MENITI KEKAGUMAN ATAS CIPTAAN-NYA



Rona Bulan di Bumi Mataram


Ada di antara Prambanan dan Borobudur

ada di antara Merapi dan laut kidul

ada di antara Sleman dan Bantul

mesti sahaja namun tak kunjung habis pesonanya

sahaja warganya,                                                   

sahaja pula kotanya                                 

namun budayanya patut jadi teladan

arif mengiringi perkembangan jaman                                         

bijaksana mensikapi perubahan

ketika fajar di Merapi sejuknya mencapai ke hulu hati

ketika mentari  merayap tengah hari

hiruk pikuk jantungmu bagai kehidupan yang tak akan mati

ketika senja di Pantai laut kidul

pesona laut begitu perkasa

ombaknya menggulung-nggulung gambaran semangat

tak pernah lelah mengais berkah

begitu mentari di ujung cakrawala

sinar jingga lembayung memancar merah membakar candikala

pesona yang tak pernah sirna

ketika bulan di pundak Ratu Boko, begitu cantik menawan

kotamu bagai langit penuh tarian bintang

ketika bulan di pucuk Beringin Kembar

suara gemuruh samar

tertawa kecil hingga yang hingar bingar

sketsa hidup selalu segar

Bulan di Bumi Mataram

ronanya tak pernah pudar



Samarinda, 25 September 2012

(karya Agus Dwi Utomo)


Membaca puisi bebas karya Agus Dwi Utomo bertajuk 'Rona Bulan di Bumi Mataram' memaparkan kerendahan hati seorang hamba kepada Tuhannya.

Atas segala ciptaan yang terdiri dari alam beserta isinya ini dijelaskan secara gamblang.

Dalam perjalanan melewati sejumlah wilayah yang memiliki keindahan panorama, penyair  tidak mengutarakannya secara langsung kepada Sang Pencipta, namun dari gambaran kisahannya tampak jelas kekaguman di dalam dirinya.

Antara kagum, takjub dan keterbukaan hati atas keindahan itu, penyair rangkum melalui kata-kata takjubnya.

Ia tidak peduli dengan ketentuan persajakan yang umunya memiliki bait bait untuk mengungkap pengalaman batinnya.

Dalam bukunya berjudul "Human",  Andrew Scott menyatakan, djiwa manusia itu akan tergetar ketika dari luar dirinya ada sesuatu jang menarik hatinja. Seperti keindahan alam dan hal-hal jang mampu mersangsang djiwanja... (hal 42 buku terbitan Nawaksa Pustaka, Djanuari 1955).

Yang jelas, manusia terkadang tak memedulikan apakah yang dikagumi itu bermanfaat untuk kehidipannya atau sebaliknya.

Dalam uraiannya tentang keindahan yang ia lihat dalam perjalanan itu, ia tulis tanpa dihimpun ke dalam bait-bait persajakan.

Apakah itu salah? Tidak ada yang menyalahkannya. Sebab setiap penyair bebas  mengungkap persoalan yang menarik hatinya. Meski demikian penyair harus memerhatikan alur kisahan dengan memanfaatkan pilihan kata sebagai kaidah persajakan.

Dalam pembahasan sastra moderen Indonesia, HB Jassien menyatakan, ketika penyair menuliskan puisinya sesuai kisahan,  terkadang yang lupa digunakan adalah bahasa puitik. Artinya, penulis harus patuh terhadap nilai diksi yang digunakan.

Apakah seorang penyair sekelas Aspar Paturusi mengabaikan diksi-diksi indah dalam tiap puisinya?
Meski kesan yang ditampilkan sederhana saja, tapi diksi dan kelokan masalah yang ia paparkan sangat kental dan indah.

Meski tidak sealiran dengan Aspar, namun Agus Dwi Utomo memaparkan dengan caranya sendiri.

Ada di antara Prambanan dan Borobudur/ ada di antara merapi dan laut kidul/ada di antara Sleman dan Bantul/ mesti sahaja namun tak kunjung habis panoramanya..

Dari tuturan awal, larik-larik itu menjelaskan tentang kekagumannya atas keindahan yang tak habis-habisnya.

Meski tak sama, ini bentuk puisi sederhana yang tidak bersaudara dengan corak puisi Aspar Paturusi.(salam litetasi)


ANTO NARASOMA, PENYAIR TINGGAL DI PALEMBANG


(ilustrasi nyairorokidul.com/ yuk ke bagian bawah blog dan klik iklannya untuk informasi berharga dan mencerahkan)

Comments