BAHASA SEBAGAI PEMERSATU KEBUDAYAAN




Jika hendak mengenal orang berbangsa
Lihat kepada budi dan bahasa
(raja Ali Haji, Gurindam Dua Belas, pasal kelima)

Bangsa yang bermartabat merupakan bangsa yang menjunjung tinggi budayanya. Potensi-potensi kebesaran suatu bangsa tidak hanya ditentukan oleh satu faktor. Dengan cara demikianlah suatu bangsa akan mampu menghasilkan suatu warisan yang berharga yang bersifat  lintas generasi. Dalam hubungan ini pula bahasa berperan. Karena, melalui tindakan berbahasa nilai-nilai menjadi terwujud dan terkomunikasikan. Bahasa pun menjadi aspek kebudayaan yang bersifat lintas generasi. Sebagai gurindam yang menjadi entri tulisan mengisyaratkan makna bahwa budi dan bahasa merupakan dua hal yang merefleksikan indentitas kebangsaan. Artinya, makin tinggi budi pekerti suatu bangsa yang diwujudkan dalam tindak ber-bahasa, makin bermartabat dan mulia juga bangsa pemiliknya.

Para patriot bangsa pada masa 1928 dengan kesadaran budaya yang penuh, mengikhlaskan ikatan-ikatan lokalitasnya demi kepentingan bangsa, sehingga lahirlah Indonesia secara kultural. “puisi besar’’ sumpah pemuda yang begitu cemerlang itu niscaya bukan merupakan hasil pemikiran perseorangan, melainkan hasil kerja keras bersama ketika berbagai perkumpulan pemuda berbagi dan konseptual untuk merumuskan kebangsaan, ketanahairan dan kebahasaan berbasis realitas keindonesiaan.

Mereka tidak memiliki niat untuk menjadikan kelompoknya sebagai pemenang. Karena bahwa hidup itu bukan kalah dan menang. Mereka hanya berpikir bagaimana kepentingan bersama dapat dicapai, bagaimana kebajikan social dapat ditegakkan sebagao “saka guru” bagi terbangunnya “rumah besar” bernama Indonesia. Makna nya mereka, kekuatan yang ada dan dimiliki oleh suatu kelompok sebagai sebuah modal memang harus ditransformasikan secara ikhlas dan kepentingan yang jauh lebih penting. Dengan cara demikian, nilai-nilai budaya yang beragam memperoleh rumahnya yang tepat, yakni”rumah besar” yang berdiri kokoh di muka bumi pertiwi sebagai tempat serba-neka budaya bertemu dan menyatu.

Paparan tersebut menunjukkan bahwa kebangunan Indonesia sebagai bangsa jelas-jelas ditopang oleh manusia-manusia yang berjiwa besar, yang menjunjung tinggi nilai-nilai budaya. Dengan kemampuan menghormati dan menghargai kebudayaan sendiri, suatu bangsa niscaya akan mampu mempertahankan diri tatkala bergaul dengan bangsa-bangsa lain secara agaliter.

Hubungan antara individu dan masyarakatnya merupakan hubungan yang resiprokal sehingga secara historis dan sistematis tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Individu akan mampu membangun dan menjaga ekssistensinya dalam masyarakat, dan sebaliknya. Masyarakat tertentu terpresentasikan melalui individu. Karenanya, individual dan social pada dasarnya merupakan manifestasi yang stimulant dan egaliter.

Hubungan antara pendidikan dan kebudayaan dapat diibaratkan sebagai hubungan antar akan dan pohonnya: akar pendidikan adalah nilai-nilai budaya, tetapi sumber-sumber eksternal yang relevan dan berguna untuk tumbuh keluar pun tetap diserap sebagai serapan asupan. Dengan demikian, warga didik yang terlibat didalamnya siap menjadi individu yang tidak hanya mampu bertindak pada tataran sempit, tetapi juga siap dan mampu berkembang dalam konstelasi yang luas.

Akan tetapi jika akar kulturalnya sempit dan miskin, pertumbuhan komunitas dan individu yang ada di dalamnya akan menjadi begitu terikat dan menyakitkan. Untuk menghindari hal itu, juga untuk menghindari jebakan pertumbuhan dan perkembangan yang hanya bersifat teknis jangka pendek, dinamisasi kultural harus dilakukan juga secara berbarengan.

Wawasan budaya dalam praksis pendidikan tidak pernah mengandalkan adanya eksistensi seorng individu yang bebas dari ikatan interpersonal dan pengaruh social. Karenanya, tidak ada alas an yang dapat dibenarkan untuk memanfaatkan situasi semacam itu demi penaklukkan dan atau penguasaan dalam praksis pendidikan, yang perwujudannya bisa berupa pengasingan kelompok-kelompok tertentu, baik yang tertandai secara fisikal, sosiokultural, maupun ideologis.

Dengan cara semacam itu pula, pendidikan benar-benar akan selalu berakar pada matriks kultural. Artinya, ia menjadi sebuah upaya mengidentifikasi, menyusun, memetakan, dan merefleksikan problem dan konflik kemanusiaan, yang kemudian diikuti oleh serangkaian proses eksistensial untuk memecahkanya secara terus-menerus. Misalnya saja, masyarakat pedesaan yang agraris diarahkan oleh seperangkat gagasan kultural yang berbeda denga masyarakat perkotaan yang industrial. Perbedaan itulah yang kemudian diorganisasikan dalam pola yang dapat dipahami melalui dan dalam pendidikan.
Konseptualisasi wawasan budaya dalam pendidikan sebgai jalan menuju terbangunnya genre pendidikan yang khas seperti diuraikan secara ringkas di atas sekaligus mengisyaratkan pentingnya pendekatan multikultiral. Pendekatan ini menghindari sifat satu arah, kognitif, dan ekslusif juga menghindari superioritas, primordialisme, dan ekslusivisme nilai tertentu. Memalui, pemahaman nilai-nilai bersama dan upaya kolaboratif mengatasi masalah-masalah bersama diupayakan, potensi nilai yang bersifat trans di cahayakan.


CAHYA AULIA, Mahasiswa PBSI FKIP UBT. Tinggal di Tarakan


*coretan ini merupakan rangkuman atas materi kuliah umum Prof. Dr. Suminto A Sayuti tanggal 21 April 2018

Comments