IBU: PUISI PRIO SESANTO, TARAKAN




Ibu adalah selalu orang yang melahirkan kita.
Itu pasti.
Tentang melahirkan kita sebagai apa
 dan dalam nuansa apa
 adalah soal lain.
Namun yang pasti,
 seorang ibu adalah seseorang yang melahirkan kita.
 Karenanya, dalam hidup kita,
 kita juga miliki banyak ibu.
 Karenanya pula, dalam hidup kita,
kita telah lampaui banyak kelahiran.
Sebagai bayi -dalam arti sebenarnya-
 aku dilahirkan oleh seorang ibu.
Sebut saja ibu pertamaku.
 Tentu saja melewati tradisi panjang kemengadungan yang beragam,
ngidam, muntah-muntah, bahkan mungkin keluhan sakit.
Aku lahir dengan darah nifas yang membasah,
mengental dan lantas mengering.
 Ari-ariku dipotong dan kemudian
 Bapak menanamnya di halaman samping.
Apalah artinya, tiap kali kutanyakan,
 Bapak pun tak tahu.
Namun biarlah,
ada tradisi yang selalu saja berulang.
Ibu pertamaku adalah seseorang yang benar-benar melahirkanku.
 Dia melahirkanku sebagai manusia dan dalam nuansa kehidupan sejati.
Dia adalah perantara Allah dalam penciptaanku,
di samping Bapak tentu saja.
 Jadi seluruh kehidupanku tentu
tidak bisa begitu saja lepas dari kehidupannya.
Adalah bisa jadi itu sebuah peristiwa kecil,
Namun sebenarnyalah peristiwa kecil
Itulah yang selanjutnya menentukan jalan sejarah.
Tanpa peristiwa kecil itu,
bisa jadi jalan sejarah tak lagi lempang
 atau benderang atau bahkan sangat berlainan.
Jadi, dialah ibu pertamaku.
 Yang pertama memang bukan berarti yang terbaik,
namun ia tetaplah yang pertama.
 Selalu terasa lebih indah menjadi yang pertama,
meski akhirnya bukanlah yang terbaik.
Namun, perjalanan hidup mengajarkanku
bahwa beliaulah yang terbaik.
 Beliau merestuiku dengan doa-doa di ujung malam,
mengurapiku dengan tirakat yang tak berkesudahan,
mentahbisku dengan cinta yang sempurna.
Kelahiran keduaku diawali oleh tradisi kemengandungan yang amat berbeda.
 Aku jadi agak jauh dari Ibuku.
Dia sibuk membantu Bapak
 menghidupi kami dengan gaji guru
 yang tak seberapa.
 Tradisi kemengandungan yang amat panjang,
keluh sakit yang tak jua putus,
Melahirkanku lewat ibu kedua.
 Ibu kedua amatlah berbeda,
namun begitulah manusia.
Dia melahirkanku sebagai anak
yang tersisih oleh nasib dalam nuansa kesakitan yang amat sangat.
 Apa bedanya sakit dan sehat,
jika kuyakini, bahwa puncak rasa sakit adalah
 ketika kita tidak lagi merasakannya?
 Aku besar dalam keyakinan yang besar juga,
memang mesti ada kelahiran kedua
 yang melahirkanku sebagai manusia yang berbeda.
Ibu mengajarkanku hidup dengan
tetap saja melihat ratusan manusia
 dalam pandangan yang sama,
 tak berbeda.
Ibu juga mengajarkanku hidup
 dalam baik sangka,
meski lantas lebih sering berbasa-basi.
Lantas, aku terlahir lagi lewat
 seorang ibu muda.
Saat itu dia belumlah ibu,
namun apalah bedanya?
 Ibu bukanlah hanya sebuah peristiwa,
 ia hanyalah kematangan menjadi dirinya. Meski amatlah muda
 namun pandang matanya dan
 cara santun bahasa membawaku pada kelahiran ketiga.
Tak ada tradisi lagi,
karena semuanya telah sangat berbeda.
Ini hanyalah kelahiran jiwa bagi seseorang yang sangat baru.
 Sangat bisu, karena seperti tak pernah terjadi tak ada hingar bingar,
 namun syukur tetap saja mengalir,
Menuruti aku lahir.
Kelahiran ketigaku adalah
 sebagai peminat syair
(aku malu menyebutku penyair).
Tak ada tradisi,
karena yang lebih kental hanyalah pemunculan jiwa.
Dalam bahasa yang indah lantas saja aku lahir, nyaris tanpa proses.
Dia mengenalkanku pada keindahan kata,
Pada teriak serak dan bisik lirih.
Dia menyentuhkanku pada embun dan basah rumput.
 Dia membawaku pada laut dan gunung. Dia menerbangkanku bersama camar dan rajawali.
 Terakhir dia mengelupaskan ratusan kenangan tentang laksaan keindahan.
 Dia -ibu ketigaku- tetaplah wanita muda. Tetaplah tawarkan ratusan kelahiran bagi ratusan manusia baru.
Lantas hidup membawaku pada rentang jarak yang amat jauh dari rumah.
Ada yang harus diraih bersama asa
 yang mewujud dalam doa-doa malam. Kisaran waktu mempertemukanku
dengan kerinduan seorang ibu.
 Kembali, hidup penuh tradisi sepenuh aliran kasih.
Berulang-ulang, meski selalu tak utuh sama.
Tradisi itu bahkan kurasakan.
Kesendirian yang menyergap
 amat cepat dan sempurna.
 Jarak merentangkan rasa amat kuat, namun tetaplah indah.
Lantas saja aku lahir dalam kematangan budaya dari seorang ibu-ibu keempatku- yang amat bersahaja.
Ada latar budaya yang berbeda,
namun tetaplah berlapang dada.
Memelukku dalam kebahagiaan yang
tulus dan sempurna
 dan aku tetap putra ibu-ibuku.
Membuatkanku teh manis dengan
 amat suka (kebanyakan orang Sunda menghidangkan
 teh tanpa gula atau air putih pada tamunya).
Kelahiranku yang kelima adalah
 kelahiran lelaki dewasa. Kelahiran yang amat sederhana.
Apalah bedanya,
Jika puncak keindahan justru terlintas dalam kesederhanaan?
 Itulah, sebuah kelahiran yang
melulu didahului tradisi
-perulangan yang tak sama-,
dibahasai oleh ratusan keindahan smara.
Ya, aku lahir sebagai lelaki dewasa
 dalam nuansa smara yang kental.
Jenuh penuh seluruh. Keindahan seluruhnya kunikmati.

Ibu kelimaku bukanlah seorang ibu sejati.
Dia hanyalah gadis belia
 –anak dara-,
namun dalam kematangan yang sempurna.
Dia membawaku berkisar dalam
 keindahan asmara yang memabukkan,
Namun lantas membangunkanku
 dalam kesadaran lain, sebuah asa.
Kususun bangunan asa baginya.
Kusimpulkan tali harap baginya.
Dan terakhir kupersembahkan percaya padanya,
hingga akhirnya dia mendustainya.
Lantas saja, muncul sebuah kesadaran.
 Ibu-ibuku pasti juga ibu bagi ratusan
anak manusia.
Adalah kesadaran juga yang
 membawaku pada kerinduaan
 akan ratusan kelahiran,
akan ratusan ibu,
akan ratusan tradisi
kemengandungan.

Ibu
Tunggu aku di gerbang masa
Biarkan kuberlari datang
Dan mencucrup darah nifas yang basah





Ilustrasi sanggarbumitarong/ yuk klik iklannya

Comments