ANTARA KERESAHAN DAN HARAPAN: CORETAN ANTO NARASOMA



[24/8 08:01] Esai Anto Narasoma: HB JASIN

di lumbung
hb jasin para penyair
resah menatap
bayangbayang pudar
sebelum senja
tiba

kertaskertas kusam
gudanggudang apeg
berparfum debu
dan sawangsawang
ialah ornamen
sejarah sastra
berderai air mata

para penyair terduduk
di kursinya masingmasing
dan bingung apa
yang sedang dibicarakan
tentang guruguru bahasa
yang tak cakap
memutar pena
dan pelajaran yang
sibuk lomba

para penyair resah
memandang wajah
hb jasin lelah
memikirkan kalian
yang kian berjarak
dengan jiwa

katakanlah kepada kami
wahai engkau yang
dijuluki paus sastra:
apakah darah kami
kurang deras terkuras
ataukah keringat kami
kurang keras diperas
sedangkan kau saksikan
sendiri kami memikirkan
puisi hingga pias wajah
kami dan tempias segala
maut dan bau kubur
para penyair kami
yang lebih dulu

hb jasin, hiduplah kembali
dan ajaklah kami
memasuki pantunpantun
gurindamgurindam
selokaseloka
hingga tuntas resah
di dunia

Melawai, 2018



MEMBACA puisi  Thobroni  bertajuk "HB Jasin" ada kesan  bimbang dan harĂ pan. Sebab penyair mencoba memehami kekurangan yang dirasakannya. Padahal sebagai sesepuh dan praktisi sastra,  HB Jassin sudah berusaha sebisanya untuk mengibrak-abrik dan neluruskan bagaimana cara menulis puisi Indonesia yang baik sesuai estetika perpuisian.

Namun dalam perjalanannya,  prekuensi sastra (puisi) di Indonesia terbentur masalah kualitas estetis sesuai standar.

Apakah kualitas atau mutu puisi kita tidak memenuhi kriteria kualitas yang diharapkan.

Secara general,  tidak semua hasil karya itu  jelek atau tidak bermutu. Hanya ada beberapa karya yang membutuhkan perhatian agar dapat lebih ditingkatkan kualitas estetikanya.

Fakta inilah yang dikemukakan penyair  dalam puisinya ini...

Dari bait  pertama puisinya Thobroni menyatakan kegelisahannya...

di lumbung hb jasin/ para penyair resah menatap/bayangbayang pudar/ sebelum senja tiba..

Dari larik awal disebutkan...di lumbung hb jasin/ para penyair resah menatap/ bayangbayang pudar sebelum senja tiba.

Dari komposisi ide dan isi puisinya, Thobroni  memandang bayangbaayang pudar sebagai sesuatu yang belum bisa dicapai, terutama terkait masalah isi dan tujuan puisi (sense and intention).

Sebagai generasi penerus (dari kritikus HB Jassin), Thobroni mencoba bangkit untuk penyadaran diri agar  mampu mencari celah untuk menulis ide dengan mutu yang baik.

Pada bait III penyair mencoba menghadirkan persepsi tentang harapannya.....
para penyair resah/ memandang wajah/ hb jasin lelah/ memikirkan kalian/ yang kian berjarak/dengan jiwa...

Inilah dasar pikiran dan harapan penyair agar menulis itu tak  sekadar menumpahkan ide,  tapi kemampuan penyair yang mampu untuk mengelola rasa (feeling) sehingga ide itu dapat dikembangkan sebagai sastra (puisi) mencerdaskan.

Memang,  menulis pusi itu tidak sekadar mengungkap ide. Tapi harus dicoba bahwa kegunaan ide tersebut mampu menjadi nasihat bagi diriinya sendiri. Jika sudah tercipta sasta yang mendidik,  maka aplikasinya bisa mncerdaskan kehidupan orang lain.

IDE CERDAS
        Ide yang cerdas dalam puisi sesungguhnya  adalah sesuatu nilai hiidup yang berisi pengalaman batin mendalam.

Bahkan konteks terbaiknya adalah nilai pendidiikan untuk mendidik diri sendiri agar menjadi lebih arif dan bijak.

Nilai kebaikan ini akan dilebur ke dalam ruang estetika yang kaya keindahan nilai pengetahuan tentang seni kata-kata   (estetika poet).

Seperti diungggkap  IA Richard, keutamaan seorang penyair menghadapi ide di dalam batinnya adalah apa manfaat iide tersebut bagi diri sendiri. Sebab apabilla manfaat itu berkaitan dengan kebutuhan diri sendiri, maka nilainya akan bermanfaat bagi orang lain.

Mutu inilah barangkali yang dimaksud  penyair, nilainya akan  berimbas ke kualitas karya.

Apalagi selama puluhan tahun HB Jassin sudah mendedikasikan hidupnya bagi kehidupan sastra Indonesia. Paus sastra Indonesia itu kerap kali membingkar habis karya-karya penyair ternama untuk mengembalikan format isi syairnya bagi pendidiikan (nilai etik dan seni sastra).

Terkait nilai karya saat ini,  Thobroni yang rajin menghimpun puisi sejumlah penulis muda itu 'kecewa' ketika merasakan mutu isi puisi yang  dihimpunnya tak sesuai kualitas yang diperjuangkan HB Jassin.

Karena itu Thobroni berani mengumbar hatapannya kepada Jassin (almarhum) agar sang Paus akan memberi masukan-masukan estetis untuk meningkatkan kualitas karya anak-anak muda.

.. katakan kepaa kami/ wahai engkau yang/ dijuluki paus sastra / apakah darah kami/ kurang deras terkuras/ ataukah keringat kami/ kurang keras diperas/ sedangkan kau saksikan sendiri/ kami memikirkan puisi hingga pias wajah/ kami tempias /segala maut dan bau kubur/ para penyair kami yang lebih dulu...dan seterusnya.

Ketidakmampuan Thobroni sebagai penyair membuat  dia mengeluh. Padahal dia sudah mencoba menafsirkan semua karya agar leluasa untuk meningkatkan kualitasnya. Tapi ia tak kuasa melakukan itu.

Dari sinilah penyair menyerukan agar sang paus hidup kembali untuk memberitahukan cara bagaimana menulis puisi yang baik....

hb jasin, hiduplah kembali/ dan ajaklah kami/memasuki pantunpantun/ gurindamgurindam/ selokaseloka/ hingga tuntas resah di dunia....

Begitu tingginya keinginan penyair agar dirinya (mengajak semua penyair) mampu berkarya yang baik dan berkualitas sesuai standar karya puisi Indonesia.

Memang mutu sebuah karya tak dapat ditenukan harus seperti ini atau seperti itu. Namun ketika kita membaca dan menelaah suatu karya, kita marasakan tahap kualitasnya sehingga kita berani mengatakan, karya itu sangat baik dan berkualitas.

Bisa jadi, selain isi puisinya akan  beersentuhan dengan nilai kesahihan diri, nilai estetikanya sudah dirasa sesuai aturan kesastraan.

Meski demikian, karya sastra yang baik, terutama puisi, tak dapat dikatakan berkualitas apabila hanya dirasakan dari satu aspek semata.

Subagio Sastrowardoyo dalam tulisannya "Efistemologi: Suatu Masalah dalam Kritik Sastra, menjelaskan....jangan kita menilai suatu karya menurut dampaknya saja kepada pembaca. Kita tidak dapat menyatakan hasil sastra bernilai karena pembacanya terpikat sehingga pembacanya harus membacanya secara berulang-ulang, melelehkan air mata atau menjadi kesat tenggorokannya....(Horison XXV/833 Nomor 12 Desember 1990).

Mnurut Subagio, puisi yang berkualitas itu tak hanya mengundang simpatik pembacanya sehingga mereka lesap dan lebur ke dalam isi yang terkandung di puisi itu. Yang jelas dari perbincangan dengan Dr Tarech Rasyid (pengamat perkembangan sastra Indonesia dari Universitas IBA Palembang), jika isi puisi seorang penyair mampu menggugah dan terinspirasi bagi pnyair lain untuk ikut menulis,  maka puisi tersebut bisa dikatagorikan sebagai hasil sastra yang berkualitas.

Terkait soal itu, Thobroni resah menyaksikan hasil karya dari sejumlah penulis muda yang isi karyanya jauh dari standar kualitas.

Apakah ini kesalahan yang dilakukan penyair-penyair terdahulu sehingga tidak mnciptakan iklim berkarya yang kondusif ?

Peertanyaan inilah barangkali yang melandasi dirinya untuk menulis puisi (protes) ditujukan ke HBB Jassin tersebut.

Dari tuturan puisinya, ada catatan yang perlu diperhatikan Thobroni Ambau sebagai praktisi yang begitu aktif memandu dan mendorong kreativitas generasi muda (membuka ruang Sahabat Puisi Indonesia) untuk berpuisi.

Misalnya sebutan bagi sesepuh sastra Indonesia HB Jasin. Harusnya HB Jassin, karena nama seseorang tak boleh dikurangi dari format hurufnya.

Selain itu ada kata...gudanggudanh apeg..dst. Mestinya apek. Jika penyair bisa memperhatikan hingga sekecil itu, puisi ini sangat baik dan patut menjadi contoh bagi penulis pemula untuk menjadi penulis puisi (penyair)

Palembang, Juli 2028


Anto Narasoma, penyair tinggal di Palembang

Comments