MENGHAPUS JEJAK: CERITA PENDEK YUFITA, PONTIANAK



      Jika malam ini aku tak datang, tentu bukan lantaran rindu tersamar cahya rembulan—tapi, ketahuilah wahai kekasih, bahwa aku telah kembali!

       Udara terasa beku. Lampu-lampu jalan muram dalam kesunyian. Selayang pandang bagaikan kota mati di sebuah negeri Antah Berantah; ataukah, ini yang dinamakan sebagai Negeri Kepedihan?
       Malam merayap lambat. Selambat arus kendaraan yang melintas—dan gerimispun mulai menirai kelam. Menghantar gelisah mengembara ke tiap lekuk dan curam hati. Menyembunyikan dirimu entah dimana, tapi kutahu pasti—kau ada bersama bayanganku memeluk kenangan yang bersetia tak mau pergi.

       Jika malam ini aku tak datang, tentu bukan lantaran hasrat menguap bersama angin senja—tapi, biarkanlah ia menautkan diri pada angin kembara, hingga menjadi partikel nyeri yang menghujam tajam!

       Gegar mulutmu saat membaca kalimat itu terpapar jelas di mimpi dan sadarku, As. Aku tahu, saat ini kau pasti sedang mencabik-cabik pesanku—bisa jadi meremasnya hingga lumat dan menjejalkannya ke mulut teddy bear yang sengaja kuletakkan di sudut meja kerjamu—agar begitu kau terjaga akan ketidakhadiranku pada malam berdarah ini—semuanya menjadi jelas. Aku telah kembali!

       Masih bersetia menghirup udara malam yang basah di paru-paru, kulepas pandang pada tepian Kapuas. Tapi, tirai gerimis mengaburkan penglihatan. Menyembunyikan anak tangga dermaga tua, tempat dimana kita dulunya asik merendam kaki, sambil bercerita tentang sebuah negeri yang hanya ditempati dewa-dewi. Kau berjanji akan mengayuh sampanmu ke sana. Membawa serta diriku bersama ratusan kardus janji yang bakal kita semai atas nama cinta.
       “Nyanyikan lagi lagu itu, lagu kita, sayang,” pintamu, sambil mengelus pipiku dengan penuh mesra, “nyanyikan selalu di hatimu—agar kau tak pernah lupa akan kebersamaan ini.”
       Namun, semua itu harus berakhir, As—sebab, jika kita merapat ke sana  maka kita akan kehilangan segalanya bahkan, tidak mustahil—kitapun bakal sirna dalam kesenyapan yang menyakitkan. Meski ribuan kali kau katakan sanggup memikul pedih. Meski berlaksa kalimat kau rangkai dalam manisnya sumpah kasih.

       Maafkan aku, As. Maafkan aku yang tak mungkin bersetia menunggu!

       Enam bulan yang lalu tak sengaja kutangkap bianglala di matamu yang bening kecoklatan. Padahal, matahari belum lagi terbit. Wajah malam masih dipenuhi gemintang yang muram. Awan pekat bergelayut memberat. Dan kita berjarak tak lebih dari setengah siku.
       Aku bergumam dalam gelisah. Bagaimana mungkin pelangi menghiasi cakrawala hatimu, sedangkan saat itu aku sedang bersusah-payah membenamkan tangis pilu. Seseorang di antara kita telah pergi, As—dan ia meninggalkan jejak dalam kebersamaan ini agar dapat terbaca oleh dunia.
       “Kita belum lagi siap, In—buat menghantarkannya menjadi tunas di ladang gersang ini.” Bujukmu menambah pedih. “Tapi, yakinlah, sayang—masih ada esok yang menanti kita buat kembali menyemai bibit-bibit kebersamaan ini. Berjanjilah untuk tetap bersetia menungguku merampungkan segalanya.”
       Hatiku teriris pedih oleh getar suaramu. Jiwaku menguap dalam kesakitan yang tak tertanggungkan. Beribu Tanya menggasak. Berjuta kata melesat dan membentur kepala hingga ke curam hati terdalam—bagaimana mungkin kau dapat membawaku pergi ke negeri Khayali —tempat dimana para dewa-dewi melantunkan kidung surgawi. Kau telah membakar bidukmu; beserta aku di dalamnya yang terkapar nanar menggapai angan.
       Ia telah pergi, Asbi. Tidakkah airmatamu turut menyertainya—ataukah, nuranimu kini telah mati dalam penjara besi kesombongan yang terlampau sering kudengar disebut-sebut sebagai harga dirilelaki?
       Malam bergulir lambat. Merayap dalam senyap—sebab tak lagi kudengar dengkur napasmu di tengkukku. Tiada ada lagi dekapan hangat kala menyambut kelahiran pagi. Hanya desah resahku yang meningkahi kesunyian.
       Rembulan pucat lesi mengambang di ujung pigura kelam. Kakiku masih  berjuntai di anak tangga dermaga tua, tempat dimana biasanya kita membenamkan kecemasan, sambil mengaca diri pada permukaan Kapuas yang tenang. Tapi, wajah Kapuas kini tak lagi sejernih dulu. Tak lagi sanggup mengembalikan diriku saat menatapnya.
       Tiba-tiba jantungku berdesir saat menangkap wajahmu di layar ponselku. Kutahu, kau pasti sedang meradang dalam bilur luka. Harga diri kelelakianmu terperangkap pengap. Tapi, ini bukanlah waktu yang tepat buat berdebat—dan pastinya, aku tak bisa datang memenuhi undanganmu untuk kembali bersenyawa malam ini.
       Dering ponsel semakin menggila dalam genggaman. Kabut rindu memukau angan. Menggasak ruang hampa sanubari dan melesat jauh membentur tebing terjal pada benakku yang kalap dalam keruwetan. Kubenamkan keinginan untuk membaca rangkaian pesanmu—sebab kutahu, itu terlalu beresiko—bisa jadi, langkahku kali ini akan sama tersurut seperti kejadian tempo hari. Saat aku merasa begitu yakin untuk menjauh—tapi, rangkaian pesan dan ratapmu itu—menarik kuat sukmaku untuk kembali larut ke duniamu yang begitu suram tanpa bayangan.
       “Aku butuh pengakuan, As—butuh keberanianmu mengisyaratkan aku dalam berjuta kata.” Raungku padamu di suatu senja.
       Nanar matamu menangkap gelisahku. Gamang mengumpul-satukan kalimat buat menenangkan luapan kecewa yang meledak-ledak di kepala. “Ada apa, sayang? Kenapa jadi sedemikian murka?”
       Aku terluka. Bibirku gemetar dalam bisakepedihan. Dan busa kata yang keluar selanjutnya hanya menambah sayatan baru yang tak kalah pedihnya.
       “Aku tahu perjalanan ini adalah sesuatu yang keliru, As,” paparku usai menyeka airmata, “kita tak mungkin melanjutkannya.”
       “Tapi, kenapa In? Kenapa baru sekarang kau ucapkan—setelah sukma kita tak lagi mungkin diuraikan?” desakmu dengan sorot mata memburam.
       “Sebab aku hanya sebentuk bayangan dalam perjalanan malammu. Aku ada, tapi tak berjiwa. Aku nyata namun tak terbaca—dan aku akan sekelebat lenyap saat terang menantang dunia ragawimu.”
       “Aku mohon, Indri—bersetialah menungguku, meski kutahu itu tak mudah!”
       Aku menggelapar dalam dekapmu. Tergambar jelas di benak bagaimana hangatnya ia menyambut cumbu rayumu. Dan aku merasa terlaknat karena telah tanpa sengaja merampasmu dalam kisah pekasihan semusim ini.
       “Maafkan aku, As—aku tak mungkin lagi menunggu.”
       Kaupun meradang dalam badai kemarahan. Membuatku tersudut takut. Kembali menyurutkan langkah untuk benar-benar melakukan keberangkatan. Bersetia dalam kebebalan yang membius larat. Merasa percuma dan sia-sia sendiri. Karena aku hanyalah sandaran lelahmu dalam kejenuhan menyikapi ledakan cemburu dan belenggu selama mengarungi bahtera bersamanya.
       Raung ponsel melontarkan aku kembali. Menampakkan sederetan pesan yang belum terbaca—sungguh tak ingin kusentuh—bahkan, kini kau seakan gusar menanti jawaban, berulang kali memanggilku lewat senandung lagu kita yang mengiris telinga.
       Kulempar sejauh mungkin jembatan yang menghubungkan hatiku dan  dirimu. Tenggelam dalam kesenyapan Kapuas. Biar tuntas semua resah. Biar tandas segala gelisah. Dan aku merangkak meninggalkan dermaga tua. Menjauhi anak tangga tempat dimana biasanya kita merendam kaki sebelum melakukan ritual persenyawaan laknat.

       Jika malam ini aku tak datang, tentu bukan lantaran cinta remuk oleh kenyataan yang tak tergapai tangan—tapi, ketahuilah wahai kekasih, bahwa aku telah kembali! Kembali kepada keadaan sedia buat meraih kenyataan sebagai sosok perempuan bermartabat!


   (Sekelumit resah dalam kelamnya pigura fantasi; buat As.)
   Pontianak, 9 Mei 1997--Kumpulan Cerpen GEJOLAK.




Ilustrasi carpe diem/ yuk klik iklannya

Comments