Mari kita hitung lagi derap langkah kita
bersama nafas dan darah yang terpompa berbilang masa, nyaris dua pertiga abad, sejak kita berlantang merdeka, 73 tahun silam.
Darah banyak tumpah sudah, air mata menganak sungai, doa-doa naik tak berbatas waktu: tangan ini bergetar, dada ini berguruh, mata ini nanar, bila kita akan sampai di kolam susu, telaga Indonesia--penuh tawa gembira--tiada sesak berpikir hari-hari.
Nak, ini Indonesia, tanahmu. Ini negeri berlimpah harta. Kaya lautnya. Subur tanahnya. Luas hutannya. Aneka satwanya. Berlaksa floranya.
Buminya menyimpan berjuta emas, perak, timah, tembaga, uranium, besi, nikel: juga minyak dan gas.
Nak, ini Indonesia, tanahmu. Ini negeri berlimpah harta. Hujannya, panasnya, anginnya, suhunya, iklimnya: sungguh senang, semua tercipta dalam takaran pas, seimbang, tiada kurang.
Inilah zamrud khatulistiwa, sepotong sorga terjatuh ke bumi.
Ya, sepotong sorga terjatuh ke bumi, bumimu, tempat engkau berpijak--di situ tempatmu berdiri sekarang.
Nak, ini Indonesia, tanahmu. Membentang dari Mianggas hingga Rotte. Membujur dari Sabang sampai Merauke. Beribu pulau. Beragam bahasa. Bermacam budaya. Tapi kita semua satu, tetap satu, selalu satu: Indonesia.
Nak, negeri kita....
Kaya, sungguh kaya: tapi maaf, tidak rakyatnya. Tidak ayahmu. Tidak juga banyak saudaramu. Juga teman dan tetanggamu. Tidak! Tidak!
Kita, anak-anak negeri masih banyak yang papa, mengais di garis waktu, menghiba di titik takdir, hingga air mata membanjir.
Saat dunia berpikir tentang bulan--
Amerika merancang mendarat di bulan, Rusia bergegas hidup di bulan,
India bermimpi membuat film di bulan--kita, Indonesia, masih sibuk berpikir bagaimana hidup dari bulan ke bulan.
Ah, itulah Indonesia kita, Nak....
Maafkan kami, Nak...
Kita masih fakir, dililit utang bertumpuk, sampai di depan menir dan tuan kita harus membungkuk.
Sesat pikir?
Ide kikir?
Hati nyinyir?
Entahlah...
Mengapa?
Jangan tanya ayahmu
Usah hardik ibumu.
Nak.....,
Kita sungguh perlu arah baru
tekad baru, asa baru, cita-cita baru, harapan baru.
Bukan harapan kosong,
bukan mimpi-mimpi gosong--karena para penguasa sekadar berbual, sibuk membuat janji, tapi saat bekerja, bukan untuk kita.
Nak...
Jadilah kau pemimpin Indonesia--kelak:
bukan penguasa.
Pemimpin memikirkan rakyat negeri, bekerja demi rakyat negeri, berbuat bagi rakyat negeri, maju bersama rakyat negeri.
Pemimpin berpikir menebus Indonesia: penguasa berpikir menjual Indonesia.
Pemimpin berpikir mewujudkan mimpi-mimpi anak negeri: penguasa berpikir menggadaikan cita-cita penegak bangsa.
Pemimpin berpikir membangkitkan Indonesia: penguasa berpikir mengakali Indonesia.
Kemana Indonesia?
Jadilah engkau pemimpinnya: arah baru Indonesia.
Padang, 27 Februari 2018
(ilustrasi torsten dittrich pinterest/ yuk ke bagian bawah blog dan klik iklannya untuk informasi berharga dan mencerahkan)
Comments
Post a Comment