CERMIN: PUISI ROSO TITI SARKORO, TEMANGGUNG



rembulan berdarah menetes dari luka sepi
gerhana melengkapi menusuk tulang-tulang rusuk
nyaring meneriakkan puisi sunyi
mengalirkan hujan dalam batu
memberi alir bendungan keluh ke penjuru muara

belati imaji yang kau genggam
dalam lipatan sunyi terlampau tajam menghunjam
merobek-robek kuplet puisi
menggetar salju dadaku mencair mencari alir
dalam gemuruh laut pasang gerhana yang mementalkan
terbuang tak kembali terbanting tak tak utuh lagi

mata batinmu mengeluh terlampau rapuh
membaca lidah ombak dakam gemuruh angin menabrak
ombak itu menimbuhkan gelombang warna baru
meski dari percikan alir racikan muara lama
setidaknya tonggak dermaga telah tegak tertancap
menara suar jadi cerminan

mustinya kita bercermin pada batu sejarah
Raja Mataram Kuna Samaratungga wangsa Syailendra
perancangbangun Borobudur candi Budha
dilanjutkan putrinya Pramodawardhani istri Rakai Pikatan
dinasti Sanjaya pemangku tsnah perdikan selatan Kedu
pemeluk toleransi peradaban tinggi

darah Syailendra mengalir deras di tubuh Pramodawardhani
merpungkan mahakarya keajaiban dunia
berpeluk mesra dengan Rakai Pikatan pendiri puluhan candi
bercorak Hindu pemuja dewa berkendara sapi
mereka membuang egoisme menjunjung tinggi toleransi
samudera menyatukan segala penjuru muara

Rakai Pikatan-Pramodawardhani membangun mahligai
di bumi perdikan menapak jejak-jejak purba
air bening menggelegak mata air pikatan menanda kemakmuran
beratus tahun mengalir tak pernah surut sepanjang musim
indahnya toleransi secantik putri Pramodawardhani
menjejak bumi pikatan, kini menjelma desa memesona
                     ***

Temanggung, 1 Februari 2018



(ilustrasi Tirto / yuk ke bagian bawah blog dan klik iklannya untuk informasi berharga dan mencerahkan)

Comments