aku hanyalah kerlip lilin kecil di tengah kencang tiupan angin, bahkan badai bergulung.
jika aku lantang atau bersuara nyaring nyaris memekakkan telingamu, itu karena aku mencintaimu. Aku ingin engkau nyalakan terang bagi berjuta lilin, bermiliar obor, lalu menjelma matahari, bukan kaleng-kaleng rombeng, sampah-sampah busuk, apalagi curut-curut berdasi.
mengapa dua anak adam yang kesal acap saling berteriak. itu karena dua hati mereka sedang menjauh. agar suara itu sampai ke dalam hati, teriakanlah jawabnya. begitulah umpama engkau dan aku. aku berteriak agar suaraku sampai ke dalam hatimu.
tapi, ah sudahlah. berteriakpun engkau masih bengang. hatimu tetap menjauh. bahkan tambah jauh. aku si lilin kecil pasti tergulung badai amukmu.
seperti kata temanku, jika pada Mei 1998 aku rindu bias cahaya menjelma pelangi di matamu; pada Juli 2017 ini kudapati matamu penuh api; juga lidahmu penuh kutukan; hampir saja engkau membunuh kami semua hanya karena kami berteriak rindukan pelangi yang hilang. bukan kaleng-kaleng rombeng yang terus engkau banggakan.
Indonesia, 20 Juli 2017
--------------
Heri Mulyadi lahir di Tanjungkarang, 10 Oktober 1973. Menempuh pendidikan di SMA Negeri 2 Bandar Lampung lalu kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unila 1992-1997.
Pernah bergiat sebagai wartawan, guru, dosen, politisi, dan kini sebagai pengusaha. Aktif menulis artikel dan sajak di sejumlah media. Sajak-sajaknya terhimpun dalam berbagai buku, di antaranya: Kembali Kosong (Siger Publisher, 2015), Melukis Langit (Siger Publishet, 2017), Mengeja Kitab (Antologi, Ikhsan Aura, 2017), Merenda Kasih (Antologi, 2016), Menyulam Sayang (Antologi, 2016), dan Yogya dalam Catatan (Antologi, 2016).
Comments
Post a Comment