BERBURU ANAK KANDUNG BUKU BEKAS (1)



Suatu pagi, saya dapat telepon dari Mbak Mariana: Mas Ang, buku-buku jenengan, diobral di Pameran Buku Gramedia Pandanaran. Dilebeli harga, 10 ribu. Aku beli dua, masih ada setumpuk, katanya. Setelah saya tanyakan, mengandung bukuku kesehatan "Hidup Sehat cara Vegetarian" yang diterbitkan Gramedia, dua tahun lalu. Setahuku buku itu resminya dijual 35rb per buku. Siangnya, aku mau datang sendiri, ternyata sudah habis. Kupikir, kok cepat sekali bukuku sudah diobralkan, dan buku itu sudah dianggap kadaluwarsa dong, eh ding dong, hehe ....

Sejak itu, aku meluangkan waktu untuk memburu bukuku yang diobralkan di berbagai pameran buku, atau di lapak buku loak atau buku bekas. Tidak hanya kukerjakan sendiri, tetapi juga menyebar mata-mata, melalui perwakilan Kelompok Obyektif di berbagai kota. Soalnya bukuku yang sudah cetak, cukup banyak. Setiap judul biasanya memiliki nomer proof antara 5 sampai 10 eksemplar. Lagi lama kelamaan menguap karena berbagai sebab. Dipinjam teman, tidak kembali. Diam-mati, anak atau kerabat. Bilang mau dibaca, tapi pulangnya si buku lupa jalan alias ketlingsut, hehe ...

Bagiku, buku yang sudah kulahirkan, seperti anak kandungku sendiri. Menurut guru orang Jawa, bekas pacar atau bekas isteri, ada. Namun bekas anak, tidak ada. Berdasarkan ajaran itu, maka kucarilah anak-anakku, sambil menyanyikan lagu: Ada anak meminta pada Bapak, haha ​​.... Lagu pop apa dangdut ya? 

Pertama, kukosek lapak buku bekas terbesar di Semarang, di belakang stadion Diponegoro, di kios-kios yang berderet memanjang, kucari mereka. "Ning endi dunungmu Nang," gumamku. Pengembaraan tidak hanya di tengah buku bekas Semarang saja, tetapi bergerak terus (istilah Mas Leak Sosiawan: Terus bergerak ....). Lah opo orak kesel, bergerak terus. Meski begitu, sampailah saya ke pusat buku bekas kota lain, di belakang Sriwedari, Solo. Wah, di sini ramai juga. Harganya gertakan. Kita menggali dengan harga mahal, kita harus berani gertak balik, menawar semurah-murahnya, haha ​​... Anehnya, dikasihkan loh. 

Hari-hari terus berlalu. Perburuan dilakukan ke kota Yogyakarta yang penuh kenangan. Pusat-pusat penjualan buku bekas, sudah berubah. Terbesar di Shopstore Shoping Center, Kompleks Taman Pintar, Jl. Sriwedani (bukan Sriwedari ya), di sini ada sekitar 124 kios. Setelah ublek-ublek sepanjang seharian, maka kuputuskan pindah ke pusat buku bekas yang lain, di daerah Terban. Sepanjang jalan Terban sampai Tugu, berjejer kios buku bekas. Kalau nama jalannya, kubaca, Jl. Kahar Muzakir, daerah Terban, Gondokusuman. Nah, sementara berburu di kawasan Joglo Semar dulu, hehe ..

Hasilnya, ada dua dus besar bukuku ketemukan. Buku non-fiksi, diampilan, Hidup Sehat cara Vegetarian, Seni Merangkai Janur, Buku Petunjuk Pajak, Komunikasi Bisnis, dan lain-lain. Fiksi, kumpulan cerpen Wagiyem dalam jumlah banyak. Maka saya beli borongan, hehe ... Serial Reformasi, Jatuhnya Suharto, juga banyak ditemukan. Sementara Megawati menuju gerbang Istana, Gus Dur yang dicintai dan dilengserkan, kucari di mana-mana tidak ada. Novel serial Sahadewa, hanya Nyanyian Sepanjang Jalan yang ketemu. Matahari Merah dan satunya lagi, Padang Ilalang Gersang, tidak ditemukan. Buku kumpulan puisi Album Biru Pertama, juga banyak dijual di eceran. Juga Lawangsewu, dan lain-lain, masih ada. Wah, jika mau dirikan terus ditaruh di mana? Rumah sudah sesak, haha ​​....

"Kalau mau ketemu lebih banyak lagi, ya ke Batam dan Jambi," kata sahabatku Haji Suwanto dari Penerbit Aneka Ilmu menegaskan. Dia pernah melihat banyak bukuku di situ. Saya berpikir, kalau pengembaraanku terlalu jauh, saya dikhawatir orang rumah, bisa hilang. Atau .... sengaja menghilang, haha ​​..... (Bersambung)

Semarang, Oktober 2018
(Foto profil: Kelana Siwi)


ANGGORO SUPRAPTO, jurnalis dan sastrawan, tinggal di Semarang

Comments