NEGARA DAN KESUSASTRAAN DI INDONESIA: DILEMA MELODRAMATISME BENCI TAPI RINDU ALA RINTO HARAHAP





/1/
Negara memerlukan pilar penyangga agar dapat ada, berdiri, berfungsi, dan berperanan. Tiga pilar penting negara adalah birokrasi, tentara, dan budaya. Ketiganya mengabdi menegakkan dan menjaga negara: keberadaan, kedudukan, dan fungsi serta peranan negara bagi warga negara. Birokrasi membuat negara bisa melayani segala keperluan warga negara di samping melayani aparatus negara; tentara membuat negara bisa memberikan keamanan dan keterjagaan bagi warga negara di samping aparatus negara; dan budaya membuat negara bisa memberikan jati diri, indentitas, dan karakter warga negara di samping negara. Jadi, selain birokrasi dan tentara, budaya sesungguhnya merupakan belahan jiwa negara.

Budaya memiliki berbagai manifestasi: material, sosial, dan simbolik. Ekonomi dan teknologi merupakan manifestasi budaya material; masyarakat dan komunitas beserta tata sosialnya merupakan menifestasi budaya sosial. Adapun bahasa, seni, dan sastra merupakan manifestasi budaya simbolik. Ekonomi dan teknologi sebagai budaya material menjadi lapisan terluar budaya; masyarakat dan komunitas sebagai budaya sosial menempati lapis tengah budaya; dan bahasa, seni, dan sastra sebagai budaya simbolik merupakan basis terdalam budaya. Jadi, ekonomi dan teknologi adalah jiwa negara yang menubuh-membadan; masyarakat dan komunitas adalah jiwa negara yang melembaga, menjelma pranata; dan bahasa, seni, dan sastra adalah jiwa negara yang merdeka (mengatasi tubuh dan lembaga), mengembara menyapa setiap warga negara.

Sebagai belahan jiwa negara, sudah barang tentu bahasa, seni dan sastra selalu berhubungan dengan negara. Hubungan itu penuh warna-warni: kadang penuh mesra, kadang hambar semata, dan kadang penuh syak wasangka. Mengapa? Negara senantiasa menghendaki keterikatan dan ketundukan total bahasa, seni, dan sastra kepada negara sepertinya keterikatan dan ketundukan total birokrasi dan tentara kepada negara; tetapi, bahasa, seni, dan sastra tidak selalu bersedia terikat dan tunduk pada negara. Negara terutama aparatus negara senantiasa berusaha merekayasa dan menguasai bahasa, seni, dan sastra, tetapi bahasa, seni, dan sastra senantiasa selalu berusaha berkelit dan mengelak untuk terikat dan tunduk secara total kepada negara. Misalnya, pada masa lalu, kerajaan Mataram menciptakan unggah-ungguh bhasa Jawa [tata tingkat tutur bahasa Jawa], menciptakan mitos Nyai Roro Kidul sebagai isteri raja-raja Mataram, dan menciptakan tari-tari yang disakralkan. Bahkan kerajaan-kerajaan di Indonesia pada masa lalu selalu ”memelihara” atau ”memiliki penari dan pengarang atau pujangga”. Suara perlawanan memang ada, namun tak bergaung lama: gerakan Djawa Dwipa yang berusaha menghancurkan tata tingkat tutur bahasa Jawa tak berumur lama; kritik-kritik Ranggawarsita kepada negara terutama penguasa negara terdengar lirih sekali; seni-seni rakyat tak pernah menggugah penguasa. Karya-karya seperti Max Havelar, Student Hidjo, dan Hikayat Kadirun mencoba melawan negara kolonial, tetapi akhirnya terbungkam oleh negara kolonial. Arok Dedes, Arus Balik, dan Bumi Manusia mencoba mengkritik, bahkan menegasi segala narasi sejarah yang disusun oleh negara Orde Baru, tetapi pada akhirnya malah terbungkam oleh negara Orde Baru. Tampak sekali bahwa bahasa, seni, dan sastra tercengkeram atau tercaplok oleh negara, tak ada daya atau kuasa melawan negara; bahasa canggihnya: terhegemoni dan teraneksasi negara, resistensi tak ada tuahnya, tak ada buahnya. Di sinilah kita melihat hubungan benci tapi rindu antara negara dan bahasa, seni, dan sastra! Serupa melodramatisme lirik lagu Rinto Harahap yang dinyanyikan Diana Nasution tempo dulu.

Kendati dalam hubungan benci tapi rindu, tetapi jelaslah negara semestinya bisa berbuat banyak kepada belahan jiwanya bernama bahasa, seni, dan sastra. Di samping kepada bahasa dan seni, negara Indonesia – dalam hal ini pemerintah atau aparatus negara Indonesia – dapat berbuat banyak kepada sastra di Indonesia. Dengan kata lain, negara memiliki peranan sangat besar dalam kesusastraan di Indonesia meskipun peranan besar ini tak boleh ditafsirkan mencengkeram atau mencaplok sastra di Indonesia seperti pada masa lalu. Dengan segala otoritas dan sumber daya yang dimilikinya, setidak-tidaknya negara dapat berperan besar dalam bidang (i) kreasi sastra, (ii) produksi sastra, dan (iii) distribusi dan diseminasi sastra di Indonesia. Semua itu menunjukkan betapa luasnya lapangan yang dapat diperankan oleh pemerintah dan aparatus negara Indonesia dalam kesusastraan di Indonesia.

Bidang kreasi sastra di sini mencakup usaha-usaha penciptaan karya sastra, penggubahan karya sastra, penyalinan karya sastra, dan penerjemahan karya sastra di Indonesia. Di sini negara bisa mengangkat sastrawan negara atau sekadar memfasilitasi dan menghargai para sastrawan atau pengarang agar kreasi sastra tumbuh dan berkembang secara meyakinkan. Negara juga bisa memberikan iklim kemerdekaan dan kebebasan berekspresi dan berkreasi sastra, tidak perlu memata-matai dan merasa was-was dengan sastrawan. Negara bisa juga memberikan peluang fasilitas kreatif kepada sastrawan agar sastrawan konsentrasi mencipta karya sastra. Negara dapat juga mendorong dan mendukung berbagai kreator untuk menggubah karya-karya sastra daerah dalam bahasa Indonesia agar menjadi miliki bangsa Indonesia dan mendapat pembaca lebih luas. Dalam hubungan ini pemerintah dapat mendorong, bahkan melatih para penggubah sastra, misalnya penggubah sastra daerah ke dalam bahasa Indonesia; dan penggubah Sitti Nurbaya dan Belenggu menjadi lebih mudah dinikmati oleh anak-anak zaman sekarang. Selanjutnya negara dapat mendorong dan memfasilitasi penyalinan sastra-sastra daerah yang beraksara daerah atau asing ke dalam bahasa Indonesia dengan maksud supaya semakin diketahui oleh banyak warga masyarakat. Penerjemahan karya-karya sastra Indonesia dan atau Daerah ke dalam bahasa asing juga perlu dimotori dan didukung oleh negara.

Bidang produksi sastra di sini berkenaan dengan usaha-usaha pendataan sastra, pencetakan sastra,  penggandaan sastra, penerbitan sastra, dan penulisan sejarah sastra di Indonesia. Kekayaan sastra di Indonesia – baik sastra Indonesia maupun sastra daerah – yang luar biasa perlu didata dan dikelola dengan baik oleh negara atau oleh orang per orang dan lembaga yang difasilitasi oleh negara. Demikian juga pencetakan, penggandaan karya sastra, dan penerbitan karya sastra Indonesia dan Daerah perlu diintensifkan, diekstensifkan, dan diperbanyak oleh pemerintah atau perlu difasilitasi oleh pemerintah supaya dapat menjangkau ke segenap khalayak sastra di Indonesia. Di sini pemerintah bisa meringankan beban pencetak dan penerbit karya-karya sastra baik melaluk insentif maupun subsudi: peringanan atau pembebasan beban pajak yang berlapis-lapis, subsidi dana penerbitan karya-karya sastra, dan bahkan membebaskan penerbitan karya sastra dari berbagai tanggungan pajak. Tidak dapat dilupakan, pemerintah perlu memelopori atau memfasilitasi penulisan sejarah sastra di Indonesia yang komprehensif dan holistis yang dapat menjadi rujukan utama sastra Indonesia dan Daerah. Di samping itu, penghargaan-penghargaan sastra yang bereputasi atau bertuah perlu didorong dan dikembangkan oleh pemerintah.

Bidang distribusi dan diseminasi sastra di sini berkenaan dengan usaha-usaha peredaran, penyebarluasan, dan penerimaan sastra, bahkan pengembangan minat terhadap sastra ke dalam berbagai wilayah geospasial, geokultural, sosiokultural, dan religiokultural Indonesia, bahkan luar negara. Ini dimaksudkan agar kreativitas dan produktivitas sastra di Indonesia tidak sia-sia, melainkan semakin tumbuh subur  dan memperoleh penerimaan semakin luas baik di dalam masyarakat atau bangsa Indonesia maupun bahkan juga masyarakat atau bangsa lain. Dalam hubungan ini pemerintah bisa mendorong atau memfasilitasi pembentukan komunitas-komunitas sastra termasuk komunitas baca sastra, pengembangan kelompok-kelompok seni, dan pembinaan dan pengembangan minat dan apresiasi sastra masyarakat. Negara atau pemerintah perlu juga membentuk jejaring penyebaran karya sastra secara luas sehingga karya sastra Indonesia dapat dinikmati oleh pembaca yang luas. Untuk itu, kerjasama-kerjasama kesenian atau kesusastraan dengan berbagai pihak baik di dalam negeri maupun di luar negeri perlu dilakukan, misalnya kerjasama dengan penerbit di luar negeri dan pemerintah negara lain. Di samping itu, negara atau pemerintah mendorong, bahkan mengambil tanggung jawab penyelenggaraan apresiasi-apresiasi seni dan sastra di berbagai kalangan masyarakat. Program-program dan kegiatan-kegiatan lain dapat dimainkan oleh negara dalam rangka mengedarkan dan menyebarluaskan karya sastra ke berbagai kalangan masyarakat baik dalam negeri maupun luar negeri.
Apakah negara atau pemerintah mampu melaksanakan peranan besar di bidang kreasi sastra, produksi sastra, dan distribusi-diseminasi sastra tersebut? Kalau pemerintah memiliki niat baik [political will] dan mau, niscaya negara atau pemerintah mampu memainkan peranan besar tersebut demi kemajuan kesusastraan di Indonesia. Untuk itu, negara/pemerintah harus membangun keberpihakan pada bidang kebudayaan, kesenian, dan kesusastraan sebagai belahan jiwa negara yang selama diabaikan. Di samping itu, negara/pemerintah harus memiliki kesediaan menempatkan bidang kebudayaan, kesenian, dan kesusastraan dalam tatanan negara sesuai dengan watak dasar kebudayaan, kesenian, dan kesusastraan, yaitu menghendaki kemerdekaan, kemandirian, dan kebebasan, bukan ketundukan dan kepatuhan total kepada negara.

Selanjutnya, negara/pemerintah perlu menyusun/mengembangkan kebijakan kebudayaan, kesenian, dan kesusastraan yang berfokus pada kreasi sastra, produksi sastra, dan distribusi-diseminasi sastra. Di sinilah negara/pemerintah perlu merumuskan sekaligus menjalankan politik kebudayaan, kesenian, dan atau kesusastraan yang beorientasi pada kreasi sastra, produksi sastra, dan distribusi-diseminasi sastra.
Politik kebudayaan, kesenian, dan atau kesusastraan yang berorientasi pada kreasi sastra, produksi sastra, dan distribusi-diseminasi sastra [di] Indonesia [baik sastra Indonesia maupun sastra daerah, bahkan sastra terjemahan] menjadikan negara dan bangsa Indonesia dikenal, diakui, dan dihormati oleh negara-negara dan bangsa-bangsa lain di tengah-tengah menyurutnya, bahkan pudarnya peran birokrasi dan militer dalam mengawal kelangsungan dan keberlanjutan negara dan bangsa. Internasionalisasi, globalisasi, multilateralisasi, dan sejenisnya [akibat kerja sama multilateral dan internasional antar-negara, perkembangan teknologi komunikasi dan transportasi, dan makin dominannya lembaga-lembaga global atau internasional beserta segala regulasinya] yang memudarkan batas-batas negara dan bangsa pada satu sisi dan pada sisi lain mengintegrasikan negara dan bangsa telah membuat peranan birokrasi dan militer surut ke belakang: birokrasi negara-bangsa sering tidak berperanan di hadapan integrasi dunia pada satu pihak dan pada pihak lain militer suatu negara-bangsa makin tidak berperanan dalam penyelesaian-penyelesaian masalah nasional dan global. Dalam kondisi seperti ini kebudayaan, kesenian, dan atau kesusastraan dapat berperan lebih optimal: baik sebagai warisan budaya, buah cipta budaya, aset [modal] negara-bangsa, bahkan komoditas ekonomis maupun sebagai simbol negara-bangsa dan identitas kultural negara-bangsa. Di sinilah negara/pemerintah Indonesia perlu memberi ruang atau ranah hidup lebih berarti bagi kebudayaan, kesenian, dan atau kesusastraan dalam konteks negara-bangsa Indonesia pada satu pihak dan pada pihak lain para budayawan, seniman, dan sastrawan, bahkan masyarakat pada umumnya perlu memperjuangkan ruang atau arena kehidupan lebih luas bagi kebudayaan, kesenian, dan atau kesusastraan.


DJOKO SARYONO, GURU BESAR UNIVERSITAS NEGERI MALANG



(ilustrasi wikipedia/ yuk ke bagian bawah blog dan klik iklannya untuk informasi berharga dan mencerahkan)

Comments