MAKNA DI BALIK CINTA



Cinta hanya seucap kata yang tertuang dalam beragam bentuk sikap  dan gerak tubuh yang terkadang penuh isyarat sensasional. Libido sudah pasti bermain di dalamnya. Ada yang bisa menahannya dengan perilaku puritan atas nama agama, ada juga yang frontal mengatakan bahwa cinta harus diungkapkan dengan sepenuh hati, tak perlu basi-basi dan penuh kemunafikan. Cinta memang selalu indah untuk dibaca sekaligus dikenang.

Seperti cinta Romeo dari keluarga Montague dan Juliet yang berdarah Capulet, mereka adalah cinta penuh kekisruhan yang berlatar belakang perselisihan keluarga dan juga perjodohan, cinta yang terjadi tanpa reserve, hingga ajal menjemput. Kematian yang tragis akhirnya memusnahkan semua bayang indah ketika raga masih bersatu dan cinta tinggal berakhir pada kata, kata yang selalu membuat seseorang mengenangnya dengan segala keindahan yang ada di dalamnya.

Adakah cinta kekal bersarang dalam raga manusia ketika waktu memenggal langkah demi langkah yang tertuang dalam lintasan peradaban? Jawab itu terkadang bernada positif kadang pula sumir yang di dalamnya mengandung ketidak pastian dan kedangkalan dalam memahaminya. Cinta bisa pula menjadi bias ketika modernisasi mencengkeram seluruh indera yang mematahkan akal sehat sehingga yang muncul adalah pembenaran demi pembenaran. Ketika hati dan rasa telah tertutup oleh kehidupan materialisme yang mengarah pada hedonisme, cinta sejati yang dahulu terucap dalam janji suci sebuah ikatan yang bernama perkawinan, tertutup oleh pulasan-pulasan pengertian yang diciptakan untuk membenarkan pemahaman apa esensi yang sesungguhnya yang paling hakiki dari cinta.

Ketika cinta tak lagi menjadi sebuah lembaga yang dikukuhkan dalam ikatan pernikahan yang konvensional, maka kenangan yang pernah tercipta dari cinta itu sendiri menjadi pupus. Perselingkuhan, pernikahan kembali atas nama agama dan rasa iba terhadap nasib perempuan, terutama para janda muda dan anak-anaknya, telah menjadi sebuah pembenaran diri yang dipenuhi oleh argumen-argumen ‘kuat’ atas nama pengorbanan. “Jika kamu mengijinkan aku menikah lagi, maka kamu akan masuk surga” kalimat itu telah menjadi semacam kartu truf yang sangat potensial untuk menggugah rasa dan nurani terdalam dari seorang perempuan.

Terlepas dari itu urusan agama atau hanya dalih untuk membenarkan sebuah perilaku yang bermuatan pemaksaan tersamar, maka penderitaan secara psikologis tak terlintas di benak dan pelaksanaan dari libido yang menggelegak dan terselubung, bisa terlaksana dengan baik. Istilah yang ditulis isteri seorang artis penyanyi dengan “menumpahkan sperma ke lubang lain” adalah satir yang sangat menusuk buat si pelaku perselingkuhan maupun yang menjadi sosok penyebab perselingkuhan itu sendiri, jika mereka memiliki hati nurani yang membekas hingga membuat mereka malu, mereka akan sadar bahwa banyak luka yang telah ditorehkan. Di sini kisah cinta pada pasangan terdahulu yang pernah terucap dengan perasaan menggebu hilang tanpa bekas. Dan cinta raib tak meninggalkan sisa atau cerita, tidak seperti kisah Romeo dan Juliet atau Sam Pek Eng Tay.

Cinta yang romantis atau gairah cinta yang menggebu-gebu  dianggap penting di Amerika. Namun demikian, revolusi tentang percintaan yang diam-diam terus berjalan, berperan lebih besar dalam menghancurkan sebuah ikatan pernikahan. Di sana ada sekitar 400.000 perceraian yang terjadi setiap tahunnya. Angka ini lebih dari jumlah perceraian yang tercatat di seluruh dunia, di luar Amerika. Problematika pasangan suami-isteri yang selama berabad-abad menjadi problematika terselubung yang saling menutupi, sejak kemunculan media sosial dan era tekonologi informatika, telah mengubah dan menelanjangi kehidupan rumah tangga secara konvesional itu sendiri. Pasangan yang tersakiti akan berubah menjadi singa yang liar setelah kenyamanan hidup pernikahannya dicemari oleh orang-orang luar yang menjadi penggoda sekaligus pemikat  yang mengandalkan ‘cek’ yang ada di selangkangannya. Istilah ‘pelakor’ (perebut laki orang) mulai menjadi julukan yangmengasyikkan bagi si pelakunya. Terlebih lagi bila ia melihat mangsanya adalah seorang suami dengan jiwa yang yang lemah, mata keranjang dan berpikiran hanya seputar libido seksual semata dan tentunya berharta.

Keretakan di dalam keluarga secara psikis akhirnya memengaruhi kemampuan anak-anak di dalam bersosialisasi. Seorang ahli psikiatri asal Inggris, John Bowly dalam tulisannya yang berjudul Maternal Care and Mental Health menyatakan bahwa figur ibu dengan anak di masa balita sangat penting. Kurangnya kontak antara ibu ketika ia bercerai dan menyerahkan anak-anaknya pada pengurusan sang ayah dan ibu yang baru, akan mengakibatkan konflik besar antara keinginan anak untuk dicintai dengan ketidakpercayaannya pada lingkungan sekitar yang dianggapnya tidak mengacuhkan keberadaannya. Sehingga dengan melihat kenyataan yang ada, yang diperlihatkan dari perselingkuhan orangtuanya (dalam hal ini ayah), maka si anak akan bereaksi dengan berbagai defiasi ekstrim mulai dari ketidakmampuannya untuk mencintai dan dicintai orang lain, hingga akhirnya perilaku-perilaku balas dendam atau mengasingkan diri dari masyarakat menjadi jalan satu-satunya untuk terbebas dari kehidupan ‘sengkarut’ yang ia hadapi di keluarganya. Tak jarang si anak yang menderita penyakit psikis, berubah menjadi ‘psikopat terselubung’ yang memiliki kepribadian ganda, kemudian bermain dengan kepribadiannya dengan berbagai sosok yang ia perankan di ruang imajinasinya (ingat novel Sybil dengan 16 kepribadian kalau tak salah). Tak jarang diam-diam ia menjadi pembunuh yang berbahaya akibat dari tumpukan ‘luka batin’ yang dideritanya.

Sedangkan konsep tentang cinta itu beragam. Cinta memiliki ruang instingtif dan permainan tersendiri untuk meningkatkan tentangan dan ketertarikan dalam pencapaiannya, jalan yang ditempuhnya lebih manipulatif dari sekedar kebenaran intelektual yang singkat dan sempit. Namun cinta juga memiliki tujuan-tujuan emosional yang luhur yang harus diperhitungkan. Ketidakpercayaan fundamental perempuan terhadap laki-laki memang didasarkan atas prinsip pelacuran  dan hal ini memang kompleks bagi perempuan. (Floyd Dell, hal 99).

Sedangkan Leo Tolstoi menuliskan dalam kalimat-kalimatnya bahwa Aku tidak tahu apa yang orang maksud dengan cinta, jika cinta adalah hal-hal yang sudah kubaca dan kudengar, maka aku belum pernah mengalaminya. Meski demikian, pernyataan Tolstoi ini berbanding terbalik dengan kehidupannya, ia justru di usia tuanya masih memiliki hubungan asmara dan gairah birahi dengan seorang perempuan yang menjadi selingkuhannya, dan dalam novelnya yang berjudul The Devil, ia menyerahkan pada pembaca jalan mana yang harus ia tempuh, apakah memunuh kekasih simpanannya yang miskin  yang menjadi obyek hawa nafsunya atau meniadakan hasratnya dengan menghancurkan dirinya sendiri? Cinta adalah hidup itu sendiri di dalam kesatuan aktualnya, begitu kata Paul Tillich.

Lalu apa kaitannya cinta dengan ‘musim kawin’? Pada hewan musim kawin itu alamiah, hewan diberi kesempatan memilih, tapi juga membatasi hasrat seksual di luar musim kawin, dan penggunaan alat kelamin sebagai alat seksual termasuk kompetisi mendapatkan pasangan dalam hal seks, hilang begitu saja dalam kehidupan hewan. Ini diakibatkan karena adanya ancaman dari musuh  di luar komunitas hewan itu, juga insting dalam diri hewan tentang musim kawin. Sedangkan pada manusia, hasrat seksual tidak ditentukan oleh musim kawin atau gejala tubuh. Manusia bisa berhubungan seks kapan saja, hasrat seperti ini dapat mengesampingkan kepentingan-kepentingan lain dan menghilangkan batasan-batasan yang ada. Impuls inilah yang menguasai dan menghisap manusia, juga ikut campur dalam tindakan manusia dan dapat menghancurkan segala jenis asosiasi, menciptakan kekacauan dalam diri, dan mengundang bahaya dari luar, dalam hal ini poligami. Perkawinan antar manusia bukan saja akibat dari hasrat instingtif, akan tetapi juga dari persyaratan yang begitu kompleks  dan setelah perkawinan resmi melalui perjalanan cinta yang terkadang penuh liku, ikatan dan hubungan timal-balik harus terlaksana. Di dalam hal ini, perceraian seringkali terjadi karena pihak ketiga.

Mengacu pada beragam peristiwa yang terjadi dewasa ini dan menjadi viral di sosial media tentang poligami dan perselingkuhan, barangkali pendapat Simone de Beauvoir patut disimak, ia menyatakan bahwa dibanding perbedaan fisik, perbedaan situasi eksistensial antara laki-laki dan perempuan lebih memengaruhi konsep cinta di antara mereka. Tanpa cinta perempuan dianggap tidak eksis, sedang laki-laki yang sedang jatuh cinta merasa memiliki dan membuat perempuan yang dicintainya jatuh ke dalam eksistensinya, sementara perempuan menjalani takdirnya untuk mengabdi pada laki-laki yang dicintainya. Meski keadaannya seolah-olah perempuan itu lugu dan mudah diperdaya, ia sesungguhnya penuh dengan kasih sayang, dan dengan kasih sayang yang dimilikinya, perempuan akan memuliakan ketergantungannya pada laki-laki. Sesungguhnya perempuan adalah mahluk yang perkasa, ia yang sedang jatuh cinta merasa bahwa dirinya sangat berarti dan dihargai, sehingga pada akhirnya ia bisa mengidolakan dirinya sendiri lewat cinta yang ia curahkan itu. Ia sangat senang karena orang yang melihat nilai-nilai itu adalah kekasihnya sendiri, yaitu suaminya.

Apabila perjalanan cinta porak-poranda hanya karena salah satu pihak dalam hal ini suami menyalahgunakan kepercayaan yang sudah diberi, apakah hati yang sudah retak dan hancur itu bisa direkatkan kembali? Pertanyaan itu hanya bisa dijawab oleh mereka yang mengangungkan cinta dalam kehidupan berumahtangga mereka. Mereka sadar, bahwa jika remah-remah luka itu kian dalam berserakkan, hal itu akan menuju kehancuran yang mengorbankan banyak pihak.  Untuk menangulanginya, maka kesadaran masing-masing pihak dalam hal ini suami-isteri di dalam menjaga  perjalanan cinta mereka yang kokoh harus terus dipupuk dengan berbagai cara, agar cinta itu sendiri bisa bertahan dan menetap pada jalan yang tepat untuk didiami.  ***

Depok, Agustus 2017


FANNY J. POYK, penulis tinggal di Depok


Ilustrasi wikipedia/ yuk klik iklannya

Comments