KEHORMATAN : PUISI YUFITA, PONTIANAK



Satu persatu dedaun rontok.
Perempuan itu memegang sapu, tapi langkahnya hanya sampai di pintu.
Keberaniannya tersangkut
reranting kering
dan ilalang setajam lembing
siap menombak.

Jika sudah tak suka,
bilang saja.
Desisnya.

Kita bicarakan dengan lapang
dada dan pikiran terbuka.

Jangan lempari kami
bebeling kata!
Jangan mendakwa
dengan tuduhan palsu!
Mengutarakannya saja serupa membunuh batin kami.

Harus berapa kali kami mati
untuk kelegaan Tuan?
Memburu kupu-kupu dan mengecup aroma kembang.
Keharuman kami telah lama tergantikan bau amis dan arang.
Supaya perut Tuan kenyang!
Agar tenaga pulih dan kegairahan kembali!

Jika kehilangan minat,
jujur saja.
Lirihnya.

Tak perlu berpura-pura mengikat,
sedangkan di belakang kami
Tuan bebas menjerat; siapa saja
yang maunya dijilat, digendong, dipelukrayu, umpama ratu.
Sejatinya, tak lebih dari sekadar mengumbar nafsu!

Jangan alamatkan
batu dungu pada kami!
Seharian berpeluh, tanpa keluh.
Menjemur baju dan menyikat sepatu.

Kami ibu, sekaligus babu.
Kami kawan, sekalian pelayan.
Kami penjaga, bersamaan waktu terpenjara.

Sekalipun belum pernah
kami mengeluh, tapi kali ini
benteng keikhlasan roboh.

Tuan datang begitu larut,
hampir pagi.
Menunjuk-tunjuk dan mengatai
kami perempuan batu.

Bagaimana mungkin
kami yang sepanjang waktu
berdiam diri di dalam rumah
menjadi penyebab kesialan Tuan
yang seharian sibuk di jalanan.

Perempuan itu masih terus memegang sapu.
Dedaun rontok mengotori halaman.
Tak kuasa melangkahkan kaki
keluar pintu
sebab angin bertiup begitu kencang.
Dan ia hanya seorang.

Kalau memang mesti
pisah, relakanlah.
Ucapnya pelan.

Tak perlu mencari bermacam
alasan agar tampak benar.
Akui saja karena bahwasanya kini
kami tampak semakin pucat
tak berona
maka selekasnya perlu diganti
dan dikembalikan tanpa penghormatan.

Kami, atau Tuankah
yang sejatinya kehilangan kehormatan?


Pontianak, 26 Des 2017



(ilustrasi Saatchi / yuk ke bagian bawah blog dan klik iklannya untuk informasi berharga dan memcerahkan)

Comments