ITUKAH BATIN INDONESIA? (SEJARAH, MIMPI, LUKA, POLITIK DAN PUISI)



Denny JA

Alangkah beragam dan kaya isu sosial di Indonesia. Alangkah mempesona wajah batin Aceh hingga Papua.

Kesan ini sangat terasa. Selama tiga hari saya membaca ekspresi batin puluhan penulis, penyair, jurnalis, peneliti dari aneka propinsi Indonesia. Uniknya, mereka mengungkapkan ragam isu sosial, jeritan hati, rekaman nurani,  imajinasi, kisah rakyat, yang mengendap, ditangkap dan diolah dalam bentuk puisi esai.

Sejumlah kurang lebih 170 penulis, penyair, peneliti, jurnalis, di 34 propinsi, masing masing ungkapkan 5 isu wilayah masing masing.

Baru tiba di meja saya 65 puisi esai dari 13 propinsi. Ini naskah yang sudah siap terbit menjadi 13 buku. Satu propinsi, satu buku, lima batin wilayah, dalam lima puisi esai. Akan  menyusul tambahan 105 puisi esai dari 21 propinsi lainnya.

Mengapa unik? Untuk tahu kemajuan ekonomi sebuah bangsa, dapat dilihat angka, statistik dan tabel hasil ekonominya. Tapi untuk merasakan batin sebuah bangsa, diperlukan medium yang lebih bisa merekam ekpresi hati.

Puisi esai menjadi medium yang jitu. Ia tak sekedar puisi, tak sekedar esai, tak sekedar fakta, bukan semata fiksi. Ia adalah fakta sosial yang sudah bercampur dalam batin masyarakat, yang diungkap oleh penulis, penyair, peneliti, atau jurnalis.

Ada catatan kaki dalam puisi esai itu yang merujuk dan menunjukkan setting soal isu yang diungkapkan adalah nyata. Ada sumber referensi yang bisa kita eksplorasi. Namun ia bukan makalah atau esai yang serba faktual. Ada sisi emosi yang difiksikan agar lebih tertangkap subyektivitas manusia yang mengalami peristiwa itu.

Ikhtiar itu kini tengah diupayakan. Jaringan penulis, penyair, peneliti, jurnalis atas sumber daya mereka sendiri, tidak dibantu pemerintah, tidak sepersen dibantu dana asing, melakukan sejenis ijtjhad budaya.

Ini kerja kolosal sekaligus pemberdayaan unsur lokal. Ia kolosal karena melibatkan 170 penulis untuk menjadi 34 buku puisi. Ia memberdayakan unsur lokal karena yang meriwayatkan puisi esai itu adalah lima penulis dari propinsi itu sendiri.

Wajah batin bagaimana yang diungkap dalam aneka puisi esai itu? Karena ruang terbatas, saya ringkas saja isi dua atau tiga dari lima puisi aneka provinsi.


1. PROV. Sumsel

Anwar Putra Bayu: suara suara yang terbungkam.

Ini kisah seorang penutur keliling sastra lisan di dusun Rantau Alai, kabupaten OKI, sumatera Selatan. Sang penutur sastra lisan kebetulan hidup di era dinamika politik G 30 S PKI. Iapun terseret dituduh komunis. Ia dipenjara, padahal bukan anggota PKI.

Susah payah ia diselamatkan kenalan yang bisa meyakinkan pejabat setempat. Ia bebas tapi kehidupannya tak lagi senyaman dulu.

Linny Octaviani: Sang Duta

Kisah unik kultur di Kayu Agung, Sumsel. Karena sulit mencari pekerjaan, banyak yang pergi keluar negeri. Di sana mereka menjadi pencopet dan kriminal lain. Pulang ke kampung menyumbang dana untuk kampungnya, dihormati sebagai orang sukses walau semua tahu ia seorang kriminal. Ini tak hanya dialami oleh satu dua orang tapi sudah bergenerasi turun temurun.

-000-

2. PROV. Lampung

Isbedy Stiawan: Texas dan Lorong Masa Silam.

Texas bukan kota di Amerika Serikat, tapi perkampungan di propinsi Lampung. Di sana ia dikenal sebagai tempat persembunyian para kriminal. Terkenal juga pelacurannya.

Walau derap pembangunan Lampung terus melaju, namun aroma Texas tak kunjung berubah.

Jafar Fakhrurozi: Tanah Ulayat Digerogoti ulat.

kisah konflik derap pembangunan di Lampung. Korporasi besar membebaskan tanah dengan paksa. Menjadi masalah ketika, tanah yang dicaplok itu tanah adat yang dimiliki bersama. Korporasi besar mendapatkan perlawanan rakyat.

-000-

3. PROV. Bali:

Ni Luh Putu Sukma Awantari: Wanita Bali: Antara Nafkah dan Ajeg Bali.

Ia berkisah soal ketegangan ekonomi baru di Bali yang membuat seorang wanita memiliki kesempatan karir pekerjaan yang tinggi. Tapi adat Bali mewajibkan seorang wanita menjaga krama dan menjalankan adat di wilayahnya yang menyita waktu.

Ni Made Dwi Ari Jayanti: Blanjong, Masa Lalu.

Karma, perbuatan keluarga kita di masa lalu, diyakini oleh masyarakat Bali ikut menentukan kehidupan kita sekarang. Seorang tokoh di puisi esai ini karena tak nyaman dengan situasinya di masa kini, pergi ke Blonjong. Ia menelusuri karma, mencari tahu masa silam keluarganya.

-000-

4. PROV. Sulawesi Tenggara

Uniawati: Manusia SAMA di Laut Buton

Ini kisah unik di Buton, Sulawesi Tenggara. Didorong oleh niat baik pemerintah mengatur hidup sehat, masyarakat Bajo yang terbiasa hidup di air, rumah apung dan mistis laut dipindahkan untuk hidup di darat. Terjadi protes terutama dari tetua adat. Tak mudah memindahkan kebiasaan hidup yang sudah turun temurun.

Wa Ode Nur Iman:  Jejak- Jejak Sunyi di Masjid Muna

Ia berkisah tentang sebuah Mesjid yang menjadi saksi perubahan zaman.  Mesjid itu berdiri megah di atas Bukit Tongkuno 3 abad lalu. Ia menjadi pusat denyut hidup setempat.

Tapi zaman sudah berubah. Mesjid itu tetap di sana. Kultur menghidupkan mesjid tak lagi seperti dulu. Mesjidpun sepi dan tak terawat. Mesjid menjadi saksi perubahan komunitas.

-000-

5. PROV Kalimantan Utara

Muhammad Thobroni: Dongeng Sembakung.

Ia menceritakan punahnya tradisi mendongeng masyarakat Tidung, di tepian sungai Sembakung, Kalimantan Utara.  Kisah dongeng masih dinarasikan, namun tak seluas dulu. Isinya juga berubah. Dulu banyak dikisahkan keagungan nilai leluhur yang perlu diwariskan. Kini lebih banyak berisi kesedihan karena alam dieksploitasi perusahan sawit dan korporasi besar.

Urotul Aliyah: Dalam Bayang Bayang Cabang

Ia berkisah soal punahya permainan tradisional, dikalahkan oleh game online dan gadget di masyarakat dayak rumpun Tidung.

Padahal permainan tradisional itu punya fungsi merajut kerukunan keluarga dan lingkungan setempat. Fungsi tidak diberikan oleh game online.

-000-

6. PROV Papua

FX Purnomo Yusuf: Pelangi Tanpa Warna

Ia berkisah tentang Yuwo, pesta adat di daratan Pania, Papua. Di pesta itu selain ada pasar murah dan menggalang rasa persatuan, juga ajang mencari jodoh.

Namun nilai ekonomi dari mas kawin itu sangat juga menentukan. Kisah cinta Wanebi yang mendalam menjadi patah karena kurangnya mas kawin. Ia terpana antara mematuhi aturan adat atau membawa lari kekasih hati.

Ida Iriyanti: Ratapan dari Puncak Korowai

Ini suku terasing yang berumah di atas pohon di Korowai, pegunungan Jayawijaya. Masyarakat di sini terasing dari fasilitas modern. Puisi ini berkisah tentang seorang ayah yang melintasi hutan belantara, berjalan 10 jam, membawa anaknya yang sakit, menuju klinik kesehatan di Kampung Danowage.

(Ada satu puisi Papua belum selesai: Rasid Woretma)

-000-

7. PROV Aceh:

D. Kemalawati: Setelah Salju Berguguran di Helsinki

Perjanjian Helsinki menyatukan kembali Gerakan Aceh Merdeka (GAM) kepada pangkuan ibu pertiwi. Namun tak semua janji itu dipenuhi dan dirasakan oleh aktivis GAM.

Lelaki itu sujud syukur ketika perdamaian tiba. Ia membayangkan tak lagi hidup di penjara. Ketika teman seperjuangannya di GAM menikmati indahnya dan sukses perdamaian, ia tetap terkurung dalam sel penjara.

Teuke Dadek: Ratok Smong (Tsunami).

Ini kisah yang menarasikan kisah bencana besar Tsunami Aceh 2004 dari kaca mata spiritual seorang pawang. Ia hidup di masyarakat pesisir Kampung Pasie Karam.

Sejak lama sang pawang memperingati penduduk setempat, tapi tiada yang mendengar. Ia dianggap gila. Ia tak henti katakan bahwa laut tengah meratap. Manusia keterlaluan melanggar tak hormati norma spirtual laut.

Tsunamipun datang memakan banyak korban. Di mata pamong, tsunami bukan bencana alam biasa. Itu hanya respon spirtual dari laut, yang akan datang lagi jika tak dihormati.

-000-

8. PROV DKI

Monica Anggi: Jaga Iman atas Cinta,
dan Satrio Arismundar; Balada Mat Rompi yang terpinggirkan.

Dua puisi esai ini bercerita tentang komunitas betawi. Monica mengkisahkan kejadian di kampung sawah sebelum kemerdekaan. Dari kisah pembakaran gereja, tumbuh kerjasama antar agama komunitas betawi yang beda keyakinan, dengan bumbu cintanya.

Satrio berkisah soal Betawi setelah merdeka di masa pembangunan. Komunitas betawi selaku penduduk asli Jakarta perlahan tersingkir ke luar arena karena kalah persaingan ekonomi.

Saefudin Simon: Salman di Panti Orang Gila.

Ini kisah sisi lain dari keberagaman Jakarta. Tumbuh komunitas Lia Eden dengan keyakinan berbeda. Seorang penganut bernama Salman menjadi member di sana melawan tradisi keluaga besarnya.

Ia diasingkan keluarga. Namun justru itu yang membuatnya kembali ke pangkuan komunitas keyakinan Lia Eden.

-000-

9. Bengkulu

Chut Ayu Okpariami: Genderang Bumi Rafflesia

Kisah musik perkusi khas bengkulu bernama Dol. Awalnya ia disakralkan dan digunakan hanya dalam upacara keagamaan. Perkusi ini dibunyikan memperingati meninggalnya Hasan dan Husein, cucu nama Muhammad. Pemukulnya juga hanya dibolehkan dari orang yang memiliki ikatan darah dengan keluarga Tabot. Itu keluarga pihak yang berhak menggelar upacara agama.

Di masa kecil, Syukri beruntung pernah menabuh Dol. Kenangan alat perkusi ini menjadi obsesi. Iapun selama 20 tahun membuat komposisi musik dol sehingga perkusi ini dikenal dunia. Upacara Tabot pun berubah dari acara keagamaan menjadi tradisi budaya Bengkulu

Bambang Irawan: Soekarno Fatmawati, Saksi Cinta di Tanah Pengasingan.

Di bengkulu, bung karno dan fatmawati bertemu memadu kasih. Puisi ini menuliskan kisah seorang saksi yang menguraikan cerita Bung Karno- Fatmawati di sana.

10. PROV. Kalimantan Barat

Pradono: Jelagat Parit Setia.
Jufita: Bulan Semangka Darah.

Dua puisi esai ini berkisah tentang konflik etnis di darah Sambas yang menelan 1.189 orang tewas.

Pradono menjadi saksi mata kerasnya benturan fisik dayak (melayu) versus madura itu. Ia melihat langsung seorang madura yang kepalanya dipenggal dayak. Sebuah komunitas yang tadinya harmoni terpecah. Sebagian terpaksa mengungsi, menghindari trauma.

Puisi jufita  berkisah soal sepasang kekasih, satu berdarah madura, lainnya berdarah melayu. Kisah kasih terganggu karena berdarahnya konflik dua etnik itu.

Sarifudin Kojeh: Tuah tiada lagi Betuah

Ini kisah legenda pasir keramat di pinggir sungai kapuas. Luasnya pasir di sana menjadi tempat masyarakat bermain, menanti tenggelamnya matahari, nikmati indahnya alam.

Apa daya pasir itu bernilai ekonomis tinggi. Munculah perusahaan besar mengeruk pasir. Bukan saja ia merusak alam. Tapi ia merusak pula komunitas masyarakat yang tumbuh  bersama keramatnya pasir itu.

-000-

11. PROV Bangka Belitung

Rita Orbaningrum: Menghempas Sejiran Setasun

Mentok adalah kota tua di Babel yang kini berubah. Dulu di sana tumbuh komunitas dengan nilai kekeluargaan. Pertambangan semakin intens di Babel mengubah banyak hal.

Yang mengagetkan para orang tua, menjamurnya prostitusi usia belasan. Seorang mucikari menjual teman gadisnya. Mucikari itu baru berusia 16 tahun. Seorang gadis bocah bersedia ditiduri demi mendapat handphone.

Yudhie Guszara: Karmila di Laut Pering

Kamila menjadi buah
bibir percakapan di wilayah itu. Karmila bukan nama gadis. Tapi nama kapal isap produksi. Ia menghisap lapisan tanah bawah laut.

Betapa karmila mengubah wajah Laut Babel, tak hanya merusak keindahan terumbu karang. Tapi juga kehidupan nelayan.


12. PROV Sumatera Utara

Ayu Harahap: Mangokkol Holi

Sebuah  kultur khas sumatera utara. Tradisi setempat sudah dipraktekkan turun temurun, menggali kembali makam beberapa keluarga dan memindahkannya dalam satu tempat. Tradisi ini disebut Mangakkal Holi.

Tradisi adat ini memerlukan banyak biaya, dilaksanakan dalam beberapa hari. Banyak keluarga yang memaksakan diri melaksanakan tradisi itu demi menjaga kehormatan dan keterpandangan sebuah marga belaka.

Tradisi itu memang tetap dijalankan namun semakin kehilangan arti dan pura pura dihayati.

Muharram Syahri Siregar: Cinta Yang Sia-Sia.

Reformasi 1998 juga melanda kota Medan. Mengiringi jatuhnya Suharto,!Kerusuhan dan amuk massa terhadap etnik Tionghoa juga terjadi di sana.

Puisi ini mencatat kisah cinta gadis Tionghoa yang pindah ke Medan. Ia berkenalan dan akrab dengan seorang pria Batak asli. Percintaan mereka antar etnik ini terganggu akibat amuk anti Tionghoa di kota Medan.

13. PROV Riau

Eko Ragil Ar-Rahman: Nerlang, Adakah Tuhan Tinggal di tepi Langitmu?

Sebuah suku Akut, suku terasing masih hidup di dusun Nerlang, propinsi Riau. Di antara derap modernisasi, masih terisa aneka budaya suku itu. Mereka tinggal berjarak dari peradaban.

Suku ini masih meyakini animisme. Kekuatan alam seperti pohon, batu besar diyakini memiliki  kekuatan gaib. Di era modern, mereka mulai berinteraks dengan orang kota.

Mereka terpana ternyata orang kota punya Tuhan yang berbeda dengan mereka. Juga ada presiden yang konon jabatan tertinggi setingkat di bawah Tuhan.

Muhammad de Putra: Elegi Pungkat Kami.

Pungkat sebuah desa di kabupaten Indragiri, Provinsi Riau. Wilayah ini dulu sangat harmoni dan kaya kelapa sawit.

Suatu ketika datanglah perusahaan besar memangkas habis hutan gambut, membisniskan kelapa sawit. Suara bising alat berat mengganggu ketenangan desa pungkat. Para pria pemimpin keluarga yang terganggu bersepakat membakar alat berat.

Mereka di penjara. Tinggallah para anak bertanya dimana Ayah mereka? Mengapa tak pulang. Pembangunan yang merusak alam merusak pula banyak kehidupan keluarga.

-000-

Baru 13 provinsi yang siap publikasi. Oh, batin yang terekam sudah begitu bergamnya. Sangat terasa suasana lokal. Sungguh penasaran saya menunggu 21 provinsi lagi.

Buku puisi esai itu menambah peran tradisional puisi. Catatan kaki dan sisi faktual dalam setiap puisi itu akan membuat 34 buku puisi esai ini menjadi bahkan kajian akademis dan sosiologis.

Aneka puisi esai itu bahkan menarik pula untuk dipindahkan ke layar lebar. Ada drama, ada plot, ada pula true story yang membuat kisah dalam puisi esai itu bisa menjadi sarana pencerahan.

Riset yang diselenggarkan Lingkaran Survei Indonesia (Des 2017) sungguh membuka mata. Mereka yang membaca sastra cenderung lebih berempati. Mereka lebih mudah tersentuh, membayangkan pikiran dan perasaan orang lain.

Sangat tepat melabelkan kegiatan bersama 170 penulis, penyair, peneliti dan jurnalis ini sebagai ijtihad budaya. Ada unsur inovasi di sana.

Bahkan agama sangat mendorong sebuah ijtihad. Dalam ijtihad dikatakan, jika benar pahalanya dua. Jika salah pahalanya satu. Bahkan jika salahpun, tetap diberi pahala.

Mengapa? Kita berhutang pada mereka yang berani dan mengambil resiko, juga berjuang untu sesuatu yang baru, yang diikhtiarkan ikut memperkaya peradaban. Agama memberinya pahala. Tapi kita cukup memberinya apresiasi dan kritik.

Selamat buat 170 penulis, penyair, peneliti, jurnalis, dan penyelenggara ijtihad budaya bernama gerakan puisi esai  nasional.***

Jan 2018

Link: https://t.co/JJvnBgcUQ8




(ilustrasi 9gag/ yuk ke bagian bawah blog dan klik iklannya untuk setiap informasi berharga dan mencerahkan)

Comments