/1/
1998.
Apakah tahun itu ya?
Tadinya aku berpikir begitu
--sudah selama itu.
Ah, mungkin bukan
Atau 2008?
Untuk memastikan
Aku coba mengingat-ingat
Tapi kurasa juga bukan
Sebab setelah bertemu seorang Anto Narasoma
tidak begitu lama kemudian
sebuah cerita pendek-ku
nongkrong di koran
Judulnya "Tronton".
Iya, "Tronton"
Itu kata kuncinya
untuk membuka brankas ingatan
Berarti setelah 1998
dan sebelum 2008
Sebab medio 2000-an
aku berhenti 'narik' tronton
dari Sumatera ke Jawa
dari Jawa ke Sumatera
Dan pertemuan itu terjadi
Setelahnya, setelah 2,5 tahun hidup di jalanan
Berarti benarlah, pada medio 2000-an
Tetapi tetap saja
Aku lupa tanggal pastinya
Kucari-cari
Naskah itu sudah tak lagi ada
Inilah yang selalu kuingat
Kusadari lemahnya aku
Seorang pemalas
Untuk mendokumentasikan secara rapi
buah penanya
/2/
Sudah dari masa sekolah
Aku suka menulis
Apa saja, yang kualami
terlebih yang kurasakan
Semuanya tertumpah
Dalam berlembar-lembar
Buku tulis kosong
Kemana pun, kerap
Sebuah buku tulis kosong
'Nangkring' di saku belakang celana
terlipat dua dengan sebuah pena
di tengah-tengahnya
Al-hasil; 'lecek'lah buku tulis itu
namun aku berkarib dengannya
Mungkin, serupa itulah aku
--'lecek'.
/3/
Di suatu pagi yang muram
Langit murung menyimpan warna birunya
Dan aroma jalanan
Yang setia mengabarkan
Sisa hujan semalam
Di atasnya, kulangkahkan kakiku pelan
"Aku tahu gedung itu."
Sebab hampir tiap minggu
Setidaknya, kubeli ribuan huruf
Yang berloncatan dari pintu-pintunya
Kubeli dengan hitungan
Sekadar ribuan rupiah pula
Setara dengan harga
Beberapa batang rokokku saja
Yang kubakar tiap harinya
Aku tak tahu, pantaskah asap rokokku itu
Terbang menembus langit
Lalu menurunkan hujan
Bagi sesak napas hidupku?
Hidup kita?
Yang dihembus-hempaskan pilihan-pilihan
Hingga menjadi kebiasaan
Atau ketidak-pastian.
/4/
Di pintu utama gedung itu
Ada yang menyapaku,
"Ada apa? Mau bertemu siapa?"
Kurang lebih begitulah
"Aku mau mengantarkan naskah."
Kurang lebih begitulah juga, jawabku
--Reka-rekalah sendiri imaji pembaca
Bagaimana kira-kira
Dengan sebuah maksud
Bila kita 'menyatroni' sebuah kantor
Dan ini sebuah kantor berita:
Graha Pena - Sumatera Ekspress
Sebuah kantor berita lokal ternama
di Palembang, Sumatera Selatan
Pertama bukan dengan Anto Narasoma
Aku bertemu
Tapi dengan seorang perempuan
Aku lupa namanya
(biasanya paling gampang aku ngingetin nama cewek :P )
Lupa juga, apa posisinya di sana
"Ada yang bisa saya bantu, Mas?"
"Mau mengantarkan naskah, Mbak."
"Naskah apa, Mas?"
"Naskah Sastra!"
Sejenak ia menatapku. Tersenyum
(Ge-er dikitlah aku)
"Puisi? Atau Cerpen?"
"Gak tau nih, Mbak, pilih saja kalau ada yang layak."
Dan sebuah buku tulis lecek keluar dari tahtanya
Tangan mungil dan lentik itu
Bergerak lasak
Membolak-balik, berlembar-lembar
Kertas halaman
Namun sepasang matanya
Tertumbuk kepadaku
--kukira ia berpikir, aku selecek bukuku
Dan bibir manisnya berbicara
Begini dan begitu, bla bla bla ...,
Bagaimana cara mengirimkan naskah
Buku tulis itu sendiri
Sama sekali tidak dibacanya
Teman sekerja di sebelahnya pun begitu
Cuma tersenyum
Yang 'ku tak tahu artinya apa
/5/
Sudah hendak aku bergerak pulang
Apa yang disampaikan oleh mereka
Tidak sama sekali
Masuk telinga
Hanya kembang senyumku saja
Hampa ...
Namun sebelum sampai
Di tangga, untuk turun ke bawah
Berpapasan aku dengan seorang lelaki
Berpakaian rapi dengan celana jeans
berkaos hitam dan berjaket coklat
Lelaki ini ramah sekali
Dengan senyumnya yang lepas
Dia menyapaku
Padahal, kami belum pernah bertemu
"Hai, dek. Dari mana?"
"Mau ngantarkan naskah, Kak.
Tapi gak jadi."
Aku tersenyum
Sedikit melepaskan hampa ke udara
"Lho, kenapa? Naskah apa?"
"Dan kembali sebuah buku tulis lecek keluar dari tahtanya."
Berpindah tangan
Sama, diiringi sebuah senyuman
Yang ketika itu, tak mau kureka-reka
Apa artinya
Tapi sepasang tangannya, bergerak pelan
Membolak-balik buku
Dan sepasang matanya
Jatuh di berlembar-lembar halaman itu.
/6/
Digiringlah aku ke ruangannya
Yang sederhana, tak mewah
Lalu dari seberang meja
Berganti-gantian dia menatap
Antara aku dan sang raja--buku lecek itu
Kukira begini dia ingin berkata,
"sayang, jika hanya angin yang mengerti."
Lalu begini dan begitu, bla bla bla ...
Tentang cara mengirimkan naskah
Yang keluar dari bibirnya
Sungguh-sungguh masuk ke dalam telinga
"Cari rental komputer saja,
paling 5 ribu, terus copy ke CD.
Beli CD, paling 5 ribu juga.
Kalau sudah selesai, antarkan lagi kemari."
--Dulu salah satu caranya ya begitu
Aku mungkin yang lama hidup
Dipanggang jalanan, ketinggalan zaman
saling acuh dengan zaman.--
Namun tak lama kemudian
"Tronton"-ku nongkrong di koran
Dengan harga 'parkir', 75-ribuan.
/7/
Kak, kini semua naskah lecek itu
Tak tahu lagi di mana. Hilang
Jelas saja
Karena aku tak menghargai
Hitam putih langkahku sendiri
"Tronton"-ku hilang
Bersama sekian ribu huruf lainnya
Yang semestinya bebas berloncatan
Seperti bebasnya ribuan huruf
Yang riang berloncatan
Dari pintu-pintu Graha Pena itu
Namun satu tak hilang
Sebagai gantinya, senyuman Anto Narasoma
Yang kini telah kukira apa artinya
Kulit sering menipu mata
Namun hati yang penuh cinta
Akan bergerak
Mengindahkan bentuk dan maknanya
"Dan kini, saku belakang celana itu
tak lagi punya raja."
Dari Jakarta, 14 Januari 2018
(ILUSTRASI PINTEREST / YUK KE BAGIAN BAWAH BLOG DAN KLIK IKLANNYA UNTUK INFORMASI BERHARGA DAN MENCERAHKAN)
Comments
Post a Comment