MENGENANG NURCHOLISH MADJID: KISAH PERJALANAN KE JEPANG (3)



Kisah ini kutulis dalam pesawat Singapore Airlines yang membawa kami menuju Tokyo, Jepang, negeri yang dijuluki "Matahari Terbit." Kami berangkat satu rombongan berjumlah 30 orang yang umumnya dari keluarga besar UIN Alauddin Makassar. Kami dibawa naungan fasilitas Ujas Tour.

Di dalam pesawat saya punya banyak kesempatan menulis, merenung, dan mengenang tentang pengetahuan saya tentang Jepang. Saya kemudian teringat pelajaran guru saya, Nurcholish Madjid, ketika masih kuliah S3 di Jakarta. Ketika itu, beliau baru kembali dari Jepang. Beliau mengenal saya sebagai mahasiswa yang rajin mengikuti kajiannya di Paramadina yang diselenggarakan di Kartika Hotel. Tidak heran jika dengan mudahnya saya meminta oleh-oleh padanya. Beliau menjawabnya dengan senyum khas dengan berkata singkat, "Oleh-olehnya nanti diberikan di Paramadina." Oleh-oleh yang beliau maksud, tidak seperti kebanyakan kita dalam bentuk materi, tetapi berupa pengetahuan yang baru diperolehnya dari "Negeri Sakura."

Benar saja, ketika saya dengan teman-teman mengikuti kajiannya. Beliau memperkenalkan kemajuan Jepang dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Menurutnya, faktor penyebab kemajuan Jepang, karena memberi perhatian pada akar budayanya. Dalam waktu yang sama, mereka mengikuti perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pandangan Nurcholish ini membuat saya teringat Prof Mattulada sekitar awal tahun 1980. Ketika itu beliau yang juga baru saja kembali dari Jepang memberi kajian di masjid Aqsha. Mattulada berpendapat, "Seorang wanita Jepang jika sudah bersuami kebanyakan mengabdi pada suaminya. Bahkan, sang isteri menunggu suaminya pulang kerja dan menemaninya makan di meja makan. Tradisi itu dipelihara bagi kebanyakan wanita Jepang."

Kami pun pada hari ketiga kunjungan ke Jepang sengaja diantar untuk menyaksikan upacara prosesi tradisi Budha di sebuah kuil atau Sensoji Temple di pusat kota Tokyo untuk mengonfirmasi pandangan kedua tokoh di atas. Saya berusaha merekam prosesi itu yang penuh nuansa tradisi akar budaya Jepang masa lalu. Sungguh mengagumkan pemeliharaan tradisi mereka di tengah serbuan budaya modern. Tempat ini menjadi destinasi wisata yang ramai dikunjungi wisatawan dari manca negara. Setelah itu, kami diantar ke tempat bangunan modern yang menandai kemajuan Jepang yang juga menjadi destinasi wisata, seperti Tokyo Sky Tree Town, menara tertinggi di Jepang atau menara tertinggi keempat di dunia yang melambangkan kemodernan. Kami juga singgah di pusat perbelanjaan Odaeba dan kota barunya hasil reklamasi yang menunjukkan keperkasaan Jepang di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Semua itu menunjukkan antara tradisi budaya dan kemodern memadu dalam budaya Jepang. Itulah yang saya saksikan di Jepang. Semoga bisa mewakili kebudayaan kontemporer Jepang.

Nurcholis yang saya ikuti kajiannya di Paramadina menyimpulkan, "Jika kita ingin maju, sebaiknya mengikuti pembangunan di negara Jepang dengan tetap berakar pada tradisi budaya dan dalam waktu yang sama membuka diri pada kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi." Persis yang selalu kita dengar dari jargon pesantren di Nusantara,
المحافظة على القديم الصالح
                                          والأخذ من الجديد الاصلح
(Memelihara tradisi yang baik masa lalu
dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik).

Tokyo, 4 Februari 2018


AHMAD M SEWANG, GURU BESAR UIN ALAUDDIN, TINGGAL DI MAKASSAR


(ilustrasi saatchi/ yuk ke bagian bawah blog dan klik iklannya untuk informasi berharga dan mencerahkan)

Comments