KALENDER LAMA: PUISI MUHAMMAD THOBRONI, TARAKAN



Dari balik kalender lama
yang diberikan sebuah bank tua
berkat cicilan berbijiberbunga
seorang budak zaman mengintip halaman gubugnya:

Hujan menderas sejak semalam, bebijian telah bejatuhan, ditimbun serak dedaunan, meninggalkan jejak persetubuhan: ah, ini pasti akan bertumbuh tunas baru, bekecambah selepas semua reda.

Lalu budak itu membuka pintu, melongok kepalanya ke kiri dan kanan: aih, masih gulita, kapan lagi terang tiba, lumpur terhambur di jalanan, galian ladang minyak mengeruk bumi hingga kerak, dan pipa-pipa besi, selang-selang plastik itu akan menghantar aura kematian, di mana anak cucu kalian hendak memajang nisan.

Kalender lama menempel pada papan rak buku renta, yang kesepian ditinggal kawan-kawannya: ah, memang beginilah kalender harus dipahami, sobek satu demi satu halaman, buang yang lama dan pandang yang baru, meskilah yang baru itu bakal menjadi renta pula.

Kehidupan yang saban hari diguyur hujan begini, tetap membutuhkan kalender, untuk dipajang, untuk dipandang, meski kalender lama, meski kalender usang. Yah, sekadar untuk mengingat bahwa kita masih butuh kenangan.

2019

Comments