POTRET (1): CERITA PENDEK BAMBANG IRAWAN, BENGKULU





Tujuh belas tahun yang lalu aku menikah. Seperti diriku, istriku adalah seorang perempuan desa. Di mataku, istriku adalah perempuan yang cantik, putih seperti umumnya perempuan dari desaku, pipinya kemerahan, meski hidungnya sedikit mungil bak jambu. Istriku rajin, seperti aku juga kurasa. Dan seperti aku juga, kami hanya tamat Sekolah Dasar. Banyak sungguh kesamaan kami, bukan? Meski hidungku tak seperti jambu.

Orang tua kami mewariskan semangat kapada kami. Tepatnya pelajaran. Ya, kami banyak belajar kepada mereka. Setelah menikah, kami berdua berkebun, menggarap dua patok* tanah yang dihadiahkan orang tua. Bermacam tanaman kami usahakan; tomat, mentimun, kobis, jagung dan lain-lain. Tanah gembur dan subur dalam suhu dingin di daerah kami memberikan berkah yang sangat kami syukuri. Perlahan, bersama lahir dan tumbuh besarnya kedua buah hati kami, usaha kami pun berkembang. Tanah garapan kami bertambah, sehektar kebun teh, kandang-kandang dengan riuh suara domba di belakang rumah--rumah sederhana yang kami bangun bersama, lalu sebuah warung kopi dan manisan kecil-kecilan. Kami bahagia, Hidup kami begitu mengalir, seperti sungai kecil berarir jernih yang membelah desa.

Kebahagian kami kurasa akan semakin bertambah. Tak lama lagi, putri sulungku yang baru tamat Sekolah Menengah Pertama, akan menikah. Ah, aku jadi ingat ketika seorang lelaki dari seberang itu, yang cukup akrab dengan keluargaku meski belum lama kenal, suatu pagi ketika 'ngopi di warung kami, ia bertanya kepada putriku itu, "Gak sekolah, Neng?", "Sudah tamat, Abang.", "Tamat SMA?", "SMP!", "Kok gak ngelanjut?", "Buat apa? ujung-ujungnya juga kawin kan, Bang?"

Lalu lelaki itu bertanya lagi (agak genit kurasa dia itu); "Emang udah punya calon, Neng?"

Putriku tertunduk malu-malu, pipinya bersemu merah, "Belum, Bang ...."

Kini putri mungilku itu, telah menemukan calon pasangannya, seorang pemuda desa kami juga, yang cukup rajin meski sekolahnya juga sama--tak tamat SMA. Dia siap mengolah setengah hektar kebun teh yang akan kuhadiahkan buat rumah tangga mereka. Hidup sungguh mengalir, bukan? "Nikmat" ini kami belajar dari orang tua. "Warisan" yang masih kami jaga.

Dan lelaki dari seberang itu, bingung aku dibuatnya. Jauh-jauh datang kemari buat apa? 'nyari bini? tentu tak mau kuberikan putriku untuknya; masa' mau nyangkulin tanah pakai pena!?

Bukit Banua, Februari 2015

*) Patok: ukuran luas tanah (Sunda); 1 patok = 400 meter persegi (1 hektar = 25 patok



(ilustrasi painting here/ yuk ke bagian bawah blog dan klik iklannya untuk informasi berharga dan mencerahkan)

Comments