PULAU IMPIAN: PUISI BAMBANG IRAWAN, BENGKULU



angin dan gelombang begitu tak tentu arah. sebagai pelaut--yang menggantungkan hidupnya di laut--ia tak sanggup lagi membaca hamparannya; sama biru. kompas mungkin disesatkan tekanan dari dasar lautan, berputar-putar, dan sebelum malam datang dengan bintang-bintang, perahu kecilnya tersesat ke sebuah pulau.

"mungkin laut belum lapar," pikirnya.

tiba-tiba, segalanya berubah menjadi hijau, begitu hijau, begitu menyegarkan. pohon-pohon menawarkan beragam buah yang siap dipetik, air segar dari rimbunnya kelapa, hamparan bunga-bunga, dan di kejauhan, putih kabut menyelendangi air terjun yang gemericik suaranya sayup sampai di telinga."

indah sekali, pulau apa ini?"

kemudian satu sisi ingatannya terbang ke pulau lain; pulau hiruk pikuk, pulau caci maki, pulau iri dengki, pulau fitnah, pulau angkara murka, pulau semunya cinta, pulau rindu yang membakar, pulau tangis, pulau tawa, pulau ... perang, pulau ... "aku dulu berada di sana!"

lalu cinta datang, tiba-tiba, pulau itu begitu menggoda. sunyi, sepi.

kakinya melangkah ke tepi pantai, menyeret perahunya dari hamparan pasir, melarungnya ke tengah lautan. "selamat tinggal!" katanya. lalu membalikkan punggung dan wajahnya, masuk ke tengah pulau.

entah, sudah berapa lama ia berada di pulau itu, waktu seakan tanggal, hanya siang dan malam, gelap dan terang. ia tak pernah merasa tersiksa lapar, pulau itu tak pernah pelit dengan makanan dan minuman. tiada lagi yang mampu ia kerjakan. waktu berlalu. pakaiannya mulai lapuk, mulai robek di sana-sini. setiap waktu ia menikmati pulau itu. menuliskan keindahannya di berlembar-lembar daun dengan tinta darah hewan-hewan yang berkeliaran di pulau. syair-syair mengalir serupa sungai, berlembar-lembar tertuang di atas daun, lalu daun-daun itu perlahan menggantikan pakaiannya.

namun lambat laun, serupa daun, hatinya pun mulai menguning.

"lalu untuk apa aku mencintai pulau ini? untuk siapa? apakah pulau ini merasa aku mencintainya? tinggal menunggu waktu, seperti perjalanan selembar daun, aku akan gugur, mati, lebur ke dalam tanah. lalu siapa yang akan membaca syair berlembar-lembar daun? pulau ini? sedang ialah syair itu sendiri, yang tentu tak sempurna kutuang di atas daun."

"mungkin kematian akan menyempurnakan pandanganku akan cinta. apa jadinya setelah aku mati." pikirannya menerawang.

lalu ia menikam dirinya sendiri dengan sebatang ranting runcing. darahnya mengalir deras, membasahi pakaiannya; syair berlembar-lembar daun. ia mati dalam pelukan cintanya; sebuah pulau yang begitu indah, pulau yang sepi. mati dalam sunyi.

ia melihat tubuhnya terkapar, membusuk di pulau, dan akhirnya lebur. pulau itu masih tetap indah, masih tetap sunyi. buah-buahan terus bermunculan, bunga-bunga tetap mekar, kabut dan air terjun masih saling berpelukan, jernih air sungai tetap mengalir, dan ... ia tiada.

lalu jiwanya terbang melintasi lautan, angin dan gelombang tiada arti lagi. ia tiba di pulaunya terdahulu. hampir semua berubah. ia hampir tak lagi mengenali semua. bayi-bayi tumbuh, kanak-kanak tumbuh, remaja tumbuh, dewasa tumbuh, bahkan ia lihat gedung-gedung serupa pohon-pohon--tumbuh! peperangan masih seperti dulu, tapi di tengah-tengahnya ada rumah-rumah, ada keluarga, dan satu yang tak berubah, ia masih melihat senyum dan tawa, duka dan bahagia, di antaranya, ia melihat air mata.

tiba-tiba ia rindu, ingin kembali, ke pulau yang dulu, pulau tempat ia pernah tumbuh.
*****
"nak, bangun, sayang. kenapa engkau mengigau ...?"

lalu kepada emaknya ia menceritakan semua mimpinya.

"aku ingin jadi pelaut yang tangguh, mak. meski ia harus meninggalkan pulaunya, ia akan tetap kembali."

berdua mereka menangis, bertukar air mata. meski ada dendam, rindu tak pernah padam; kapan bapak pulang.

"pelaut yang tangguh, akan selalu menjaga perahunya, nak. tahu kapan mesti membentang layar, dan kapan mesti menurunkan jangkar. tak pernah tergoda dengan pulau-pulau yang bukan tujuan ...."

sambil menyeka air matanya, si ibu membereskan lembar-lembar tulisan anaknya semalam. sementara dari luar jendela yang separuh tertutup, dari arah laut, dalam nuansa gerimis tipis suara ombak membuih pelan di pantai.

 Bogor, September 2013


(ilustrasi kaskus/ yuk ke bagian bawah blog dan klik iklannya untuk informasi berharga dan mencerahkan)

Comments