Lelaki yang Berkawan dengan Bintang: Cerita Pendek Prima Asa, Samarinda



Namaku Alam dan aku tidak punya nama panjang. Cukup Alam. Jangan ditanya dari mana nama itu berasal. Sejak dari lahir orang-orang sudah memanggilku demikian. Aku seorang pengelana. Berkelana membuatku tidak hanya lebih leluasa menjajaki bumi tapi juga menjajal tempat baru. Aku selalu haus akan hal-hal yang baru. Obsesi itu yang membuat aku memberanikan diri berkeliling ke sejumlah tempat bahkan menjauhi keluarga.  Dalam keadaan tertentu aku bisa berbaring hanya dengan bartahtakan langit, berdipankan bumi dan berselimutkan angin. Tapi aku juga tetap butuh kehangatan dari kasur yang empuk yang mengantarkan tubuhku layaknya mahligai permaisuri. Tapi semua tempat bagiku adalah mahligai. Terkadang biang lala langit adalah hiasan semesta yang tidak ada tandingannya menjadi plafon kala aku berbaring. Jiwaku seakan mengalun ke atasnya lalu melungsur cepat terjun ke bumi. Yah, semua itu adalah keindahan yang sulit terangkai oleh kata-kata mutiara mana pun.
Saat ini sedang petang. Matahari baru saja menghilang dari ufuk barat meninggalkan sisa-sisa senja birunya. Bintang venus bersingar terang mendampngi sang surya yang bersitirahat bersinar hari ini.  Aku berjalan bersama kawanku melintasi gang. Dalam perjalanan kami mendengar dari televisi bahwa dini hari nanti akan terjadi gerhana bulan darah atau blood moon. Konon katanya fenomena ini terjadi setiap beberapa tahun sekali. Aku bertanya pada kawanku, Apa yang membuat bulan itu nampak begitu kemerahan. Bukankah gerhana itu biasanya bulan gelap total? Warna merah itu terjadi karena polusi di atmosfer. Semakin berpolusi, maka warna kemerahanjuga semakin menyala, jawab temanku itu.

Keluar dari gang, kami berjalan menyusuri sebuah taman di tengah kota dengan pepohonan yang belum teramat rindang. Luas arealnya mungkin sekitar dua hektare. Taman itu didesain menjadi persimpangan melingkar, dimana kendaraan yang lalu lalang pasti melewati. Di tepi-tepinya ada jogging track tapi kami tidak menuju ke sana. Tatapan kami tertuju pada rumput hijau. Pikiran kami sama. Aku dan dia berbaring di atasnya dan menghadapkan wajah ke langit malam. Kami menyaksikan bintang-bntang berkelap-kelip meski kalah dengan kilauan lampu kota. Polusi cahaya ini memang memuakkan, kata kawanku. Ia menggerutu kesal karena banyaknya lampu di tengah kota justru mematikan keindahan malam ini. Kami hanya bisa bisa melihat sebagian kecil bintang saja. Dari sebagian kecil bintang itu, sebagiannya lagi membentuk sejumlah pola. Pola itulah yang dinamakan rasi bintang. Aku berkata padanya bahwa ada 88 rasi bintang yang berhasil diidentifikasi dan diakui ilmuan se-dunia. Apa kamu pernah melihat Aldebaran? tanya dia. Aku berbalik heran. Iya, Aldebaran. Salah satu gugus bintang paling terang yang bisa terlihat dari bumi. Bahkan dengan mata telanjang. Seandainya saja tidak ada polusi cahaya bodoh seperti ini, ia menggerutu lagi.
Dahulu nenek moyang kita menjadikan bintang sebagai navigasi, kata kawanku melanjutkan. Bahkan karena keabadian bintang-bintang itu, mereka mengarang-ngarang kisah heroik, dramatis bahkan romantik yang memukau pada kita hingga saat ini. Maksud kamu? aku bertanya heran. Terbayang enggak, betapa kreatifnya nenek moyang kita. Karena bintang mereka bisa menentukan arah jalan pulang, bahkan dari bintang pula mereka menemukan pencerahan sipiritual, jawab temanku. Ia berkata lagi setiap bintang punya pola yang sama dan bertahan hingga jutaan tahun. Bahkan sebelum kelahiran manusia, bintang-bintang itu sudah lebih dulu ada. Dimana ada bintang, disitu ada satu galaksi yang hidup, seperti halnya bima sakti dimana matahari menjadi pusat tata surya. Bintang itu melahirkan kehidupan. Maka jangan heran, dimana ada bintang pasti ada kehidupan bersemayam di sekitaranya. Pernah enggak sih kamu memikirkan hal itu? Itu kan wow banget. Kita ini ternyata bagian dari bintang-bintang yang berada di luar sana. Yang kilaunya butuh jutaan tahun cahaya untuk bisa terlihat di bumi.

Aku semakin berat memikirkan kata-katanya. Di tengah kebosananku dia tetap bersemangat melanjutkan. Yah, aku hanya sekedar meghormati dia bicara. Percaya tidak, ia memiringkan badannya di hadapanku, Kita ini adalah anak-anak bintang.Aku sontak menjawab tidak percaya. Apa argumen dia? Tanyaku balik. Lalu dia bangkit dan duduk. Temanku berkata bintang pertama kali lahir melalui proses supernova, sebuah ledakan maha dahsyat yang panasnya bahkan sejuta kali panas nuklir. Dari situlah awal mula kehidupan kita. Ketika bintang lahir, benih-benih kehidupan bertebaran. Kita pun ikut lahir di semesta ini, kata temanku itu. Ada rasa decak kagumku padanya mengenai pengetahuannya tngang bintang. Di satu sisi pembahasan itu membosankan. Lebih tepat menjadi dongeng sebelum tidur. Namun justru ada sisi menarik. Bahwa kita merupakan bagian dari bintang bagiku ada benarnya.  Aku pun membalas penjelasan panjang lebarnya. Ya, kamu benar. Kita adalah bagian dari bintang, sahutku. Bintang melemparkan atom sebagai pembentuk dasar planet. Atom-atom itu lalu tersusun secara rapi menjadi materi-materi pembentuk planet tempat kita bertopang hidup. Ya, kita memang bagian dari bintang. Tapi kamu tahu yang paling penting dari itu? tanyaku. Apa? Aku merasa kalau atom-atom di di dalam tubuhku adalah bagian dari bintang itu. Aku merasa, seperti berhubungan dengan mereka, para bintang dan ikatan seintim ini sangat sulit dijelaskan dalam bahasa apapun.
Ketika aku merasa kecil, aku duduk sebentar sembari menatap langit dan bintang, lalu aku membatin. Aku adalah bagian dari semesta yang luas ini. Bahwa, aku sama besarnaya dengan bintang-bintang di luar sana, entah itu aldebaran, entah itu debu nebula, entah itu dari sabuk orion atua gugus manapun. Saat aku melihat bintang, aku tidak lagi merasa kecil.
Temanku lalu berbaring lagi di sampingku dan kembali menghdapkan wajah ke langit. Kawanku, kata dia, Akhirnya kamu menemukan esensi dari kehidupan ini. Jangan pernah merasa kecil apalagi berkecil hati. Kita sama besarnya dan terangnya dengan bintang di sana.
===== Di seberang taman, sepasang sejoli berjalan bergandengan menatap heran. Tak cuma dia, kerumunan lain yang melintas taman pun demikian. Seorang ibu yang kebetulan melintas bersama anaknya memilh berjalan cepat ketika melintasi rumput dimana seoang lelaki tengah asyik berbaring dan bergumam sendiri. Bu, orang itu ngapain baring-baring di situ, ngomong sendirian? Enggak tahu ibu nak. Udah, enggak usah diurus, ayo cepat jalan nanti kita dikejar, jawab si ibu.
Lelaki itu tetap berbaring di atas rumput, bergumam sendiri dan sesekali berdecak kagum dengan langit-langit malam yang hanya tersisip sedikit bintang.

Comments