RUMAH: CERITA PENDEK BAMBANG IRAWAN, BENGKULU



Satu ketika pernah ingin kupinjam kepak sayap serupa Elang, terbang tinggi mengitari langit kerinduan di pulau seberang.

***

"Prang ...!" Satu kaleng rombeng mental di jalanan, menjauh dari sepasang kaki.

Jodi terus melangkah, tak lama, "prang ...!!!" Kaleng rombeng itu mental lagi. Kini kian menjauh dari sepasang kakinya. Suaranya terus berkerontangan hingga hilang ke dalam sungai di depan sana.

Di pinggir sebuah sungai yang kecil, di tempat kaleng rombeng tadi terjatuh, Jodi menghentikan langkah, memilih satu pohon kecil tetapi cukup rindang untuk ia pinjam akarnya, duduk, dan memandang air mengalir ....

"Mungkin aku hanya perlu duduk, dan membiarkan semuanya mengalir."

"Tapi kita bukan sekadar sungai yang jelas hulu dan muaranya, yang alirnya telah begitu alur. Kita masih punya kaki, dan jalanan yang  penuh debu dan batu ... juga kaleng rombeng."

"Kaleng rombeng?"

"Ya! Kadang kita menendang diri kita sendiri, tak sadar, hingga terjatuh ke sungai. Lalu, hanya bisa memandang, diri kita yang hilang."

"Tak apalah, setidaknya hari ini, telah tampak yang mengalir dalam diriku."

Hari beranjak petang, seberanjaknya Jodi dari pinggir sungai itu, kembali melangkahkan kaki ke jalanan, menuju pulang.

"Pulang!?"

"Sudahlah! Setidaknya kita punya tempat berteduh. Siapa yang merasa punya rumah di rantau ini?"

"Mereka!"

"Jika memang begitu, mereka bukan perantau. Di situlah mereka akan kembali."

"Rumahmu di mana?"

"Di pulau seberang ...."

Matahari seolah tersenyum. Menjelang malam, langit di ujung senja itu tampak begitu jingga.

****

Malam belum larut benar, Jodi baru saja pulang. Setelah mandi dan sembahyang, Jodi membaringkan tubuhnya ke atas kasur yang dihamparkan di atas lantai. Telah sekian lama, dan kini kasur itu terasa mulai membatu.

Memandangi langit-langit kamar di kontrakannya yang sempit, sepasang mata Jodi yang lelah seakan memutar kembali kejadian-kejadian yang direkam ke dalam memori otaknya, selama ini ...

Ia melihat wajah, wajah-wajah yang dari matanya mengalir senyuman, tangis bahagia, juga lengking doa. Orang-orang memuji kebesaran Tuhannya. Ada kelahiran yang menumbuhkan harapan. Bayi-bayi mungil tanpa dosa, di polos mata mereka terukir keindahan tanpa warna. Cinta yang semestinya ada. Ia begitu dekat, hangat, sehangat dada ibunda mengalirkan murni kasih sayang. Di sana, ia melihat rumah, seperti sebidang dada yang dibangun dengan luka dan air mata. Rumah yang begitu lapang. Lalu sebangun rindu di matanya begitu lengang, mengalir sepanjang jalan ...

“Dekap aku, bawa aku pulang, Ibu!
kamar ini gelap. bulan tenggelam dalam kaca-kaca."

Ia melihat jalanan yang begitu panas, matahari terik, titis keringat, di wajah, di dada, di sekujur tubuh. Lalu para lelaki pulang menjelang senja dengan pundak-pundak terpanggang. "Ayah ...!" Bunda disayang, bayi ditimang-timang.

Jalanan kian terbentang. Ia melihat kebun di sepanjang jalan, pohon-pohon tumbuh. Lalu ia melihat manusia menjelma daun, gugur satu satu.

"Selembar daun dan tanah,
seperti kepala bocah di dada ibunya."

Sebelum matanya benar-benar menutup kesadarannya, Jodi ingat pernah bermimpi;

"Satu ketika ingin kupinjam kepak sayap serupa elang, terbang tinggi mengitari langit kerinduan di pulau seberang."

Lalu, sepenuh matanya tertutup, ia benar-benar bermimpi ...

Ia menjelma seekor elang besar yang gagah; bentang sayap yang lebar; dada yang kekar; kokoh paruh dan cakar. Terbang ia, tinggi sekali. Tak lama, dengan menunggang angin ia sampai ke pulau seberang. Dengan ketajaman sorot matanya ia telah sampai ke sebuah rumah. Rumah yang dirindukannya. Rumah impian. Berputar-putar ia, lalu hinggap di atas atap. Keras suara rindunya membangunkan seisi rumah, lantang mengundang orang-orang. Ia lupa, meski tetap dengan kerinduan yang sama, ia bukan lagi seorang Jodi, ia telah menjelma Elang--seekor binatang.

"Tarr ...!!!" Satu letusan.

Jodi terbangun. Suara azan berkumandang.

Dalam sujud, matanya menjadi sungai yang mengalirkan wajah-wajah mencari tepian ... Tuhan.

*****

Satu ketika, pernah ingin kupinjam kepak sayap serupa elang, terbang tinggi mengitari langit kerinduan di pulau seberang. Sekejap, surut paruh dan cakar di sejengkal pucuk beringin, sedang di depan sana, menjulang seribu Mahameru.

Pagi baru, matahari masih yang kemarin, pada hitungan yang berbeda, kakinya masih sepasang. Jalanan masih penuh debu dan batu. Dari kamar kontrakannya yang sempit tanpa jendela, Jodi membuka pintu, melangkah sebagai manusia yang benama Jodi. Di jalanan, kembali ia melihat kaleng rombeng.

Krontang krontang krontang krontang ...

"Tak mungkin kutendang, ia berada di tangan seorang pengemis tua. hehehehe ...."


Jatibening, Februari, 2014


(ilustrasi laurairrgang/ yuk ke bagian bawah Blog dan klik iklannya untuk informasi berharga dan mencerahkan)

Comments