POTRET (3): CERITA PENDEK BAMBANG IRAWAN, BENGKULU




Lelaki itu datang lagi. Sepagi ini, seperti kemarin-kemarin juga, ketika warung belum selesai benar tergelar dagangan. Seperti biasa. Hmm ....

"Kopi, Neng!"

Kopi hitam. Itu saja yang setiap pagi dia minta, bukan mie atau sarapan lainnya. Depotong dua gorengan saja jarang sekali kulihat berpindah ke mulutnya. Hihi... iya ya, kurasa ia lebih sayang sama asap di bibirnya itu. Heran, kenapa ya lelaki umumnya lebih suka linting-linting tembakau yang mengeluarkan asap itu ketimbang... ngemil, misalnya, sami sarang abdi. Atau, ya gak usah merokok kayak sepur gitu deh. Eh, sepur itu gimana ya? Apa betul kalau berjalan terus menerus ia mengeluarkan asap? Entahlah, aku belum pernah melihatnya langsung.

Aku ingin melihat dia sedikit lebih gemuk. Seperti aku sering kasihan melihat Abah yang kurus dan mulai batuk-batuk karena terlalu banyak merokok. Meski Abah masih kuat dan lincah dalam mencari nafkah.

"Kok malah melamun, Neng? ngelamunin Abang ya...?"

Mulai deh gombalnya nih abang. Ngejutin! Tiba-tiba saja dia muncul lagi setelah tadi mesan kopi dan berdiri di bibir jalan itu, memandang jauh ke bukit-bukit kecil di bawah sana yang masih berselimut kabut.

"Ini kopinya, Bang. Air panasnya tadi belum matang. Abang merokoknya kayak sepur ya?"

"Sepur? Hehehe... Ya nggak lah. Sepur sekarang sudah banyak yang gak keluar asap, Neng."

"Loh, katanya...."

"Mesinnya sudah digerakkan listrik sekarang ini, Eneeng ...."

"Gitu ya, Bang?" Jujur, aku gak ngerti. Hihi...

Tak lama Mang Asep datang, mesan kopi juga. Mang Asep penduduk asli di desa ini, lahir dan besar serta menua di sini. Sebenarnya Mang Asep belum terlalu tua, masih usia setengah baya. Namun sosok dan wajahnya tampak lebih tua dari usia sebenarnya. Sama; merokoknya kayak sepur! Eh!?

"Gak nyari rumput, Mang Asep?"

"Nggak, Bang! Yang kemarin masih cukup. Kambing cuma dua juga. Eh, ada teman Mamang mau jual kayu, Bang. Dua kebun. Tapi minta panjar buat upah tukang tebang katanya."

Begitulah, dari bisnis sampai banyak macam hal mereka bertukar cerita. Tertawa-tawa ketika sampai cerita... biasa; perempuan. Sampai si Mamang nawarin obat kuat segala, yang ditolak halus oleh si abang.

"Mamang teh terpaksa pakai ginian, Bang. Nafsu ada, tenaga kurang! hahahaha...."

Di sela suara MP3 yang keluar dari hapeku, telingaku terpaksa mendengar percakapan mereka, yang sebenarnya aku gak tahu apa maksudnya sih. hihihi...

"Mamang sudah punya cucu tiga orang, Bang. Dua orang anak Mamang.  Merantau semua. Yang sulung Di Sumatera juga, di Palangkaraya. Yang nomor dua di Jawa Timur, di Pandeglangnya."

"Hahaha... Mang! Itu kota-kota gak salah peta apa, Mang?"

Asyik sekali mereka tertawa-tawa. Sampai kemudian Mang Asep duluan pulang. Kudengar sekilas tadi, katanya istri Mang Asep sedang menginap di rumah keluarganya yang sedang hajatan.

"Mang Asep benar gak punya kebun ya, Neng?"

"Iya, Bang. Yang Eneng tahu, mang Asep kegiatannya berdagang. Bawa dagangan dari kampung ke kampung. Juga usaha buat tempe di rumahnya. Kenapa, Bang?"

"Gak apa-apa, Neng. Abang kira semua penduduk sini kegiatannya berkebun. Maksud Abang, punya tanah dan berkebun."

"Eh, Eneng mau nanya boleh ya, Bang. Sumatera kan, dari pelajaran geografi yang Eneng ingat, lebih luas dari pulau Jawa, apa Abang punya tanah juga di kampung Abang?"

"Hehehe... kenapa? Kalau punya Eneng mau ikut Abang ke kampung? Nggak, Neng! Di kampung Abang gak punya tanah. Cuma sepetak rumah. Tapi di Jakarta, Neng, Tanah Abang luas."

"Betulan, Bang? Ditanamin apa?"

"Macam-macam, Neng! Ada kebun tas, kebun sandal-sepatu, dan yang paling luas kebun baju."

"Abang gak sedang becanda lagi, kaaaann ...!?"

Bukit Banua, Februari 2015


(ilustrasi your listen/ yuk ke bagian bawah blog dan klik iklannya untuk informasi berharga dan mencerahkan)

Comments