BIJI DURIAN: CERITA PENDEK ANTO NARASOMA, PALEMBANG



SEJAK ditinggal ayahnya meninggal, keadaan keluarga Totok semangkir tak karuan.

Ibunya perantau dari Tasikmalaya, Jawa Barat,  tak mempunyai famili di daerah ini.

Totok anak nomor dua lelaki sendiri. Empat di antara perempuan. Ketika ayahnya wafat,  Totok baru berusia delapan tahun.

Aminah, kakaknya terpaksa harus berhenti dari sekolahnya. "Saya harus mengurus adik paling kecil," ujar Aminah kepada Totok. Air matanya mengucur ke pipi.

Keadaan mereka prihatin sekali. Sejak pagi hingga malam selepas Isya barulah ketemu nasi. Sepanjang hari mereka harus "puasa". Ah, betapa pedihnya.

Padahal lingkungan di tempat tinggalnya banyak orang kaya. Ada pengusaha kayu,  pejabat pemerintah serta pedagang kain ternama. Tapi semua itu tak peduli dengan rasa lapar yang melanda Totok dan keluarganya.

Selepas pulang sekolah, Totok harus buru-buru membantu ibunya berjualan kantong semen untuk wadah beras, kopi, ikan asin dan bahan pangan lainnya.

Kertas semen sebagai bahan pembuatan kantong itu Totok beli di sejumlah proyek bangunan di kotanya. Kemudian kertas semen yang telah ia buka itu Totok bersihkan di pelataran kuburan tua, pada sore harinya.

Hari petang dan cuaca mulai gelap tak dihiraukan Totok. Ada rasa takut di hatinya saat itu.  Tapi diepisnya. Ah, setan, hantu dan jurig di komplek pemakaman ini adalah sahabatnya.

Sebab jika hari itu tumpukan kertas semen yang ia beli tak dibersihkan,  maka ibunya tidak bisa berjualan. Dampaknya,  mereka pun tak makan.

Itulah kerasnya hidup. Suasana lingkungan tak peduli, nasibnya pun membawa posisi Totok ke ruang-ruang kesejahteraan.

Biarlah, ini sudah nasibnya, ujar Totok berbincang ke hatinya sendiri. Anak laki-laki berusia 10 tahun itu memiliki jiwa besar dan bersikap dewasa sekali.

Sejak pagi, Totok gelisah. Ia tidak dapat berpikir lebih baik. Sebab perutnya belum diisi dari malam tadi.

Ia duduk di tepi sungai di belakang rumahnya (ruang petak di bawah kolong rumah panggung orang yang ibunya sewa).

Air mata Totok mengucur membasahi pipinya. Ia sedih sekali. Setiap pagi ia bekerja sebagai penjual roti goreng dan panggang. Jika membawa 100 roti, untungnya 10 potong. Untungnya ini ia sisihkan untuk ibu,  kakak dan tiga adik perempuannya.
Sedangkan Totok sendiri tak makan apa-apa.

Air sungai mulai pasang. Totok masih betah duduk sendirian di dua keping papan sebagai jembatan jamban warga.

Hari sudah tengah hari. Adiknya paling kecil menangis. Suara tangisnya terdengar hingga ke tempat ia termangu sejak tadi. Totok beranjak dari duduknya. Ia mendatangi adiknya. "Ada apa adikku?" tanya Totok.

Adiknya paling kecil itu mengatakan lapar. Ia ingin makan. Ah, alangkah sedihnya hidup ini?

Totok melihat wadah beras di belakang dapurnya, ternyata sebutir beras pun tak ada lagi. Masya Allah!

Totok menenangkan adiknya.  "Coba nanti kakak cari utangan dahulu, ya dik?" begitu Totok menenangkan tangis adiknya.

Ia tak tahu ke mana mencari tempat utangan beras. Mau ke orang-orang kaya yang hidup di lingkungannya? Ah tidak! Tak ada seorang pun yang peduli dengan nasib kekuarganya yang miskin dan papah itu.

Ia kembali ke pinggir sungai. Totok kaget,  ada biji-biji durian yang timbul di permukaan sungai,  mengarah ke diriinya. Tanpa berpikir panjang, Totok mencoba menghimpun biji-biji durian tersebut.

Ia mengambil ceting  (wadah nasi dari aluminium).  Biji-biji itu ia himpun dan dibawanya pulang.

"Dik, kita makan biji durian ini saja, ya? Nanti abang masak,"  ujar Totok menenteramkan adiknya.

Kompornya tak ada minyak tanah. Totok segera mencari potongan kayu bakar. Dengan serpihan  plastik kantong  kresek,  biji-biji  durian itu ia rebus setekah sebekumnya dibersihkan dahulu.

Ya Allah, dalam kesulitan seperti ini,  Kau telah menolong keluargaku. Terima kasih Tuhan-ku.

Orang-orang kaya yang ada di kingkungannya tak peduli dengan nasib keluarganya. Hanya Allah yang memberikan rezeki itu. Ah, Alhamdulilah, ya Roob. (*)

Juni 2018

Comments