CATATAN KECIL TENTANG SAINS DAN LAIN-LAIN



Saya menikmati buku-buku populer tentang sains yang ditulis baik oleh para saintis seperti Richard Dawkins, Stephen Hawking, Lawrence Krauss, Steven Pinker, atau Michio Kaku; maupun oleh filosof seperti Daniel Dennett.

Berkat penjelasan mereka ini saya menjadi sedikit paham bagaimana sains modern (terutama fisika, biologi dan astronomi) menjelaskan baik alam raya maupum alam mikro.

Kehebatan sains modern (juga sains klasik, for that matter) adalah kemampuannya menjelaskan secara deskriptif bagaimana alam bekerja melalui suatu hukum yang disebut "hukum alam". Dengan kata lain, keunggulan sains adalah dalam aspek menjelaskan "what is", apa yang ada di luar sana.

Di mata para saintis ini, jelas, dunia adalah sistem yang tertutup: maksudnya, alam raya bekerja melalui hukum-hukum tertentu yang menjadi penjamin keteraturan dan keterdugaan (predictability). Tak perlu ada faktor "tuhan" untuk menjelaskan alam ini. Alam raya bisa menjelaskan dirinya sendiri, tak membutuhkan Tuhan.

Ini adalah secara garis besar pandangan dunia sains.

Tetapi saya tetap penasaran: Dari mana asal-usul keteraturan dan hukum alam ini? Hukum alam hanya sebatas menjelaskan bagaimana alam raya ini bekerja. Tapi bagaimana menjelaskan adanya hukum alam ini. Kenapa ada keteraturan? Why is there an order in the first place?

Saya berpendapat (mungkin saya keliru) bahwa pertanyaan ini tak bisa dijawab secara memuaskan oleh sains (baik modern atau klasik). Sebab ini pertanyaan metafisik. Sains punya kemampuan untuk menjawab bagaimana alam fisik yang teramati (observable) bekerja. Tetapi sains tak bisa menjangkau wilayah metafisik.

Pertanyaan-pertanyaan metafisik tak bisa lepas dari pikiran manusia. Kita tak pernah puas dengan penjelasan tentang begaimana dunia fisik bekerja, seberapapun hebatnya penjelasan itu. Manusia akan terus mengejar dan bertanya tentang hal-hal yang non-fisik: kenapa begini, kenapa begitu, apa maksudnya ini, apa maksudnya itu.

Dan ujung pertanyaan metafisik yang paling misterius dan maha-gaib adalah: Apakah ada "dasar wujud" (ground of being) yang mendasari seluruh yang ada ini? Apakah ada Tuhan yang mendasari alam raya ini?

Sains tak bisa menjawab pertanyaan ini, karena ini bukan wilayah dia.

Dalam pandangan sains, dunia fisik ini, baik pada level mikro atau makro, mengalami evolusi yang random dan tak bertujuan. Jika dipandang semata-mata sebagai wujud fisik, memang wujud fisik mengalami evolusi yang berjalan secara random, acak, dan tak bertujuan (non-theoleological).

Tetapi manusia tak puas dengan "randomness", keacakan tak bertujuan dalam dunia fisik ini. Watak dasar manusia yang tak bisa diingkari adalah obsesi yang kuat pada dirinya untuk mencari "makna" dan tujuan-tujuan di balik yang nampak.

Keinginan menjangkau yang Gaib selalu intrinsik ada pada manusia. Sains bisa memandang keinginan ini sebagai "wishful thinking", pikiran yang berandai-andai (dalam bahasa Arab disebut "tamanni"), atau sesuatu yang omong kosong, "non-sense". Tetapi anggapan sains semacam ini tak lebih dari semacam arogansi, ketakaburan yang berasal dari fikiran yang reduksionistik: kehidupan disederhanakan (reduced) pada hal yang bersifat fisik belaka.

Renungan pendek ini dipicu oleh bacaan atas kitab "Tahafut al-Tahafut" (karya Ibn Rusyd) dalam edisi yang disiapkan oleh Prof. Abid Al-Jabiri yang saya baca sejak semalam hingga pagi ini (dalam perjalanan di kereta menuju Bandung).

Penutup: Ini masih suasana Hari Valentine, ngapain kok saya nulis perkara tak berguna seperti ini sih? Kurang kerjaan aja...

😀


ULIL ABSHAR ABDALLA, INTELEKTUAL ISLAM, PENGASUH NGAJI DARING IHYA' ULUMUDDIN, TINGGAL DI JAKARTA

Comments