AIDA (CERITA CINTA PEREMPUAN PENDERITA KANKER) : CERITA PENDEK BAMBANG IRAWAN, BENGKULU



Lelaki baya berkulit bersih dan berpakaian santai namun rapi dan tampak berwibawa itu menolak ketika tuan rumah hendak beranjak ke dalam untuk menghidangkan segelas kopi. "Saya tidak lama," katanya. Nadanya tegas. Tidak ada senyuman di wajahnya yang sebenarnya berkesan lembut dan masih tampak cakap meski sudah cukup berumur itu.

Tuan rumah, seorang lelaki yang masih tampak cukup muda itu mengurungkan niatnya. Ia kembali duduk berhadapan di kursi bambu tempat ia menerima sang tamu. Meski tak sampai gelisah, hatinya disergap tanya.

Perasaan heran yang semula muncul dan kemudian terjawab; siapa gerangan yang datang? Seorang tamu diantar sopir dengan mobil Mercedez Benz C-class terbaru ke rumah kontrakannya yang sangat sederhana di sudut kota Bekasi, membuatnya tersenyum, "Saya papanya Aida." Kini tanpa sadar tak mampu ia pertahankan, binar mata dan senyumnya yang tadi terkembang, hilang. Ia hanya duduk dan diam menatap tamu di kursi bambu di hadapannya, yang tak lama kembali mengulangi ucapannya.

"Saya tidak lama. Saya cuma minta, tolang jauhi Aida!"

Hatinya yang semula hanya disergap tanya, kini dikeroyok pana. Ia hampir tak mampu berkata apa-apa ketika kembali sang tamu berkata:

"Sekali lagi saya minta, tolong jauhi Aida, jangan lagi temui dia. Saya akan berikan apa yang kamu minta."

Setelah menarik napas dalam, gemuruh yang tadi melanda dadanya mulai mereda. Lelaki tuan rumah itu akhirnya mampu bicara, tenang, pelan. Dan senyumnya yang tadi sempat menghilang entah ke mana, kini kembali mulai sedikit mengembang.

"Baiklah, Pak. Memang ada yang akan saya minta." Senyum itu, entah apa arti yang sesungguhnya tersimpan dalam dadanya, masih terus mengembang.

"Saya memang suka sama Aida. Tak saya pungkiri, bahkan mungkin, saya jatuh cinta sama anak Bapak. Saya senang bisa mengenal dia, dalam beberapa waktu belakangan ini berasa dekat dengan dia. Tapi kalau memang kehadiran saya sebenarnya tidak diinginkan, terlebih kalau saya tidak ada dia bisa lebih bahagia, saya janji tidak akan menemui Aida." Lelaki itu sejenak terdiam. Tampak ia kembali menarik napas dalam, dan tanpa sadar, ikut pula menarik dan menyimpan kembali sebuah senyuman.

"Saya sadari siapa saya, dibanding Aida, dibanding keluarga Aida ...." Kini tampak jelas, satu tarikan napas lelaki itu berusaha mengumpulkan segenap tenaganya.

"Dan pemintaan saya ..., tolong, bilang sama Aida, mulai hari ini jangan lagi temui saya. Jangan lagi datang ke sini dan jangan lagi datang ke tempat saya jualan. Selama ini, meski begitu suka hati saya saat dia datang ke mari, juga ke tempat saya mencari nafkah, saya bahagia, bisa melihat ia tertawa, tersenyum ceria, tapi saya tidak pernah mendahului menemui Aida. Tanyakan pada Aida bagaimana awalnya kami bertemu. Dan pasti, sungguh, saya pun akan bahagia kalau keputusan ini memang jalan untuk dia bahagia."

Keduanya terdiam. Tidak ada lagi pembicaraan setelah sejenak saling tatap.

"Baiklah. Terima kasih, saya permisi pulang. Assalamualaikum."

"Waalaikum salam ...." Ia menundukkan wajahnya.

Ada yang tak disadari lelaki tuan rumah itu, selain ucapan salam dan jabat tangan sebelum berbalik punggung, ada yang luput dari tangkapan mata dan gemuruh batinnya: yaitu binar sepasang mata terpesona, dari hati lelaki tamunya yang terpana.


***

Ya, Aida, perempuan muda, cantik dan cerdas berkulit putih bersih, berambut panjang bergelombang, perempuan pemilik mata coklat teduh dan senyum indah itu, datang ketika ia merasa hidupnya tanpa "siapa-siapa". Mengisi hatinya, mewarnai hari-harinya. Kini hari-hari berlalu yang dijalaninya mulai terasa berbeda, siang berganti malam, minggu berganti bulan, tak ada lagi senyum manis Aida, tak ada lagi wajah ceria dan canda manjanya. Sepi. Kesepian. Perasaan ini tak lagi mampu ia elakkan. Hingga akhirnya pada suatu hari, kembali hati lelaki itu disergap tanya: tamu itu datang lagi--Papanya Aida. Dan kali ini, dengan sikap yang terasa berbeda. Tampak ada kembang senyum di bibirnya....

(Bersambung)

Comments