AMARAH: CERITA PENDEK YUFITA, PONTIANAK



      Suatu senja, seorang anak bertanya kepada ayahnya,“Ayah, ini malam milik siapa?”
     Dengan mata setengah terpejam—sang ayah menarik napas dalam dan berat, lantaran dihunjam oleh pertanyaan yang begitu sukar untuk dijawab.
     “Marilah, anakku—kita baca buku-buku tua yang meriwayatkan peristiwa purba!”
     Mendadak-sontak, di balik kegelapan,  sang isteri menghardik dengan tatapan setajam pisau. “Itu hanya sekumpulan mantera usang!”
     Kemudian ia berbalik menatap sang anak yang masih terpaku di tempat duduknya dengan pandangan ngeri.
     “Dan kau...! Jangan lagi pernah bertanya-tanya mengenai itu!”
     Mata perempuan itu membara. Dalam gigil, giginya mengirimkan bunyi yang mendatangkan perasaan takut saat saling memangsa.
     “Semua itu sudah tidak lagi penting—sebab kini: Kitalah penguasa kegelapan!”
     “Tapi, Bu...”
     “Kuasailah kegelapan, anakku—maka kau akan baik-baik saja!”
     Kemudian disajikannya sepiring nasi basi, rampasan perang di gunungan sampah tadi pagi. Merekapun melahapnya tatkala gelap mulai merayapi malam.
     Tanpa suara.
     Tanpa keluh.
     Tanpa derai air mata.
     Di kejauhan, sayup-sayup menelusup suara pembawa kabar dari radio tetangga yang berisik.

"...Meskipun harga bahan pokok, seperti beras, gula dan minyak goreng masih sama seperti kemarin, tetapi harga cabe rawit dan cabe merah keriting mengalami kenaikan hingga seratus lima puluh persen...”

     Sang anak memberanikan diri menatap wajah ibunya yang mulai membatu, sedangkan sang ayah mengalami kejang-kejang di sudut gubuk mereka yang tanpa penerangan itu dengan wajah pucat pias.
   
     Hari ini matahari menyala,
     dan besok...
     dada siapa yang bakal terbakar?

5 September 2012



(ilustrasi bangka pos/ yuk ke bagian bawah blog dan klik iklannya untuk informasi berharga dan mencerahkan)

Comments