EKSOTISME GUNUNG FUJI: KISAH PERJALANAN DARI JEPANG (2)



Dari kemarin, kami ingin ke Gunung Fuji yang masyhur. Sayang dilarang masuk karena tertutup salju. Kami hanya bisa menyaksikan Gunung Fuji dari jauh yang di puncaknya dibungkus salju dan awan.  Sepanjang jalan pemandangan penuh diliputi salju yang membungkus rumah-rumah dan pepohonan. Akhirnya saya hanya menulis tentang kedisiplinan dan kejujuran manusia Jepang, seperti informasi dan yang saya lihat di lapangan.

Tingkat kemajuan peradaban suatu bangsa memberi pengaruh terhadap tingkat kedisiplinan dan kejujuran bangsa itu, bahkan tingkat harapan hidup dan daya beli masyarakat. Itulah yang disaksikan di Jepang. Benar, semua barang yang dijual di toko rata-rata lebih mahal dibanding dengan di Indonesia, seperti yang kami saksikan di beberapa outlet mall di Tokyo. Salah satu penyebabnya karena rata-rata barang yang dijual dijamin kualitasnya. Tidak ada seorang pedagang yang ingin mempertaruhkan nama baiknya dengan menjual barang di bawah standar. Jika pun ada barang ditemukan mengalami kerusakan. Maka barang itu akan ditarik dari peredaran atau tetap dijual dengan harga diturunkan sesuai kualitas barang.

Zulfajri, Putra Prof. Basri Hasanuddin, pernah menceritakan bahwa ketika kuliah di Jepang, ia masuk sebuah super market untuk membeli baju. Tetapi betapa kagetnya, karena beberapa baju dalam etalase baik warna, zise, dan merk semua sama, namun harganya berbeda satu sama lain. Sampai, ia memanggil pelayan toko untuk memberi keterangan atas perbedaan harga baju itu. Si pelayan menjelaskan dengan jujur bahwa harga baju yang lebih murah itu, karena memiliki sedikit cacat pada salah satu kancingnya. Zulfajri heran disebabkan karena kebanyakan pedagang di Indonesia hanya mengejar untung tanpa memperhatikan persoalan kecil yang nantinya akan merusak nama baiknya sendiri. Si pelanggan yang membeli barang rusak, boleh jadi berpengaruh menurunnya penjualan barang berikutnya. Sebaliknya, memuaskan para pelanggan dengan menjual barang berkualitas, maka pelanggan akan menjadi iklan gratis ikut memperbanyak pelanggan lain. Mungkin itu sebabnya Nabi mengingatkan agar para penjual diminta menjelaskan kualitas barang yang dijualnya pada pembeli. Kejujuran demikian oleh Rifat Tahtawi, seperti dikemukakan pada seri I, disebutnya perilaku islami. Sekalipun yang mempraktikannya non muslim.

Para ulama membagi kesalehan pada dua bagian, yaitu kesalehan pribadi dan kesalehan sosial. Kesalehan pribadi adalah kesalehan yang dibentuk melalui kewajiban individu, seperti kewajiban salat, puasa, dan haji. Bertujuan untuk memperbaiki hubungan pada Allah. Jika bicara kesalehan individu, maka muslim Indonesialah yang nomor wahid sebab ratusan ribu umat Islam berbondong-bondong melaksanakan ibadah umrah dan haji. Sedang kesalehan sosial sudah lama jadi tanda tanya? Bagaimana bisa negeri yang mayoritas muslim masuk dalam ranking terkorup. Seperti pengakuan Prof. Mahfud MD ketika berkunjung ke negeri "Matahari Terbit" belum lama ini. Mahfud  merasa malu mendengar cerita koleganya seorang hakim Jepang yang begitu disiplin dan menganggap aib besar jika ada hakim Jepang yang terdengar menerima sogokan. Lagi-lagi ternyata prilaku sosial Jepang lebih islami dibanding negeri muslim sekalipun. Bisa dibandingkan dengan negeri kita tentang kebiasaan sogok menyogok para pejabat hukum.

Paling ideal bagi seorang, memiliki dua kesalehan sekaligus individu dan sosial sebagaimana memadukan dalam dirinya Islam dan Muslim.
Salam dari "Negeri Sakura."

Narusawa Mura, 3 Februari 2018


Ahmad M Sewang, guru besar UIN ALAUDDIN MAKASSAR



(ilustrasi Saatchi art/ yuk ke bagian bawah blog dan klik iklannya untuk informasi berharga dan mencerahkan)

Comments