PANGGIL AKU PEREMPUAN KOPI: PUISI IDA NURUL CHASANAH, SURABAYA






Rangkaian kata tak senantiasa terlahir dari tetesan gerimis ataupun seruang rindu yang membuncah. Tak juga meluncur dari ruang sepi atau sayatan tangis di rimba cinta.  Namun ia justru bisa terlahir dan menari-nari dari jemari yang melafalkan Cinta sepenuh Cahaya ruh dari tubuh yang senantiasa tak pernah lepas dari sekisah kopi dalam seteguk puisi di setiap jengkal tapak menuju ruang rinduMu.  Senyawa pahit-manis tanpa gula atau bertabur gula, tanpa susu atau semanis susu, tanpa es batu atau berasa es cream, serta mewarna dalam adukan sepenuh cinta atau kocokan shaker selaksa asa…. semuanya telah ia buktikan tak sekedar menumbuhkan energi cinta, tapi juga mampu tuntaskan tarian ruh-tubuhnya yang berproses dalam tapak tiada henti bersama rekor tujuhbelas seperti jumlah rakaat cinta atau pun angka merdeka, yang memang telah membuatnya benar-benar menjadi MERDEKA.  Dalam satu cerita lainnya, ia tertambat pada sejuta pesona yang sembat ditebar oleh sosok yang menjanjikan damai dan mengajaknya bermain-main suara. Sosok yang membuatnya setuju akan sebaris kata tentang secangkir kopi yang senantiasa memberinya sejuta solusi. Rangkaian kata yang tak sekedar mempermainkan suara, tapi ada kejujuran dan kehanifan dalam ruang proses menuju CahayaNya….. Saat ia masih berada dalam serangkaian kisah, Sebelum Cahaya….
Bahkan ia juga buktikan bahwa masih bisa tetap bertahan hidup dengan nafas kopi yang tak meracuni tulang keroposnya di tiap kunjungan therapy tubuh sepenuh ruh yang menjanjikan asa menghirup udara lebih lama. Rekor bilangan ke-tujuhbelas-cangkir-gelas-shaker kopi telah mentasbihkannya dalam aroma khas pada panggilan cinta, Perempuan Kopi…



Berproses menuju narasi kopimu,
Buaya, 2008-2018



(ilustrasi pixabay/ yuk ke bagian bawah blog dan klik iklannya untuk informasi berharga dan mencerahkan)

Comments