LAZUARDI DALAM SIKAP DAN KEKAGUMAN DIRI




PROGRES terjadinya keiindahan alam setiap hari, merupakan perputaran kehidupan dalam kehidupan ini.

Wajar apabila setiap pagi dan petanghari cuaca dan keindahan langit begitu mempesona perasaan manusia.

Ini pula yang dirasakan Edith Agustya yang diungkapnya melalui puisi bertajuk "Lazuardi".

Apakah ada nilai kepribadian sama antara alam dan manusia dalam peputaran kehidupan imi?

Meski tak sama, namun rotasi alam yang melukiskan keindahan di cakrawa tentu sangat memikat perasaan manusia.

Psikolog Amerika William James (1842-1910) mengatakan, hakikatnya jiwa manusia itu dilengkali dengan keinginan dan nilai pengetahuan.

Dari celah inilah munculnya kekaguman diri manusia pada alam dan lingkungannya.

Sebagai manusia (penyair) yang dilengkapi keinginan dan pengetahuan, lukisan alam di cakrawala lepas (lazuardi) menjadi sasaran kreativitasnya.

Dari puisi "Lazuardi" ini, beberapa kali ia menyatakan lazuardi sebagai fokus sasarannya dalam mengungkapkan estetikanya melalui pilihan kata untuk menyeimbangkan isi pikiran dan nilai-nilai keindahan alam yang ia saksikan.

Puisi Lazuardi yang terdiri dari empat bagian (Lazuardi, Lazuardi,  Lazuardi 3 dan Lazuardi 4) mengisahkan tentang cintanya kepada Sang Pencipta.  Pada Lazuardi (awal)  Edith menulis.....

Di batas lengjung lazuardi/ merah saga membayang/ Semburatkan percik asa/ Melangitkan rindu terpendam/Oada setiap senja yang melintas...

Perasaan rindu itu sudah begitu menggelayut. Jika membaca dari tulisan lanjutan ia berkisah tentang cinta. Meski itu dinyatakannya kepada Sang Pencipta, tapi dari rindu yang tersirat dibalik ungkapannya ada pendaman rindu kepada kekasihnya.

Meski demikian ia belokkan perasaan itu kepada Sang Pencipa Rindu. Seperti dikatakan Willy Surendra ((WS Re dra),  cinta adalah  modal dasar manusia untuk mengungkapkan kata kata indah dalam tukisannya.

Siapa pun itu, dalam kehidupannya ada saja orang-orang yang cintainya  dengan sepenuh hati. Karena itu gejolak jiwanya akan memberontak dan mngungkapnya kewat perasaan dan perkataan. Inilah yang dikatakan psikolog Amerika Abraham Maslow, getaran itu tercipta karena adanya cinta dan peradaan hati untuk memgungkapnya sebagai fakta kejiwaan  yang terdapat ketukan rasa suka terhadap lawan  jenisnya.

Dalam bagian lanjutan puisi Lazuardi diungkap..

Ujung lazuardi semburatkan kenanan/  Serupa mimpi yang berputar kembali/ Memgisi relung kelam saat malam/  Dalam pendar rindu tanpa ujung :  hanya engkau...

Dari bagian kedua puisi ini ia jelaskan. Semakin menukik keindahan alam tersebut, makin kuat perasaan rindu ( cinta) itu menggetarkan hatinya.
Jadi, sehebat bagaimana pun cara orang ingin menuupi perasaannya, maka sikap dan periilakunya sendiri yang secara perlahan akan mengungkap cinanya setelah berbaur dengan keindahan alam.

Itu pula yang terjadi di dalam diri Edith kwtika ia bercengkrama dengan perasaannya sendiri. Seperti yang diungkap Ibrahim Sattah dalam puisinya "Malam di Dusun Sehabis Hujan"...

dari semak-semak yang basah/ ada desir angin, meski tak kupahami/namun kuhayati.../ -- seakan jejak bulan tak akan basi/ malam dusun yang disejukkan angin dan hujan/mendesak jarak yang masih tinggal..

ada kecintaan terhadap sesuatu terhadap Sang Pencipta dari balik diksi yang ditulis penyair.

Meski berbeda pola dan warna cinta kepada Allah dan kekasih, tapi kadang-kadang nilai ungkapnya ada kemiripan. Hanya penjelasan cinta kepada Allah itu terungkap begitu relijik. Sedangkan kedalaman perasaan cinta itu sama, dalam dan mendebarkan.

Itu pula yang diungkap Ibrahim Sattah pada lirik kedua dari larik pertama dijelaskan perasaannya....ada desir, meski tak kupahami/ namun kuhayati...

Inilah perasaan 'misteri' yang mengetuk-ngetuk hati manusia. Dalam kaitan ini, Edith begitu merasakan ada apa di dalam dirinya. Terutama ketika ia memandang bentangan alam di langit lepas tentang  munculnya peristiwa lazuardi, yang ia dekatkan dengan perasaannya.

Kalau kita rasakan secara sense of human, puisi Edith memiliki kedalaman rasa yang dijelaskannya secara feeling dan intensi yang diarahkan ke gelimang cinta kepada Allah (kekasih).

Begitulah Edith mengarahkan imagery rasa ke tujuan cintanya kepada tujuan yang ia arahkan..

Syahdu suara panggilanMua/ Luluhkan keangkuhan/ Begegas tunduk dalam khusyuk : sujud pannjang....(Lazuardi 3).

Puisi Edith Agustya ini terkesan biasa saja. Namun kekuatannya terletak pada sense estetikanya. Bagaimana dia mengejar ide-ide dengan pemilihan kata yang berkias seni ungkap. Andaikan dia bisa menulis secara terus menerus dengan menyisihkan perasaan hebat dan merasa telah menjadi penyair standar, dia akan tampil lebih baik. (*)

Mei 2018
------------------
Tulisan ini didedikasi untuk memberikan masukan bagi penyair pemula


ANTO NARASOMA, PENYAIR TINGGAL DI PALEMBANG

Comments