini memberiku modal membuka toko roti di kampung sebelah.."

Seorang penunggang kuda lainnya berteriak, "Aku dibantunya saat kelaparan, dia menggendongnya sendiri gandum dari gudangnya, diberikan padaku dan anak-anakku yang bahkan tak punya makanan untuk berbuka.."

Satu persatu kesaksian diperdengarkan pada petinggi kampung dan orang-orang yang berkerumun. Ikatan ketat ditubuh si tukang roti dilepaskan. Petinggi kampung dan orang-orang, kemudian mengizinkan si tukang roti dan istrinya pergi.

Seorang penunggang kuda memberikan kudanya pada tukang roti dan istrinya. Berbisik sambil memberikan tali pegangan kuda pada pasangan penjual roti itu. "Pulanglah wahai penghuni Jannah. Semoga seluruh langit dan bumi bersaksi atas kebaikanmu dalam sunyi.."

Si tukang roti dan istrinya naik ke atas kuda itu dan berlalu. Diatas kuda yang berjalan perlahan si tukang roti bertanya pada istrinya, "Kamu sudah tahu bahwa hal ini cepat atau lambat akan terjadi bukan?" Si istri mengangguk cepat. "Aku mengenalmu seperti aku mengenal diriku, aku mempercayaimu. Dan itu membahagiakanku.."

Kuda besar itu mengantarkan pasangan penjual roti itu kembali ke toko mereka dengan tenang dan damai. Hanya menyisakan memar kebiruan di wajahnya, si tukang roti tak berbeda sikap, toko rotinya ramai sejenak setelah kembali dibuka.

Comments