AYU DI JALAN TEGAR: CERITA PENDEK BAMBANG IRAWAN, BEMGKULU



Namanya Tegar. Seorang sopir tronton lintas antar pulau Sumatera - Jawa. Sebagai seorang sopir lintas yang telah dua tahun bekerja, sudah banyak sekali kota-kota dari Banyuwangi di ujung timur pulau Jawa hingga ke Banda Aceh di ujung utara pulau Sumatera dia singgahi.

"Jare Soni Londo bosmu, awakmu iku sarjana, yo Gar? Kok mau-maunya jadi super?"

"Yo rapopo, Cak! Nopo? Ra oleh?" Jawab Tegar ringkas ketika Cak Sur, sopir asal Surabaya yang membawa muatan dari bosnya Tegar, menanyainya ketika bertemu dia saat minum tuak di lapo pinggir jalan lintas timur Pematang Panggang. Lapo yang berada di samping Tambal Ban Juntak saat kebetulan di sana Tegar menambal bannya yang bocor.

Di saat-saat tertentu, sisi panas dan keras aspal jalanan, mungkin, yang membangkitkan sifat Tegar yang tegas dan cenderung keras. Meski di sisi lain, Tegar selalu 'nenteng botol aqua berisi air bersih saat ia kebelet kencing di balik pohon di pinggir jalan, atau sesekali imaman dengan si Junai kernetnya, saat mampir di rumah makan di Tegineneng Lampung dan di rumah makan Pak Botu di Serdang Bedagai, pemilik rumah makan yang selalu repot menyiapkan kamar bersih buat dia beristirahat. Suka sekali mereka sama si Tegar - entah kenapa.

Dua tahun sudah. Dua tahun yang membuka mata Tegar tentang banyak sisi hidup seputar jalanan ...:

Dua orang ibu--di Pelabuhan Merak dan di warung makan di Balongan Indramayu--yang menawarkan anak gadisnya untuk dinikahi Tegar, padahal dia 'sopir', padahal belum sebelah jari tangan mereka bertemu. Beberapa sopir yang telah ubanan, rumahnya ngontrak - rumah bedengan yang ... duh! Yang kernetnya adalah anak sulungnya sendiri, yang putus sekolah. Yang sadar tak sadar dipersiapkannya jadi 'sopir'. Rumah-rumah dan warung 'geribik' pinggir jalan lintas yang sepi di sepanjang Sumatera, atau warung-warung dan cafe remang sepanjang Pantai Utara Jawa yang jualan 'lendir' dibungkus kemasan pijat ataupun warung kopi tempat sopir mampir. Yang perempuannya, terjun bebas di sana dengan alasan yang klise, dan usang; ekonomi. Pos-pos polisi, dengan mobil patrolinya yang parkir namun lampunya 'ngedip' tiap truk lewat, yang kadang di belakang stirnya bukan berisi polisi tetapi seorang remaja jalanan, atau polisi yang siap 'cepek' lalu terbit surat tilang tanpa nyita SIM atau STNK yang memang tak ada.. Pelabuhan yang ditangani 'pengurus' untuk memudahkan truk-truk menyeberang. Timbangan yang 'cincailah' meski truk over-loading, lewat. Begitu banyak ...

Jalan-jalan rusak; sisi-sisi jalanan rusak, sopir rusak, aparat rusak, masa depan rusak--Indonesia Tegar.

Namun di sebaliknya ... ada Roni, sopir yang gak pernah 'minum', yang sering nyempetin sholat, yang mampir ke 'warung geribik' cuma karena ada temannya sesama sopir yang 'mampir' dan nglaksonin sekadar bertukar informasi muatan, yang tiap bulan nyicil sebidang tanah buat dibangun rumah dan nyicil kredit tronton yang dibawanya, yang selalu kangen bininya yang manis dan anaknya yang lucu di rumah. Yang seperti juga Dodi, seperti juga si Jangkung, Jupri ... Setidaknya beberapa sopir yang lain - memang sedikiit sekali sih - saat kencing di balik pohon di pinggir jalan, masih mau-maunya nenteng botol aqua ... begitu pun tentang hati Tegar.

"Aku merasa bebas, Nai. Di jalanan ini aku merasa bebas. Lepas. Ketemu banyak karakter orang, suku, budaya dan alam berbagai daerah. Aku merasa luas, bebas ...."

Junai tahu, dan mahfum tentang problem bosnya itu. Bosnya yang punya hati setia. Yang selalu rindu rumah. Namun hidup, tak selalu seperti apa yang ia harapkan; keharmonisan.

Sudah hampir 6 bulan Junai ikut Tegar. Junai yang tak lama lagi akan nyopir sendiri atas bantuan Tegar. "Jangan lama-lama jadi kernet!" "Jangan selamanya jadi sopir." begitu selalu motivasi dari Tegar. Mana mungkin aku akan lupa dia, bisik hati Junai ....

*****

Sebagai sopir lintas Sumatera - Jawa, bahkan dalam satu minggu sering Tegar berada di dua pulau tersebut. Maka pelabuhan penyeberangan, Bakauheni dan Merak, yang menjadi penghubung keduanya, dalam banyak seluk beluk kotanya sudah banyak ia kenali.

-----

"Anterin saya dong."

"Buat apa?"

"Cuma keliling aja, Gar, lihat-lihat. Saya cuma mau buktiin kata kawan-kawan. Beneran atau nggak? Kalau memang iya dan nanti saya 'nyangkut' saya gak akan nyalahin kamu. Hahaha ...!"

"Nggak ah."

Jawaban datar Tegar tidak membuat surut rasa penasaran Medi. Malah kian jadi. Medi yang sebelum ini nyopir dump truck pasir atau tanah galian dan cuma mandah di satu proyek di sebuah daerah di Sumatera. Tegar yang nawarin dia 'nyerep' tronton temannya yang sedang istirahat karena sakit. Dan saat ini, dengan muatan dari Tegar yang akan bongkar di KS Cilegon mereka ada di Merak. Sedang beristirahat di sebuah rumah makan langganannya. Medi, yang ternyata sebelum itu, sering mendengar dan penasaran dengan harum gemerlapnya cerita perempuan lintas. Apalagi perempuan Sunda dan Jawa. Medi penasaran sekali.

Dengan beberapa kali desakan cenderung merengek, akhirnya jadilah ...

"Baiklah. Kita keliling jalan bawah saja. Naik becak dari pelabuhan."

Niatnya sih cuma keliling, melihat-lihat dan melepas rasa penasaran si Medi. Namun, di jalan itu mata Medi tak lepas melotot. "Stop Mang, stop mang ...!" Terus berulang.

"Hai, Mas. Mampir dong!"

Tapi Medi gak turun dari becak. Matanya jelalatan. "Dah, jalan lagi Mang."

"Stop Mang, stop Mang!"

"Dah, jalan lagi aja Mang." Begitu berulang kali. hingga suatu kali ...

"Stop Mang stop Mang ... Stoop!" Bak monyet melihat pisang, Medi langsung melompat.

"Hoy! Kau bayar dulu tuh becak!" Inilah sisi Tegar yang selalu tertantang, ia masuk duluan. Tegar tahu, mata melotot Medi tertumbuk oleh sosok seorang perempuan cantik, putih dan berambut hitam sebahu, bermata bening. Beneran, katanya sih, seksi dan imut kayak Yuni Sara.

Biar dia sebel, batin Tegar. Duluan Tegar menggandeng perempuan itu dan masuk ke rumah bordilnya. "Temenin saya, Neng." Si Medi yang gigit jari namun gak berani cuma nyimpen ‘gondok’. Ternyata dari sebelum menyeberang ke pulau Jawa, mungkin rasa penasarannya memang sudah 'berat di ujung'. Karenanya dia comot yang lain asal jadi dan langsung ngamar. Sementara Tegar ...

"Namamu siapa, Neng? Temenin saya ngobrol di sini ya. Kamu boleh pesan apa saja. Untuk saya tolong ambilin rokok, sama coca-cola."

Tegar tahu, beberapa kali perempuan itu ngajaknya ngamar karena kewajiban. Untuk mencari penghasilan dan setoran ke induk semangnya. Namun setelah Tegar sepakat sama ‘maminya’ dengan sejumlah uang sekadar harga shot time, mereka tenang. Bisa ngobrol santai dan akrab sampai menyentuh masalah pribadi. Dan ternyata, beberapa ucapan Tegar mampu membuat perempuan itu menangis.

*****

Namanya Ayu. Perempuan cantik asal Semarang. Berumur 25 tahun. Saat bayinya baru lahir empat bulan ia ditinggalkan suaminya yang kecantol perempuan lain dan gak balik lagi. Lelaki yang dulu begitu amat dicintainya. Perasaannya hancur, hidupnya hancur. Dia merantau ke Jakarta. Dengan sedikit dendam, akhirnya jatuhlah dia ke dunia ini - ke dalam dunia nista kupu-kupu malam. Di Kota Pelabuhan Merak.

*****

"Abang di mana? Ayu capek banget, Bang."

"Abang di Merlung Jambi, Yu. Insya Allah, 3 atau 4 hari lagi nyeberang Abang mampir ya. Jaga hati Ayu. Ingat anak."

Hampir tiga bulan, tiap nyeberang dari Sumatera ke Jawa, Tegar mampir ke Merak menemui Ayu. Maminya sudah begitu akrab dengan Tegar. Ayu diberinya kelonggaran waktu setiap Tegar datang. Keakraban mereka terjalin dengan begitu dekat.

Pantai Merak, Pantai Carita, hamparan pasir dan silir anginnya telah cukup berkarib dengan jejak kaki dan anak-anak rambut mereka. Butir air mata yang tumpah di dada, letih beban hidup di bahu yang lepas nun jauh perahu nelayan. Ayu jatuh di dunia baru. Dunia cinta dan kesadaran. Dunia rindu yang menuntut jalan pulang, kembali kepada rumah hati yang sebenarnya.

Tiga bulan sudah. Namun sedekat itu, Tegar tak pernah tahu bentuk ranjang di kamar rumah bordil Ayu. Tak pernah tahu bentuk lembah segar menantang di balik bajunya. Namun hidup Tegar, mampu menembus jauh ke balik dada Ayu, menapakkan jejak sedalam pondasi pelabuhan, segar meneteskan rintik hujan.

*****

Setelah tiga bulan, di Merak, saat Tegar seperti rutinnya mengunjungi Ayu di rumah bordil itu, ia hanya mendapati selembar surat putih, pengganti bening mata Ayu.

-----

Buat Tegarku ...
Dengan rindu yang begitu penuh.

Abang, sudah tiga bulan ya. Ayu ingat, saat pertama Abang datang, turun dari becak, saat Abang 'rebut' Ayu dari teman Abang, saat Abang gandeng tangan Ayu masuk ke dalam. Lalu, Abang minta coca-cola. Sampai di sini, bibir Ayu tersenyum, Bang. Abang tahu? Biasanya yang Ayu ambil dari kulkas buat tamu adalah bir hitam.

Abang, tiga bulan, Ayu ingat segalanya. Tak ada satu pun detik yang lepas dari kenangan Ayu. Tentang Abang, tentang semua diri Abang. Tentang tronton Abang yang berwarna hitam, tampak garang, dengan tulisan 'Radio Rusak' di atas kaca depannya. (Sampai di sini bibir Ayu masih tersenyum, Bang) Namun rekah manisnya mulai terasa asin. Mungkin seasin laut pantai Carita, yang kini mulai mengalir di pipi Ayu.

Tentang kata-kata Abang, tentang rumah, tentang anak, tentang jalan hidup, tentang kampung halaman. Ayu rindu Abang. Semua tentang Abang. Namun malam ini Ayu ingin pulang, ke dalam diri Ayu sendiri, ke dalam rumah hati Ayu. Ada kamar khusus buat Abang di sini, Bang. Ayu telah menemukannya di sini, Ayu telah membangunnya di sini. Di hati.

Ayu telah bicara dengan Mami, dan alhamdulillah, Mami telah mengizinkan. Besok Ayu akan pulang ke Semarang. Ayu akan kerja yang halal. Ssstt ...! Ayu akan buka usaha jahitan. Ayu kan pandai menjahit. Pingin banget sih, bisa menjahit baju buat Abang. Ssstt ...! Abang pasti tersenyum. (Tersenyumlah buat Ayu, ya Bang). Ayu takkan kembali lagi kemari, Ayu takkan kembali lagi ke dunia seperti ini.

Ayu ingin jujur, Ayu mencintai Abang. Namun Ayu sadar, tak boleh Ayu berharap lebih untuk memiliki Abang. Sebab itu Ayu akan pergi, dan akan membawa semuanya tentang Abang. Maafkan Ayu, saat menulis surat ini, nomor hape Ayu sudah Ayu buang. Dan doa terbesar Ayu buat Abang, orang asing tersayang yang menyadarkan hidup Ayu, semoga jalan Abang untuk pulang juga akan selalu lapang. Seperti kata Abang, di dalam hati setiap orang akan selalu rindu rumah.

Maafkan sekali lagi, jika saat ini Ayu menangis, mungkin baju Abang akan basah. Dan kurasakan sebidang putih selembar kertas ini adalah dadamu. Aku mencintaimu.

Assalamu'alaikum, Abang.

(Ayumu)

-----

Selembar kertas lunglai di atas jemari Tegar. Di hadapannya, ada isak pelan dan kata-kata lembut setengah bergetar. Suara Mami.

"Seperti saya tidak menolak bila ada yang ingin bergabung di sini, saya juga tak pernah menghalangi anak-anak untuk pergi dari sini, Gar. Malah saya senang, ada kebahagian terselip saat melihat mereka menemukan jalan yang benar. Tidak banyak yang benar-benar tahu, bahwa di hati terdalam kami sering menangis."

*****

Tronton Tegar masih melaju dengan garang. Menggilas lubang-lubang jalanan, dengan suara-suara dari banyak sisi-sisinya yang seakan mengaminkan tulisan 'Radio Rusak' di atas kaca depan.

Pelabuhan Merak masih sering dilalui. Masih lekat bau laut, yang anginnya menerbangkan wajah-wajah ke dalam hatinya.

"Pooouumm .....!" Klakson Tegar menyalak keras. Tensinya naik mendapati truk di depannya yang ngerem tiba-tiba. Namun sekilas bibirnya tersenyum, membaca tulisan besar di bak bagian belakang: Rindumu tak seberat muatanku.

Sukabumi, November 2015

(Diadaptasi dari cerpenku berjudul "Tronton"


(ilustrasi druma/ yuk ke bagian bawah blog dan klik iklannya untuk informasi berharga dan mencerahkan)

Comments