Tiada teater paling akbar
Kecuali teater politik.
Tiada panggung paling besar.
Itulah panggung pemilu.
Penontonnya rakyat banyak.
Dari Sabang hingga Merauke.
Akan kau lihat banyak adegan.
Aneh tapi nyata.
Politisi itu tak suka anak.
kini berfoto gendong bayi.
Pemimpin ini jijik dengan bau.
Oh, ia berpose kais sampah.
Tokoh itu tak suka berenang.
Eh kini nyebur bersihkan kali.
Setahuku, pak Anu tak sholat.
Kini sibuk ke mesjid.
Ibu itu tukang selingkuh.
Oh kini mesra dengan suami.
Tiada sandiwara lebih drama.
Ialah sandiwara politik.
Hal mustahil tercipta
Jika tahun politik tiba.
Bapak dan Ibu,
Nikmatilah.
It is show time.....
Demikianlah Anwar berceloteh.
Di kampus, di televisi.
Orang orang tepuk tangan.
Berlomba benci politik.
Saleh, anak remaja bertanya.
Ayah, begitukah politik? Kotor dan jijik?
Ayah melihat mata Saleh
Penuh polusi media sosial
“Anakku, ujar Ayah
Kau buka handphone
Tanya Om Google.
Pelajari Soekarno muda.
Renungkan Nelson Mandela.
Teliti Martin Luther King.
Jangan lupa Mahatma Gandhi.
Begitu suci itu perjuangan
Begitu agung jiwa pemimpin
Bebaskan satu kaum
Lawan penindasan
Tak hanya penjara,
Nyawapun diberi
Itu politik.
Tapi Ayah,
mengapa politik kini beda?
Tak ada yang beda anakku.
Tiada yang baru di bawah matahari.
Hanya perlu buka mata.
Di setiap tumpuk peradaban,
Hadir barang palsu.
Carilah yang asli.
Tapi tak Ayah tahu
Mengapa di negerimu kini,
Barang palsu lebih laku.
Pemilu dimulai
Rakyat bersorak
Sebuah negeri berganti wajah
Berubah jadi panggung besar sandiwara
Matahari, bulan dan bintang bingung di langit.
Harus tertawa atau menangis?
Jan 2018
Link: https://t.co/wCzLtcvme9
(ilustrasi DSSC/ yuk ke bagian bawah blog dan klik iklannya untuk informasi berharga dan mencerahkan)
Comments
Post a Comment