NH. DINI: PUISI MAHWI AIR TAWAR, YOGYAKARTA



Selamat pagi pendengar radio Semesta Raya
Telah tiba riap cahaya matahari
Seusai mecium kelopak bunga
Kini singgah di jendela
Membelai kalender di balik lemari
Tempat menyimpan lipatan kenangan hati

Disisirnya cermin retak tak berbingkai
Seusai mencecap dinding kusam
Ia beranjak mengiringi jejak pagi
Melompati rentangan waktu kelam

Alangkah hangat pelukan udara
Ranting luruh dari pohon duka
Yang merambat di dahan usia
Terusir sudah dari dada

Ya, pendengar yang berbahagia
Di sini cuaca sedang cerah
Tapi bagi anda yang ingin berjalan ke batas harapan
Jangan lupa membawa peta
Antena dan pemancar
Biar terpancang sepanjang pandang

Demikian sedikit informasi saya layangkan
Izinkan saya merebahkan kesunyianku di Sendowo
Sebelum rasa sakit dilulur koyo
Marilah sejenak kita berbagi senyuman

Dalam bentangan perjalanan panjang
Sri pemetik bunga Sekayu 
Lintasi ambang pekarangan petang
Meniti jembatan impian sang ibu

Sehabis hujan bayang menggenang
Di balik pintu menuju senja
Dipandanginya lukisan air mata
Di ambang petang ayah dijelang

Pelukan hangat bunda berkecai
Ke tubir sunyi rumah abadi
Dupa mewangi ranting luruh
Lubuk kalbu bersuar suluh
Tembusi kenasi, Sri rahayu
Tinggalkan Sekayu, muasal rindu

Ke Kincir Angin, Keberangkatan menepi
Iringi perjumpaan dua hati
Berselempang rajutan kembang melati
Dalam senarai pupuh Kinanthi

Lamun sira ameguru kaki
Amiliha manungsa
Ingkang becik martabate
Serta weruh ing ukum

Kang Ibadah lan kang wirangi
Sukur oleh wong tapa ingkang wus amungkul
Tan gumantung liyan
Iku wajib guronana kaki.
Sertane kawruhanana 

Akulah Sri dalam cerita
Berjalin rupa antara Jawa dan Eropa
Susuri sebuah lorong di kotaku
Seberangi sungai Siene rantau

Kucari peta pelaut Jules Verne
Dua puluh ribu mill di kedalaman laut
Barangkali di sana bersua Raja Ali Haji
Pelantun gurindam baris dan makna

Pada sebuah kapal kulempar jaring
Giwang kujadikan kail dan pancing
Amir Hamzah hanyut aku
Dalam sajakmu tak kujumpa kalbu

Suatu senja di pelabuhan kecil
Kutandai namanya bukan Chairil
Penyair kusam bertubuh dekil
Menanti Rimbaud di taman eiffel

Aku Dini, Sri penari pipih
Menyanyi sunyi ditinggal kekasih
Di pucuk bunga taman Tuileris
Tangisku pilu di jantung Paris

Siapakah berpaling di sisa hari
Menjanjikan petang dan
Malamku sangatlah sendiri
Mampus hati dikoyak sepi

Adakah pendengar merasai udara
Mengembun dari lumbung Dini
Mengabur dari beranda pagi
Pendengar radio Semesta Raya

Tapi baiklah, pendengar setia
Harap tak usa menggeser gelombang
Sebelum tembang Ngesti Pandawa
Dari jantung kekasih tersayang

Sebab alamat tak pernah tiba
Diharap penerima bersabar sejenak
Dan disarankan menjaga jarak
Dari pertunjukan tarian Subadra

Sri Sindoro, Sri gadis Jawi
Digaris hening pasrahkan diri
Sri tembangkan serat Centhini
Di tubir Merapi cinta berapi

Pendengar radio Semesta Raya
Di rimba birahi mana pun anda berada
Dimohon tidak memetik kenanga
Dari pohon rambat hingga ke dada

Bila mawar tak lagi mekar
Dini 'kan enggan berkabar
Kantil dan melati tumbuh bersemi
Di lubuk Sri sang penari

Satu tembang dendang menggema
Dini harap pendengar bahagia
Bersanding bersama batin dahaga
Sampai menepi kapal di dermaga

Pada Sebuah Kapal
Sri larungkan diri ke dalam laut kembara
Geladak berderak gelombang menggemuruh
Tepian dan pelabuhan semakin jauh
Kenangan, kenangan menjelma sakal
Patahkan dayung hingga terpental

Ke mana tepi mesti dicari
Ke hati jua diri selidiki
Gema gulana tiada arti
Dalam gelombang ajal menanti

Dalam arus Sri menantang
Ombak pasang siap diterjang
Sri gamang menimang gelombang
Terkenang Bunda tempat berpulang

Dari Ngalian Ke Sendowo
Bunda membayang sepanjang jalan
Di tapal batas garis kesunyian
Bundalah, Dini, tempat tumpuan

Dikutip dari buku *Lima Guru Kelana ke Lubuk Jiwa, Mahwi Air Tawar. 2017*.



(ilustrasi gerakan aksara/ yuk ke bagian bawah blog dan klik iklannya)

Comments