GOLPUT, REMAJA MILENIAL DAN PEREMPUAN





Golput pada sejarahnya adalah istilah yang digunakan oleh sekelompok orang yang menamai dirinya Golongan Putih, yaitu mereka yang menolak untuk memilih dalam sebuah proses demokrasi yang dinamakan Pemilu.

Jika keberhasilan demokrasi diukur secara kuantitas, maka jumlah partisipasi masyarakat menentukan apakah sebuah demokrasi di suatu daerah berjalan dengan baik atau tidak. Oleh karenanya, ketidakaktifan masyarakat (golput) dalam pemilukada tentu akan menjadi "cacat" bagi proses demokrasi yang berlangsung di daerah tersebut.

Beberapa hal yang menyebabkan Golput adalah pertama, karena kekecewaan masyarakat terhadap kinerja pemerintah. Masyarakat menilai bahwa pemerintah tidak mengakomodir aspirasi-aspirasi mereka sehingga muncul perasaan kecewa mendalam yang berujung pada ketidakpedulian terhadap demokrasi. Teori Psikoanalisa menjelaskan, seseorang biasanya melakukan pertahanan diri terhadap sesuatu yang merugikan dirinya. Kekecewaan mendalam melahirkan situasi traumatis bagi seseorang, dan sebagai bentuk pertahanan dirinya ia lebih memilih untuk tidak berurusan dengan hal tersebut.

Sebab kedua, adalah sikap apatis yang kebanyakan saat ini dialami oleh generasi milenial. Generasi milenial atau Generasi Z yang berada dalam pusaran konektivitas jaringan bahkan sejak mereka masih dalam usia tumbuh kembang, memiliki kecenderungan yang tinggi terhadap ketidakpedulian politik dan proses demokrasi.  Walaupun tentu saja tidak bisa digeneralisasikan bahwa generasi Z adalah generasi yang antipati terhadap politik. Karena perilaku yang ditampakkan oleh remaja milenial saat ini adalah hasil akumulasi dari ketidakbijaksanaan orang tua dalam mendidik anak dan juga akibat penggunaan teknologi yang tidak tepat sasaran. Sehingga membentuk pribadi remaja yang individualis dan anti sosial apalagi politik. Hal ini perlu menjadi perhatian khusus bagi praktisi pendidikan dan politik agar remaja milenial bertumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman namun tidak melupakan nilai-nilai dan norma yang dijunjung tinggi sebagai warisan nenek moyang kepada generasi penerusnya.

Oleh sebab musabab tersebut, solusi yang dapat diambil sebagai langkah alternatif bahkan utama adalah, sosialisasi yang masif kepada seluruh anggota masyarakat termasuk menjangkau ke segala lapisan umur dari muda hingga tua, dari generasi Baby Boomer hingga generasi Z. Pelaksanaaan sosialisasi tersebut hendaknya dilaksanakan secara sistematis. Seringkali, kegiatan semacam sosialisasi hanya berakhir pada tataran pelaksanaaan, atau yang paling tinggi sedikit sampai ke evaluasi. Follow up jarang dilaksanakan, padahal kegiatan tersebut merupakan inti dari pelaksanaaan kegiatan untuk mengetahui apakah kegiatan telah tepat sasaran dan sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Pelaksanaaan sosialisasi juga hendaknya disesuaikan dengan target sasaran, misalnya jika menyasar remaja milenial, maka dibuatlah konsep sedemikian rupa yang dapat menarik minat mereka untuk mengikuti kegiatan sosialisasi. Dengan begitu, meminimalisir sikap antipati terhadap demokrasi dan politik adalah suatu keniscayaan.

Kedua, kaderisasi yang jelas di tubuh partai politik. Kekecewaan masyarakat terhadap kinerja pemerintah biasanya disebabkan oleh pemimpin yang diusung oleh partai tidak memiliki kualitas yang mumpuni. Partai politik seringkali memilih seseorang untuk diusung sebagai calon pemimpin atau wakil rakyat adalah berdasarkan popularitas dari orang tersebut. Tidak jarang, money politics mengiringi proses penerimaan kader. Sangat disayangkan jika partai politik seolah mengesampingkan proses dan lebih mementingkan hasil. Padahal, pemimpin yang berkualitas adalah ia yang telah merasakan manis pahitnya berproses dalam sebuah organisasi sehingga membentuk mentalitas ia yang sekarang.

Ketiga, pelibatan perempuan secara aktif dalam penyelenggaraan Pemilu. Ada dua yang perlu dikritisi yakni dari penyelenggara pemilu dan perempuan itu sendiri. Penyelenggara pemilu sudah sepatutnya melibatkan secara aktif peran perempuan. Tidak hanya secara teknis operasional, namun sampai pada tataran ide dan konseptual. Perempuan perlu dilibatkan secara aktif dalam pengambilan kebijakan. Budaya patriarki yang berkembang masih menempatkan perempuan pada posisi subordinasi laki-laki. Padahal, keberadaan perempuan dalam proses penyelenggaraan pemilu akan membawa dampak yang signifikan untuk mengurangi golput. Jumlah perempuan yang lebih banyak ketimbang laki-laki serta karakteristik perempuan yang lebih banyak bicara akan sangat membantu mensosialisasikan pentingnya demokrasi dan pemilu yang sehat di masyarakat bahkan kepada anak-anaknya sebagai generasi bangsa. Tidak berlebihan jika pepatah mengatakan bahwa perempuan adalah tiangnya negara.

Sementara perempuan sendiri perlu untuk terus meningkatkan kapasitas keilmuan yang dimilikinya. Seringkali sudah banyak kesempatan yang diberikan kepada perempuan untuk tampil dalam berbagai kesempatan namun tidak dipergunakan sebaik mungkin karena perempuan sendiri yang menganggap bahwa ia tidak layak berada disana. Perempuan sendiri yang beranggapan bahwa Kita tidak seharusnya berada di domain yang ditempati oleh laki-laki. Bagaimana mungkin kita berbicara tentang kesetaraan, jika pola pikir dari perempuan itu sendiri yang membuat sekat-sekat penghalang akan kebebasan berpikir dan bertindak. Musuh kita bukan orang lain, musuh kita adalah diri kita sendiri. Kita adalah apa yang kita pikirkan.


ZULVA ZANNATIN ALIA, MAHASISWA S2 UNIVERSITAS NEGERI MALANG, ALUMNUS BK FKIP UBT, PEGIAT PEREMPUAN PERBATASAN INDONESIA DAN MALAYSIA

Comments