MATINYA SANG PENGARANG: CERPEN MUHAMMAD THOBRONI, TARAKAN





Ada yang salah dengan pandanganku terhadapnya: sosok yang tengah terbujur di depan sana. Mula-mula ia datang kepadaku dengan membawa tanya: bagaimana caranya menjadi pengarang? Ia melanjutkan: maksud saya, bagaimana menjadi pengarang yang baik, yang karya-karyanya langsung bisa dinikmati dan diakui publik?
Ketika itu aku masih menduga –jika tidak boleh disebut sebagai syakwasangka. Akankah dia benar-benar ingin menjadi pengarang? Apakah bukan karena pilihan spontan –oleh sebab tekanan pikiran yang dideritanya akhir-akhir ini? Dan aku hanya tersenyum saat itu, ketika itu.
Dan bila ia datang lagi kepadaku: tentang pertanyaan-pertanyaan itu, tentang keinginan-keinginan itu. Aku tidak bisa lagi terdiam. Kataku: jika engkau ingin mengarang, mulailah sejak sekarang. Tulis saja yang engkau inginkan. Tuangkan perasaan dan pikiran, apapun yang engkau senang. Senang bila beban yang mengendap itu bisa terbuang.
Ia menemuiku lagi, tiga hari kemudian. Empat halaman cerpen di atas kertas berukuran kwarto. Aku terheran-heran: bagaimana dia bisa secepat itu membuat sebuah karya? Bahkan seorang Milan Kundera, Octavio Paz, Putu Wijaya dan Ahmad Tohari saja mungkin butuh waktu lama untuk seperti itu –setidaknya pada tahap refleksi dan pengendapannya. Pikirku ketika itu: ini pasti asal tuang. Pasti. Bukankah ia memang pemula? Tapi, tak apa. Bukankah yang penting ia sudah menuangkannya –ide dan gagasan itu? Tapi, tidak terbersit dalam pikirku ketika itu untuk menganggap empat halaman itu sebagai karya picisan milik pemula kemarin sore.
Tapi memang, awalnya aku acuh saja. Kataku waktu itu: engkau harus banyak membaca. Tidak ada seorang penulis yang baik –kecuali ia adalah seorang pembaca yang baik. Ia menyodorkan empat halaman yang belum kubaca, tapi sudah kucurigai itu: karya pemula buah dari asal tuang beban di dalam benak pikiran. Ia kembali datang dengan gagah. Menagih penilaianku tentang empat halaman itu. Gila. Bahkan aku belum sempat melihatnya. Karena aku buru-buru meletakkannya di atas meja. Tentu, dengan alasan, karena aku pun harus menyelesaikan beberapa halaman.
Ia pergi, meninggalkanku sendiri. Marah, mungkin. Tapi apa yang bisa dinilai atas karya seorang pemula? Seperti aku dulu: ia masih butuh waktu untuk berproses, memeras otak dan perasaan, dan berpanas-berhujan untuk mengejar serak gagasan. Mungkin di pinggir-pinggir jalan, barangkali jatuh bersama titik-titik hujan, mungkin terhempas oleh angin siang. Dan aku tidak sendirian. Andai ia mencari yang lain, yang lebih dulu hadir, pasti tidak berbeda jauh. Empat halaman itu pasti akan dikatakan: imajinasi picisan. Bukankah aku tidak –setidak-tidaknya tidak cukup tega- berucap seperti itu?
Lama ia tidak menantangku untuk menilai empat halaman itu. Ketika tiba-tiba ia datang di hadapanku. Tidak dengan tangan kosong. Ada beberapa halaman. Sepertinya berbeda dengan empat halaman yang lalu. Selain beberapa halaman itu, ia juga menyodorkansatu halaman yang lain. Halaman sebuah koran. Pikirku ketika itu: mungkin ia ingin aku membandingkan beberapa halaman miliknya itu dengan satu halaman yang lainnya. Jika satu halaman yang lain itu milik Putu Wijaya, Seno Gumira Aji Darma, Jujur Prananto, atau Kuntowijoyo dan Danarto, aku tidak usah bersusah-payah. Satu halaman yang lain itu pasti lebih baik kualitasnya dari beberapa halaman miliknya itu.
Tapi dugaanku meleset. Bahkan salah sama sekali. Ia menuding satu halaman yang kuduga milik Putu Wijaya, Danarto, Seno Gumira Aji Darma, atau Kuntowijoyo itu. Ia menunjuk sebuah nama: nama milik orang yang kini terbujur di depan sana. Tangannya masih menuding, bukan kepada nama orang yang terbujur di sana sepertinya, tapi kepada kepada tiga kalimat yang ada di atasnya: Matinya sang Pengarang. Belakangan aku tahu, itu memang empat halaman yang disodorkan kepadaku, dulu.
Sepertinya ia nekat mengirimkanempat halaman yang dulu ke sebuah koran lokal. Mungkin ingin menantang keacuhanku. Barangkali ingin melawan keangkuhanku saat itu. Setelah itu ia terlibat berbincang serius denganku: tentang beberapa halaman miliknya, tentang beberapa halaman milikku, tentang beberapa halaman di beberapa koran –lokal dan nasional- serta beberapa halaman dari buku kumpulan. Sesekali ia mengajakku pergi, atau aku mengajaknya pergi. Kadang ke shopping centre berburu buku –kami ingin mencari yang murah saja-, sering ke Purna Budaya atau Bentara Budaya –barangkali ada pertunjukan teater atau pameran lukisan.
Beberapa kali beberapa halaman yang dikarangnya dikirimkan ke media, lokal dan nasional. Dan, seringkali, ia mengajakku ke warung koboy –tempat kami dan teman-teman ngobrol kecil tentang situasi negara, dengan ditemani segelas es teh dan mungkin jahe panas. Katanya: ini uang sial. Ia membayar segala yang kami makan dan minum. Memang tidak perlu banyak rupiah untuk membayar semuanya. Tentu, jika dibandingkan dengan rupiah yang didapatnya dari hasil mengirim beberapa halaman itu.
Di warung koboy itu pula, kami sering meledek halaman-halaman yang dibuatnya. Meski sering mendapatkan kiriman rupiah karena halaman-halaman yang dikirimnya dimuat media, tapi beberapa teman menganggapnya tidak bagus. Entah apa maksudnya. Tidak jarang mereka menghujat halaman-halaman yang dibuatnya. Beruntung ia selalu tersenyum. Tidak marah. Padahal ia juga yang mengajak dan membayar makan dan minum teman-temannya itu.
Ia tidak kapok atau ciut nyali. Ia hanya menulis, mengarang, dan akan terus seperti itu. Seperti yang didengarnya dari mulutku dulu: tulis saja yang ingin engkau tuang. Syukur menjadi bagus, dan mendapat pujian. Jika tidak, berburu lagi, merenung lagi, dan menuang lagi. Ia memang tegar, bak karang di tengah lautan. Ia kokoh seperti bungker yang tahan gempa dan bom. Ia tidak berharap pujian, apalagi hujatan. Terserah. Ia hanya menuang. Baik, buruk, meragukan, silakan penilaian orang. Bukankah orang boleh salah –untuk menuju yang sempurna?
Dan, sekarang, ia terbujur di depan sana. Ia, mungkin meninggalkan segenap pesan, khusus untuk para pemula. Apa saja. Di mana saja. Mungkin untuk mendobrak kebekuan. Barangkali untuk melawan arogansi. Ia mungkin serius untuk itu semua, seperti ia serius terbujur, di depan sana, saat ini.

Cerpen ini pernah dimuat di www.kompasiana.com

Comments