PUISI




PUISI| anak-anak semester 1 pada studi bahasa dan sastra, serta pengajaranya, umumnya memahami doktrin penting puisi ini. mereka mendengar doktrin ini dari para guru atau buku teori lusuh yang menjadi babon keilmuan puisi.

dalam hal bahasa, mereka sepakat berbeda adalah hal biasa. Kosakata yang sederhana atau rumit, familier atau asing, lurus atau berbelok, daerah-nasional-internasional, atau apapun jenisnya. Mereka juga sepakat berbeda tentang bentuk dan bagian struktur bangunan. Perbedaan itu telah berlangsung sejak zaman purba, saat mana puisi baru ditulis di dinding gua atau gerbang orang buang air besar. Yang penting ada ide pikiran dan perasaan, bentuk dan kesan. Tapi mereka umumnya bersepaham bahwa puisi sesederhana apapun atau seruwet apapun bahasa dan bentuknya, harus diletakkan sebagai ruang kiasan dan metafor-metafor.



itu artinya, membaca puisi beda dengan membaca berita, laporan penelitian, atau malah kitab suci. Cara menghayati dan memahami puisi berbeda dengan cara memandang tulisan dalam bentuk yang lain, meski sesama khayali. untuk urusan ini, bahkan para pakar sekalipun, harus membutuhkan ilmu bantu untuk memahami jiwa eh puisi. sehingga orang menggunakan stilistika, semiotika, heurmenetika, dan ka ka yang lain.

Dalam hal membaca nyaring dan lantang, termasuk deklamasi dan baca puisi di atas panggung pentas, umumnya dibebaskan gaya dan caranya. Meski tetap ada catatan kepatutan dan kepantasan, terutama adalah terkait penghayatan dan ekspresi di atas panggung. membaca puisi mengenal orientasi: untuk apa kita baca puisi? Meski kerap dikatakan bahwa membaca puisi ya membaca saja. Tapi membaca-puisi-ya-membaca saja itu pun adalah kredo yang lain juga. Membaca puisi adalah artikulasi bahasa kalbu lewat lisan. Yang disuarakan pikiran sekaligus perasaan. Yang dinyaringkan lewat mulut kadang perlu dilengkapi dengan bahasa tubuh, mimik wajah, dan juga kelengkapan lain.

orang bebas membaca puisi di mana saja dan untuk keperluan apa saja. Ia juga bebas membaca puisi untuk orang lain atau untuk dirinya sendiri. ia pun tak dilarang membaca puisi karya orang lain maupun "puisi" sendiri. hanya saja, ruang dan waktu puisi tersebut tidak sama penciptaannya. kadang, untuk dapat "memanfaatkan dan memperalat" puisi karya orang lain, seseorang perlu menemukan "asbabun nuzul dan asbabul wurud" sebuah puisi agar langkahnya memperalat puisi karya orang lain tidak menjadi guyon, bahan tertawa, sasaran cemooh dan olok, atau bahkan caci maki yang meriuhkan ruang tamu kita. Untuk karya puisi sendiri yang dibaca sendiri, tentunya ia sendiri yang memahami. Ketika dibacakan untuk tamu-tamunya, ia pastilah sudah sadar dan insyaf menerima beragam respon. Sebab semules-mulesnya penyair, seresah-resahnya penyair, mereka adalah kaum "intelektual-terpelajar-pertapa".

Cara tamu merespon penyair dan puisinya bukanlah terutama dipicu oleh puisi itu sendiri atau penyair itu sendiri, tapi kerapkali  berakar dari cara menyuguhkan cemilan puisi, atau waktu sarapan puisi yang terlalu siang.

hiruk pikuk tiba di ruang tamu, hingga tampak menjadi serupa ring tinju. Para tamu lain atau para tetangga tak perlu panik, tak perlu bingung, atau ikut-ikutan terbawa tegang. memang begitulah cara para sastrawan dan terutama penyair, merayakan kesunyian. yang anda lihat di panggung sebagai keriuhan itu pada dasarnya adalah ekspresi kesunyian. ruang tamu sastra, khususnya puisi, terbiasa riuh tapi sunyi dan sunyi tapi riuh. meski ruang tamu itu tanpa honor, eh cemilan.

Terutama saya ingin menyampaikan bahwa ruang puisi umumnya dikenali sebagai ruang konotatif meski ditampakkan sebagai hal-hal yang denotatif. masyarakat yang mulai gandrung dengan puisi, dengan semangat literasi, perlu mulai membiasakan diri dengan gaya para sastrawan terutama para penyair menikmati hidupnya. sebab para penyair hidup di awan, di antara batas langit dan bumi, di antara gelombang pasang dan surut, dan kadang menepi di muara.

2018


MUHAMMAD THOBRONI, tinggal di Tarakan. Menulis buku cerpen "Ustadz Misterius" (2018) dan Buku Puisi "Sei Kayan" (2018)


Comments