RUANG KOSONG: CERITA PENDEK ANDRIANE USKARTINE, SAMARINDA


.
Suara Via Vallen memenuhi ruang remang berukuran 6x6 meter ini. Lagu Sayang begitu sering diputar akhir-akhir ini. Di depan jendela, aku berdiri sambil berpangku tangan, hatiku tak karuan setiap mendengarnya, sudah keempat kalinya aku mendengar lagu Sayang semalaman ini. Rinduku meradang. Ada sendu yang menggelayuti perasaannya.
"Heh, jangan nglamun, wajahmu jelek, nanti pelanggan nggak mau sama kamu," kata Mbak Nar mengagetkanku.
"Eh Mbak Nar, kebetulan. Obrolan kita kemarin bagaimana? Sudah disampaikan ke Mami?" tanyaku hati-hati.
"Walah, tak kira melamun, ternyata masih mikirin masa lalu yang itu." Mbak Nar merebahkan diri ke sofa dan menyuruhku duduk di sampingnya.
"Tiek, maaf ya, to the point aja. Mami nggak izinkan kamu pulang. Masalahnya kamu belum genap 5 tahun di sini. Aturan mainnya kan gitu. Walaupun kita sama-sama tahu kalau kamu itu primadona dan anak yang paling menghasilkan buat dia. Tapi aturan Tiek, aturan! Takutnya anak lain nganggap Mami pilih kasih atau gimana, bisa repot jadinya."
Aku hanya bisa menunduk, menyembunyikan air mata yang sudah menggantung di tepi bulu mata palsu. Mbak Nar memegang pundakku, mencoba menguatkan, "maaf ya Tiek, aku sudah berusaha meyakinkan Mami, tapi ya gitu, dia tegas banget sama aturan di sini."
Aku mengangguk, berusaha sekuat tenaga tersenyum pada Mbak Nar. Air mata sudah jatuh sebelum Mbak Nar menyadarinya.
Aku kembali diam melamunkan masa lalu. Masa-masa yang begitu berat bagi anak miskin berusia 12 tahun. Bapak meninggal di pabrik petasan, saat api rokok temannya tak sengaja menyulut ratusan kilo bahan peledak di sana. Ibu hanya bisa pasrah, menerima uang lima ratus ribu dalam amplop lusuh sebagai tanda belasungkawa.
Kemudian aku berusaha membantunya, berjualan jajanan pasar dan memunguti bawang-bawang yang sudah dibuang, memilah bawang yang masih bisa digunakan, lalu membawanya pulanng untuk diberikan pada ibu. Beliau selalu tersenyum dan memelukku tiap kali aku pulang membawa sesuatu, entah bawang, lombok atau sayur layu yang masih bisa ibu olah.
Ah, betapa susah hidup kami, tapi entah kenapa, aku malah merindukan semua itu. Dibanding pekerjaanku sekarang. Memang betul menghasilkan banyak uang, aku hanya perlu berdandan cantik, duduk manis dan melayani pria hidung belang. Hanya saja, ada ruang kosong dalam hatiku. Ruang yang hanya bisa diisi oleh ibu.
Ibu tak setuju saat aku mengutarakan niat ikut Mbak Nar ke kota. Kami berdiaman hampir sebulan, sampai akhirnya aku memutuskan pergi tanpa sepengetahuannya. Ibu tak mau anaknya jadi pelacur. Orang tua mana yang mampu menghadapi ujian seberat itu.
Aku yang tak paham, bahwa Ibu hanya butuh aku di sampingnya, bukan harta semata. Toh kemudian, uang yang kukirim ke desa selalu ibu tolak mentah-mentah.
Sayang, opo kowe krungu jerit e atiku.
Mengharap engkau kembali.
Sayang, nganti memutih rambutku.
Rabakal luntur tresnoku
Lagu itu lagi, entah kenapa begitu digandrungi. Saat yang lain bisa bergoyang mendengar suara Via Vallen, aku malah teringat ibu.
Beliau yang begitu sayang padaku, seorang wanita yang sama kesepiannya denganku, yang begitu mengharapkan kepulangan anaknya, ibu yang akan terus mencintaiku hingga rambutnya memutih.
Hari demi hari uwes tak lewati
Yen pancen dalane kudu kuat ati
Ibarate sego uwes dadi bubur
Nanging tresno iki ora bakal luntur
Sak tenane aku iki pancen tresno awakmu
Ora ono liyane sing isoh dadi pengantimu
Lagu itu kembali mengalun, air mata kuhapus perlahan. Dengan mantap, kumelangkah ke kamar, menghapus semua riasan yang tampak seperti topeng. Tak peduli dengan pelanggan, tak peduli dengan Mami, aku memutuskan untuk pergi. Bila aku harus mati malam ini atau nanti, setidaknya aku sudah berniat melepaskan dunia pelacuran yang sudah menjauhkanku pada ibu.


(ilustrasi hipwee/ yuk ke bagian bawah blog dan klik iklannya untuk informasi berharga dan mencerahkan)

Comments